MK - 21

934 122 2
                                    


Caitlin, perempuan dengan rambut pirangnya itu mengambil posisi duduk di hadapan Steffi. Menatap perempuan itu dengan tatapan tajam. Tak ada lagi wajah ceria yang selama ini sering Caitlin tampakkan.

"Cait, lo Mr. Y itu?" tanya Steffi. Ia berharap Caitlin 'tuk mengatakan 'tidak'. Cukup dengan Kanya yang memperlihatkan sosok aslinya. Ia tak ingin berakhir kecewa kedua kalinya.

Caitlin terlihat menarik napas panjang lalu diembuskan dengan kasar. Menyandarkan tubuhnya dan menatap dinding-dinding langit. Kedua matanya seakan tengah menerawang.

"Cait ...," lirih Steffi. Tetes darah di pipinya semakin luruh berjatuh. Pun, ia merasa sudah tak peduli akan hal tersebut.

"Stef, maafin gue," ucap Caitlin.

Perempuan yang kini tubuhnya tengah dilakban, membulatkan kedua matanya.

"Gue bukan Mr. Y, tapi ... hati gue buat dia, dan semua ini untuk menebus kesalahan lo!"

Bangkit dari duduknya, Caitlin maju mendekati Steffi. Menyentuh lembut pipi yang terlihat sedikit sobek lalu menamparnya dengan keras. Steffi terhuyung, lantas tak membuatnya jatuh. Semakin lebar sobekan pada pipinya. Mata Steffi memerah, kini ia benar-benar menangis untuk rasa sakit di fisik, juga di batinnya.

"Lo boleh memilih, Stef, bakal mati di tangan sahabat lo, atau mati di tangan pujaan hati lo," ujar Caitlin memberi pilihan.

Walau kini kepala Steffi pening, mata mulai berkunang-kunang, tetapi ia masih mendengarkan pilihan terakhir yang diberikan oleh Caitlin.

"Jangan bilang Mr. Y itu Zan?" tanya Steffi.

"Menurut lo?" tanya Caitlin kembali lalu menjambak Steffi dan mengempaskannya dengan kencang. Tubuh perempuan itu ambruk. Bahkan, serpihan kaca yang berada di bawahnya nyaris melukai mata Steffi. Untungnya, Tuhan masih melesetkan hal tersebut hingga membuat beberapa serpihan kaca hanya mengenai pundak dan kembali pada pipinya juga alis kanan yang kini terbelah dua.

"Cait, kita bisa bicarain ini dulu. Gue harus tau dulu salah gue apa sebelum lo bunuh gue kayak gini."

Caitlin tertawa sangat nyaring. Bahkan, terdengar menakutkan. Steffi tahu bahwa Caitlin sering melakukan itu apabila sedang bercanda dengannya, tetapi kini tawanya tak lagi terdengar menyebalkan bagi Steffi. Perempuan berambut panjang itu merasa takut setengah mati.

"Jangan gitu, Cait! Entar kedengeran orang di luar!" tegur Kanya yang ternyata masih dalan ruangan yang sama.

Caitlin melirik Kanya, tatapannya masih tajam hingga membuat Kanya harus diam walau sempat memutar kedua bola matanya, jenuh.

"Kampus jam segini emang ada orang? Santai ajalah. Pokoknya malam ini kita selesein tikus kecil ini. Kita buat mayatnya menjadi trending topik di kampus Pendar."

Steffi yang mendengar itu refleks mengedarkan pandangan ke seluruh sudut ruangan. Matanya cukup jeli mengenal apa pun dalam ruangan ini. Ya, walau sinar tak begitu terang membantu. Steffi kembali mengingat, ruangan apakah ini. Terlihat tak terurus dan benar-benar menjijikkan.

Satu benda membuatnya memicingkan mata tajam. Tali yang biasanya anak MAPALA atau Mahasiswa Pencinta Alam gunakan. Ruangan Mapala memang sudah tak pernah dipakai. Setelah insiden mengerikan dari salah satu anggota Mapala, akhirnya pihak kampus membubarkan UKM ini. Entah para anggotanya benar-benar bubar, ataukah mencari tempat sendiri.

***

Raja berguling-guling beberapa kali. Ponsel Steffi mati hingga membuatnya sulit dihubungi. Banyak prasangka yang terkumpul di otaknya. Ia tahu bahwa kini Steffi tengah berada bersama Zan, harusnya Raja tak perlu khawatir, toh Steffi juga sudah membuangnya begitu saja.

Namun, hati dan logikanya benar-benar tak sejalan. Kini, ia telah menekan nama Zan di layar ponselnya.

"Halo, Zan?" sapa Raja.

"Em, iya, Ja?"

"Em ...." Raja terdengar gagu, sepertinya terlalu jahat bagi seorang sepupu jika menelepon saudaranya tetapi malah menanyakan orang lain, apalagi saat ini Zan dalam keadaan tidak baik. "Gini, Zan. Keadaan lo udah baikan belum?"

"Udah mendingan, nih, walau memarnya masih sedikit nyut-nyutan, gitu."

"Oh, apa perlu gue ke sana jagain lo? Kan lo gak punya keluarga di sini selain gue," umpan Raja.

"Ah, gak perlu, Ja. Di sini ada kok yang jagain gue."

Raja tersenyum, umpannya yang begitu ribet akhirnya termakan. "Oh ya? Siapa aja di sana?"

"Ada Steffi."

"Lo berdua doang?" tanya Raja.

"Iya, gak apa-apa, 'kan? Sekali-kali gue dijagain sama pacar."

"Pacar?" tanya Raja, kini pertanyaannya sedikit lebih nyaring, nyaris membentak.

"Iya, kenapa, Ja?"

Raja mencoba mengontrol emosinya, mencoba berpikir lebih jernih. Ia berusaha menggunakan logika ketimbang perasaan, tetapi gagal. Kini ia malah mematikan sambungan ponselnya terlebih dahulu. Kembali berguling di atas tempat tidurnya dan melupakan percakapan terakhirnya dengan Zan. Namun, ia kembali bangkit. Mengernyitkan dahinya dan berpikir lebih luas.

"Sejak kapan?" gumamnya.

Lagi, ia menyambungkan ponselnya ke nomor Zan. Akhirnya terjawab, tetapi kini Raja semakin tidak habis pikir saat suara mesin motor tengah terdengar nyaring, seakan Zan kini tengah berada di pinggir jalan.

"Kenapa lagi, Ja?"

"Lo di mana?" tanya Raja.

"Di rumah sakit. Kenapa?"

"Kok ada suara kendaraan gitu?"

Entah karena sambungan ponsel Zan yang kurang baik, ataukah laki-laki itu tengah menyiapkan jawaban yang masuk akan untuk Raja.

"Ini, suara televisi."

"Oh, gitu. Ya udah, lo istirahat ajalah, ya."

"Siap, Saudaraku. Makasih, ya."

Sambungan ponsel terputus. Raja langsung mengganti pakaiannya dan bergegas pergi. Ia tahu bila kini Zan tengah berbohong. Walau Raja memiliki ingatan yang di bawah rata-rata, tetapi ia tahu betul jika di ruangan Zan tak ada televisi. Pun laki-laki itu tidak terlalu budek untuk membedakan suara dari televisi ataupun kendaraan yang tengah berlalu lalang.

Namun, langkahnya terhenti saat akan keluar dari indekosnya. Telepon dari salah satu teman kampus yang ia kenal dari UKM MAPALA. Ya, Raja sempat memasuki UKM tersebut sewaktu masih di tingkat 1. Karena ikut Mapala pun, Raja menjadi ikut-ikutan dengan seniornya untuk memanjangkan rambut hingga sebahu.

"Apa?" tanya Raja.

"Bro, bisa ke sekret Mapala, gak? Ambilin beberapa alat di sana."

Raja mengembuskan napasnya panjang. Walau kini Mapala tak lagi diakui oleh pihak kampus Pendar, tetapi mahasiswa yang telah memasuki UKM tersebut tetap menjalankan program kerjanya sendiri.

"Udah malam, Bro. Ngeri gue ke kampus jam segini. Apalagi, ya, ruang sekret udah kayak kandang kuntilanak," jawab Raja sekenanya.

"Lo jadi senior kok jahat banget. Ini junior lo mau berangkat besok, Ja. Bantuin kek, andai gue gak sibuk sidang skripsi besok, gue yang ke sekret, tapi gimana, ya."

"Bilang aja lo males. Iya gue ke sana."

Raja memutuskan sambungan ponselnya dengan kesal. Namun, melihat wallpaper ponselnya yang menampakkan seorang perempuan berambut panjang tengah tersenyum manis, rasanya tak lagi ingin membuang waktu.

Ya, Raja akan ke sekret Mapala sebelum ke rumah sakit. Bukan berarti ia memilih juniornya ketimbang Steffi, tetapi jarak yang lebih dekat.

Raja tetap memakai logika. Ia tak ingin boros bensin.

Mahasiswi KukerWhere stories live. Discover now