MK - 20

1.2K 126 14
                                    

"Zan, lo udah mulai baikan, 'kan? Bisa ditinggal? Gue mau ngajak Kanya jajan di kantin dulu, sekalian ngobrol pembahasan ciwi-ciwi," pinta Steffi.

Zan mengangguk menyetujui. "Boleh, kasian juga Kanya udah di sini jagain gue dari pagi."

Mendapat persetujuan dari Zan, Steffi dengan cepat menarik lembut pergelangan tangan Kanya untuk ikut bersamanya. Itu yang terlihat oleh Zan. Nyatanya, perempuan itu menarik paksa dan menggenggam erat pergelangan tangan Kanya. Ada dendam membara akibat fitnah yang Kanya lontarkan padanya.

"Kita mau ngobrol di mana, Stef?" taya Kanya seraya menahan sakit di pergelangan tangannya.

"Di kantin. Tadi gue udah bilang, lo budek?" bentak Steffi sembari mempercepat langkahnya.

Kanya yang memang mempunyai tubuh mungil sedikit kesusahan mengikuti langkah kaki Steffi. Ia sesekali meringis. Nyaris menangis andai saja tak mengenal tempat.

"Kalau emang mau ngobrol serius sama aku, jangan di kantin, Stef. Kita cari kafe yang di luar RS aja, gimana?"

Steffi menghentikan langkahnya. "Oke, kita ke kafe depan aja."

Kanya bernapas lega. Ada guratan senyum samar dari bibir tipis perempuan polos itu.

Seperti harapan Kanya, kafe yang mereka pilih cukup ramai. Bahkan, saat masuk perempuan itu dengan teliti mencari letak CCTV. Tak ditemukan, ia merasa rencana yang ia baru saja rancang berjalan sangat mulus.

Mereka menemukan kursi kosong. Pojok dan sedikit gelap.

"Stef, sakit banget tau," ujar Kanya seraya menurunkan kedua tangannya hingga Steffi tak dapat melihat apa yang tangan perempuan itu lakukan di bawah meja.

"Gue mau nanya," ucap Steffi.

"Kita pesan minuman aja dulu, gimana? Aku haus banget, Stef."

Steffi mengembuskan napas kesal lalu memanggil pelayan dan memesan dua minuman yang sebenarnya Steffi pun sangat butuhkan saat ini.

"Udah, tuh. Sekarang lo utang penjelasan sama gue."

"Aku ke toilet dulu, boleh?" pinta Kanya.

"Lo mau kabur?" bentak Steffi. Untugnya musik di kafe ini cukup keras untuk meredam suara nyaring Steffi.

Kanya menggeleng lemah. "Buat apa aku kabur, Stef?"

"Ya udah, cepet, ya. Kasian juga Zan nunggu lama."

Kanya mengangguk dan segera berlalu. Steffi menunggu dengan santai. Ia percaya Kanya tidak akan kabur. Kalaupun perempuan itu mengingkari janjinya, tentu saja Steffi tak akan tinggal diam.

Semua yang Steffi perkirakan benar. Tak lama, Kanya kembali muncul seraya membawa dua minuman di tangannya.

"Lo jadi pelayan sekarang?"

Kanya tersenyum, seakan sedang dalam keadaan malu-malu. "Tadi papasan sama pelayannya, jadi sekalian aja kubawa."

Kanya meletakkan minuman itu untuknya dan Steffi. Dengan cepat, perempuan itu meneguknya hingga tak bersisa. Memang dari pagi ia belum memasukkan apa pun ke dalam mulutnya, banyak peristiwa terjadi membuatnya lupa akan kebutuhannya sendiri.

"Oke, sekarang lo cerita maksud lo apa fitnah gue di depan Zan?" tanya Steffi.

Kanya yang duduk di hadapan Steffi tersenyum lebar seraya menyandarkan tubuhnya ke belakang. Kini, wajahnya polosnya seakan telah disulap menjadi perempuan yang sangat menakutkan.

"Sengaja," jawab Kanya, singkat.

Steffi menggelengkan kepalanya, mencoba mencerna jawaban singkat dari Kanya. Ia seperti sedang melihat orang lain yang tak pernah ia temui sebelumnya.

"Awalnya, gue khawatir sama lo, Stef, tapi lama kelamaan emang lo-nya aja yang terus-terusan ngurusin hidup orang. Lo pikir, dengan lo menjadi penguntit dan peretas itu adalah pekerjaan legal?"

Benar, bahkan cara berbicara Kanya yang lembut menghilang begitu saja. Tak ada lagi aku-kamu yang biasanya ia lontarkan. Bahkan, kesan antagonis terlihat lebih baik ketimbang Kanya saat ini.

"Gue nanya soal fitnahan lo ke gue, Nya!" bentak Steffi. Ia tak mau terlihat kalah di hadapan Kanya.

"Gue fitnah lo? Yang mana? Bukannya gue bener, ya? Cowok yang lo suka itu, sukanya sama gue. Bener, 'kan? Di mata Zan, bahkan nama lo aja gak ada, lho!" Di akhir kalimat Kanya, perempuan itu tertawa nyaring. Mengalahkan tawa nenek lampir yang semasa kecil sering Steffi tonton.

"Sialan lo, Nya!" bentak Steffi. Baru saja perempuan itu ingin bangkit dan menjambak Kanya, ia malah kewalahan menghadapi kepalanya yang tiba-tiba terasa berat. Menatap ke arah Kanya, perempuan itu malah terlihat menjadi dua, tiga, empat secara tiba-tiba. Tak lama, Steffi ambruk.

Rencana dadakan Kanya berhasil. Ia membawa Kanya keluar dari kafe. Tentunya ia tak bisa membawa Steffi sendiri. Untungnya, Mr. Y ada untuknya.

***

Dua jam berlalu, Steffi tiba-tiba terbatuk. Mata yang masih berat ia paksakan tuk terbuka, dan ya ... akhirnya ia melihat pemandangan suram di hadapannya.

Kanya duduk di depannya. Mungkin mempunyai jarak empat sampai lima langkah.

"Kanya!" teriak Steffi, tetapi ia benar-benar tak bisa menggerakkan tubuhnya. Lakban hitam melilit dari dada hingga kaki.

"Hai, Kuker! Udah bangun? Enak, ya, bobo siangnya," ujar Kanya seraya mengusap lembut wajah Steffi menggunakan pisau dapur.

"Nya, lo mau ngapain?" tanya Steffi. Kini, nyali perempuan itu ciut seketika.

"Kenapa, Sayang? Takut? Ululu, kacian kamu, tuh," ejek Kanya.

"Mau lo sebenarnya apa, sih, Nya?"

Kanya terlihat berpikir dengan wajah dibuat-buat imut. Terlihat polos seperti Kanya sebelumnya.

"Gue pengin balas dendam sama lo," jawab Kanya enteng.

Steffi menggeleng. "Gue salah apa sama, lo? Soal kasus lo sama Dean waktu itu? Harusnya lo ngomong, dong!"

"Bukan!" teriak Kanya seraya melempar pisau dapur itu ke wajah Steffi. Untungnya tak menancap sempurna, tetapi menggores sedikit di bagian pipi perempuan itu.

"Bukan itu, Sayang," ujar Kanya seraya memelankan suaranya, "kalau itu mah gue juga suka. Gue suka liat Dean putus sama pacarnya yang biadap itu."

Steffi tak bisa fokus. Ia menahan rasa sakit di pipinya. Tetesan darah begitu mulus terjun membasahi.

"Lo harus tanggung jawab atas kehancuran keluarga gue, Stef."

"Gue bahkan gak kenal sama lo, Nya. Andai waktu itu gue gak dapat pesan dari orang yang membeli jasa gue buat stalking lo, gue gak bakal kenal sama lo, Nya."

"Tentu, karena yang menyewa jasa lo adalah Mr. Y yang lo pengen tau."

"Siapa dia?" tanya Steffi. Penuh harap dalam dirinya. Ia berharap bukanlah orang yang ia kenali. Sudah cukup ia terkejut dengan Kanya yang sebenarnya. Ia tak ingin kecewa untuk kesekian kalinya.

Di dalam ruangan sempit dan gelap ini, tiba-tiba pintu terbuka. Menampakkan seseorang yang baru saja masuk dengan membawa lilin.

"Dia udah sadar?" tanya orang itu.

Steffi menggeleng, serasa ingin menangis melihat apa yang ada di hadapannya saat ini. Orang itu maju lebih dekat. Dengan penampilan agak berbeda dari kebiasaannya di kampus. Ia tersenyum menatap Steffi.

"Caitlin?"

Mahasiswi KukerWhere stories live. Discover now