MK - 30

1.7K 156 50
                                    


Setelah membaca pesan tersebut, tentu saja sepeda motor Steffi melaju gila-gilaan. Tak peduli dengan suara klakson, bahkan teriakan orang-orang saat Steffi dengan mulusnya melakukan tikung menikung. SMK Pendar akhirnya tepat di depan mata. Hari Sabtu membuat sekolah seperti tak berpenghuni. Steffi membuka pagar, mendapati seorang satpam sedang tertidur. Entah benar tertidur ataukah sedang tak sadarkan diri, pingsan mungkin.

Ada tiga gedung di sekolah ini, selain EF dan IJ, pun ada gedung untuk ruang guru dan kepala sekolah. Itu setahu Steffi setelah melakukan stalking. Kini, langkahnya telah sampai ke gedung IJ, dengan langkah cepat ia masuk ke dalam lift. Walau masih dalam keadaan ragu akibat menyalahi kesepakatan dari Raja. Ya, ia harusnya tidak ke sini, ia seharusnya ke gedung EF. Sayangnya, lagi-lagi ia harus berpikir untuk seseorang. Raja, keselamatan Raja lebih penting.

Perempuan berambut panjang itu tiba di lantai 2. Walau ia pun tak tahu harus menyelamatkan Raja di lantai berapa. Gedung ini memiliki 17 lantai.

Benda pipih dari sakunya bergetar. Terlihat nomor tak dikenal di sana, Steffi mengembuskan napas kesal. Ia yakin bahwa lagi-lagi ia akan berbicara dengan Mr. Y atau si Reno sialan.

"Ya?" tanya Steffi.

"Lo udah dari kantor polisi? Kok gak balik-balik, sih?"

Suara Raja. Ya, walau belum melakukan percakapan mengenai nomor baru yang Raja gunakan, tetapi Steffi mengenali suara tersebut. "Ja, lo pakai nomor siapa?"

"Arya, hape gue gak tau ke mana. Pas sampe ke SMK Pendar, kayaknya jatoh, deh."

Seketika hawa dingin menyergap, sekelebat warna hitam dari kejauhan seakan menatap Steffi dari ujung kaki hingga kepala. "Ja, lo ... di mana?" tanya Steffi terbata-bata. Ia mulai memundurkan kakinya saat seseorang dengan busana berwarna hitam itu seakan mendekat.

"Ya di gedung EF-lah. Untungnya gue nemuin ponsel Arya, jadi bisa hubungin lo. Lo di mana?"

Baru saja akan menjawab, bayangan gelap itu berlari kencang ke arah Steffi, membuat perempuan itu refleks berlari menjauh. Tak ada pilihan untuk melewati tangga daripada harus menunggu lift. Namun, langkah kaki Steffi menjadi berat saat perempuan itu akhirnya menyadari jika sebuah pisau kecil tertancap pada betisnya. Aliran darah mengalir begitu deras. Perempuan itu ambruk. Ia berbalik ke arah objek yang mengejarnya.

Ia dapat melihat wajah orang itu, walau jubah hampir menutupi seluruh tubuhnya.

"Siapa lo?" tanya Steffi. Perempuan itu masih mengenali wajah Reno dengan jelas, dan ia tahu betul jika yang berada di hadapannya bukan Reno. Entah siapa, Steffi tak mengenalinya.

Tak ada jawaban. Langkah kaki orang itu semakin dekat. Steffi hanya dapat memundurkan diri dengan menyeret tubuh, walau hal tersebut bukan pilihan baik karena membuat kakinya semakin mengeluarkan darah.

"Gue ada salah apa sama lo?" Steffi nyaris terisak. Ia sempat membatin mengasihani diri sendiri saat tak dapat melakukan apa-apa. Mencari ponselnya pun ia tak temukan, entah jatuh di mana.

Steffi menyadari jika lelaki berjubah itu tengah mengeluarkan pisau yang jauh lebih besar dari tangan kirinya. Lalu, melepas jubah hingga terlihat tubuh lelaki itu tak jauh lebih besar dari Steffi. Bahkan, perempuan itu menyadari jika tubuhnya tidak lebih tinggi.

"Gue orang yang lo cari," ujarnya dengan suara yang cukup berat.

Steffi nampak berpikir, otaknya tak lagi berpikir lancar kala harus menahan rasa sakit. Namun, ia menyadari jika orang tersebut mendekat dan ....

***

"Halo, Stef? Stef? Ah! Kebiasaan nih anak matiin telepon gak say goodbye dulu," gerutu Raja. Langkahnya mulai gontai saat semua lantai di gedung ini telah ia injak, tetapi tak satu pun petunjuk yang ia temukan.

Ia sampai di gedung paling atas. Menatap ke luar, menampilkan pemandangan indah dari atas. Angin seakan ingin menerbangkannya. Kini ia tersenyum, menikmati keindahan kota yang suntuk. Lalu, ia mencoba menghubungi Steffi kembali. Namun, kali ini perempuan itu menon-aktifkan ponselnya.

Dalam keadaan dan situasi yang terus menerus mencekam, Raja merasa sedikit khawatir. Walaupun ia merasa Steffi akan aman jika sedang berada di kantor polisi, tetapi tetap saja ia tak bisa merasa tenang kala tak ada kabar seperti ini. Baru saja akan kembali dan turun ke lantai bawah, dari balik jendela yang mengarahkan ke gedung sebelah, matanya dapat menangkap jika seorang perempuan sedang tertawa terbahak-bahak dari arah sana. Ingin tak acuh dan kembali berjalan, tetapi sadar siapa perempuan yang tengah ia lihat.

Caitlin.

"Ngapain tuh ular di sana?"

Mau tak mau, Raja harus turun dari gedung ini dan menyusul ke gedung sebelah. Walau sebenarnya pun ia tak tahu harus apa di sana. Namun, mungkin saja Arya dipindahkan ke gedung sebelah.

Ia mencoba menghubungi Steffi kembali, tetapi lagi-lagi tak dapat diproses. Akhirnya, langkahnya gontai menuju gedung sebelah. Jika Raja tak salah, di sebelah disebut gedung IJ.

Sesampainya di sana, Raja mendapati lift yang tak kunjung terbuka. Sedikit kesal juga jika artinya laki-laki itu harus ke lantai paling atas dengan tangga. Walaupun Raja sendiri suka mendaki gunung, bukan berarti ia suka menaiki tangga.

Langkah kakinya terhenti saat akan melewati tangga ke lantai dua. Banyak darah yang berceceran dengan aroma busuk. Ya, karena tak hanya darah saja, tetapi bangkai tikus beberapa ada di sekitar. Raja mual, pun heran dengan keadaan sekolah elit ini. Bisa-bisanya mengoleksi kotoran semengerikan ini. Entah secara tidak sengaja, ataukah ia akal-akalan seseorang untuk membuat Raja takut dan membalikkan badannya tuk pulang saja.

"Bego, nakut-nakutin kok pake tikus sama darah? Pake cewek dong, yang datang pake sayang terus tiba-tiba ilang," ujar Raja sembari menggelengkan kepalanya beberapa kali.

Namun, ucapan Raja terkabul di detik itu juga saat perempuan dengan rambut pendek dan kemeja juga rok pastel yang feminin.

"Lo?" tanya Raja.

Perempuan itu tersenyum. Laki-laki mana sih yang menolak senyum manis perempuan itu? Ya, kecuali Raja yang langsung mengedarkan pandangan, merasa jenuh.

"Hai, Ja. Lama nih gak ketemu," ucapanya lembut.

Tidak salah lagi, Raja tahu jika ada yang tidak beres dengan gedung ini. Pertama, ia melihat Caitlin, kedua darah yang berserakan, dan terakhir perempuan cantik dengan penuh topeng. Siapa lagi jika bukan Kanya.

Raja tak menjawab apa pun melainkan melewati perempuan itu begitu saja. Namun, bukan Kanya namanya jika diabaikan begitu saja. Ia mengikuti Raja, mencoba menyamai langkahnya dengan langkah Raja yang terlihat terburu-buru.

"Raja ngapain ke sekolah ini?"

"Kalau gue jawab, lo juga mau jawab?" Raja mengalihkan pertanyaan.

"Jawab apa?"

"Pertanyaan yang lo ajuin ke gue," ujar Raja.

Kanya tersenyum seraya mengalungkan tangannya ke lengan laki-laki itu. "Karena Kanya tau kalau Raja bakal ke sini."

Dengan cepat melepaskan diri dari lilitan Kanya, Raja menatap perempuan itu dengan tajam. "Lo ngapain di sini?" tanya Raja dengan penuh penekanan.

"Membunuh banyak tikus, termasuk lo dan Steffi!" ujar Kanya seraya melayangkan pisau ke arah wajah Raja. Untungnya laki-laki itu dengan refleks menangkap tangan Kanya dan membalikkan tubuh perempuan itu.

"Sorry, Nya, gue gak pernah nyakitin perempuan, tapi gue butuh sandera."

Raja memukul bahu Kanya hingga perempuan itu pingsan.

Mahasiswi KukerWhere stories live. Discover now