MK - 14

1.1K 170 1
                                    

Setelah pertemuan dengan Raja, banyak hal yang dirundingkan. Usul Raja sungguh membuat pikiran Steffi sedikit terbuka. Heran juga mengapa laki-laki itu bisa berpikir jauh dari Steffi yang nyaris disebut tersangka. Kini, Steffi menjalankan sebuah taktik yang Raja usulkan. Ini pertama, dan tak sulit baginya. Yaitu, tetap dekat dengan Kanya dan Zan, bersikap seperti biasa. Menjadi Steffi, karena Zan pun belum tahu siapa Kuker sebenarnya.

Seperti saat ini, ruang UKM Sensa diisi oleh mereka bertiga. Zan masih membenarkan senar gitarnya, sedangkan Steffi duduk tepat di sebelah Kanya, memperhatikan perempuan itu mengetik proposal acara. Nyatanya, Steffi menyadari kecanggungan dari perempuan itu.

"Terus, terus, gimana, Nya? Pelakunya belum didapat juga? Atau beneran Kuker pelakunya?" tanya Steffi.

Walau nama Kuker tercoreng atas tuduhan Kanya, sebenarnya perempuan itu juga masih bisa berlindung dengan kesaksian Dean dan Zan yang bersamanya saat tragedi Kanya. Toh, itu bisa menguatkan jika Steffi bukanlah Kuker atau lebihnya bukanlah pelaku.

"Em, iya, Stef. Pelakunya ... emang Kuker, kok."

"Lo tau dong, Kuker itu cewek apa cowok?" tanya Steffi sekali lagi. Walau kesannya kini Steffi seakan sedang mengintrogasi, tetapi pembawaan perempuan itu sungguh santai, seolah sedang membuka percakapan antar sahabat.

Terlihat Kanya memperbaiki posisi duduknya. Perempuan itu terlihat sedikit kaku, beda dari biasanya. Ia menatap Zan, berharap laki-laki itu punya pembicaraan dan mengalihkan semuanya. Nyatanya, Zan terlihat mesra dengan senar gitar itu tanpa peduli dengan percakapan para wanita.

"Ya ... namanya juga Mahasiswi Kuker, Stef. Iya, cewek."

Steffi mengangguk. Ia merasakan posisi tak nyaman dari narasumber. Ia pun melirik ke arah Zan. "Zan, menurut lo gimana? Udah ada gambaran mengenai pelakunya, gak? Atau Kuker misal?"

Zan melirik, lalu menggeleng. "Masalahnya, gue gak pernah berurusan dengan jasa-jasa yang orang itu tawarkan."

"Yah, bakal susah, dong. Eh, nggak deh, kan Kanya liat pelakunya, jadi pasti bakal mudah nemuin pelakunya. By the way, berarti lo udah ngasih gambaran fisiknya ke polisi dong, Nya?" Kini, Steffi kembali bertanya pada Kanya.

Perempuan yang ditanyai menggeleng, lalu memijat keningnya. "Belum, aku masih gak enak badan buat ditanya-tanya."

Steffi tersenyum paham. Entah, ia paham atau memberi sedikit ruang pada Kanya yang merasa dibombardir oleh pertanyaan.

Satu per satu dari mereka pun meninggalkan tempat. Zan mengantar Kanya pulang, dan tentu saja Steffi segera melarikan motor kesayangannya menuju indekos Raja. Sungguh, ini kali pertama Steffi mendatangi indekos laki-laki. Namun, untuk suatu hal yang penting, tentu ia akan lanjutkan. Toh, kalau Raja sampai macam-macam, maka bela diri yang sudah ia pelajari dari sekolah akan ia pergunakan.

Indekos yang tak begitu ramai, nyaris terlalu sepi. Steffi sampai ke lantai 3 dengan nomor kamar 13. Mengetuk hanya sampai satu kali dan pintu itu terbuka, menampakkan Raja yang kini wajahnya tak lagi tertutupi rambut panjang. Menurut Steffi, Raja memang lebih cocok mengikat rambutnya, memperlihatkan wajahnya dengan jelas, juga satu anting di telinganya.

"Ada yang bisa saya bantu, Nona?"

"Gue bawa informasi, Raja."

Raja tersenyum dengan memperlihatkan susunan gigi yang sedikit berantakan akibat dua gingsul di kiri dan kanan. "Oke, hambaku, silakan masuk," ujarnya seraya membuka pintu kamar dengan lebar.

Steffi memutar bola matanya jenuh mendengar Raja menyapanya dengan sebutan 'hambaku'.

Langkah pertama memasuki kamar Raja, jauh dari penampakan yang Steffi kira. Raja yang keseharian di kampus terlihat berantakan, tetapi kamarnya cukup rapi. Bahkan, ia tak menemukan satu sampah. Semua tersusun dengan apik.

Sejauh mata memandang, pandangan Steffi terhenti pada dinding kamar yang menempelkan beberapa foto dengan judul, 'Tersangka'.

Dua foto teratas dengan ukuran paling besar, yaitu milik Kanya dan Dean. Lalu di bawahnya diikuti dengan foto Caitlin, Nakula, dan terakhir Zan.

Steffi berbalik ke arah Raja yang baru saja menutup pintunya kembali. "Kenapa ada foto Zan dan Caitlin?"

Raja terlihat tampak santai, lalu menjatuhkan tubuhnya di atas sofa biru tua. "Emang kenapa? Siapa aja bisa jadi tersangka."

"Gini, Ja. Zan, ada sama gue sewaktu tragedi Kanya berlangsung. Gak mungkin ...."

Raja bangkit, menatap kedua bola mata Steffi secara tajam. "Dan Dean juga ada sama kalian. Terus, yang ada di pelupuk mata belum tentu bisa jadi tersangka maksud lo? Terus, mentang-mentang Kanya jadi korban, jadi bukan dia tersangkanya? Tolonglah, Stef. Jadi orang baik itu emang perlu, tapi jangan bego."

Steffi memilih diam, duduk di pinggiran kasur lalu menunduk. Ia tak tahu harus percaya dengan siapa kali ini. Jika memang Zan terlibat, apakah mungkin laki-laki yang selama ini berada jauh di dalam hatinya melakukan semuanya? Ataukah, Steffi yang terlalu mengedepankan perasaan di atas segala-galanya?

"Gini, Stef. Gue tau ini salah, tapi lo bisa menyadap ponsel Kanya. Tepat di hari dia ditemukan menjadi korban, temuin siapa aja yang udah hubungin dia, atau komunikasi sama dia."

"Ja, tapi kenapa lo mikir orang-orang ini adalah pelakunya?"

Embusan napas panjang dari Raja sebelum menjelaskan. "Pertama, Dean dan Kanya emang udah ada apa-apa sebelum lo kenal sama mereka. Bisa aja, mereka ada masalah dan berakhir kayak gini. Kedua, Dean ada masalah kan, sama lo, Stef?"

Steffi mengangguk.

"Terus Kanya yang buat semuanya makin runyam saat nyebut nama samaran lo sebagai pelaku."

Entah mengapa, saat menyebutkan itu membuat Steffi seakan menumbuhkan benih kebencian pada perempuan yang terlihat rapuh itu.

"Lanjut, Caitlin. Dia ada di lokasi kejadian setelah lo dan Zan sampai. Dia baru datang, tapi udah tau semuanya, bahkan membuat spekulasi bahwa lo penyebab semuanya."

"Kenapa gue baru sadar?" tanya Steffi yang sejujurnya tak menduga hal tersebut.

"Karena lo bego."

Steffi meringis, benar-benar kesal melihat laki-laki menyebalkan di hadapannya. Steffi yang selalu mengeluarkan kalimat menyakitkan pada orang-orang, sekarang malah menemukan duplikat dirinya sendiri.

"Lalu, Nakula. Gue pake dia karena ... dia berada di TKP waktu lo lagi nyari barang bukti, seakan-akan jagain tempat itu biar dia gak kecolongan. Lanjut, dia sahabat baik dari Dean."

"Tapi ini baru dugaan lo, 'kan?"

Raja mengangguk membenarkan. "Dugaan yang mendasar."

"Terus, Zan?"

"Sikap dia yang bego. Bisa-bisanya dia main percaya aja sama ular sok rapuh itu. Mana berhari-hari ini ada di dekat Kanya mulu kayak kacungnya. Lo ngerasa gak, sih?"

Steffi ingin membenarkannya, tetapi mendengar ucapan Raja yang terdengar tak santai dan nyolot malah membuat kesan lucu. "Lo kayak emak-emak, ah. Lagian, spekulasi lo terhadap Zan kayak maksa banget tau, gak?"

"Zan itu tau kalau Kanya sedang bohong, tapi dia seolah percaya. So, lo percaya sama Zan?

Mahasiswi KukerWhere stories live. Discover now