Bagian 35 : Baby Adam

49K 3.3K 59
                                    

Pada hari hujan, Adam duduk di teras menikmati pemandangan hujan dan Ara merebahkan diri di hammock.

Aroma daun kemangi yang segar bercampur aroma hujan dan sandalwood dari kayu cendana menambah kesyahduan mereka.

"Ra, gimana UAS kamu hari ini?" tanya Adam.

"Lancar, Bang. Cuma capek mikir sih ehehee."

"Aku 2 hari lagi keluar kota, kamu mau di rumah atau ke rumah Bunda atau ke rumah Ibuk?"

"Emang Bang Adam mau ngapain keluar kota? Cari istri baru ya?!"

"Hust! Ngawur kamu. Aku ikut seminar di sana."

"Ngapain sih ikut seminar? Kan udah jadi dosen?"

"Emang kamu pikir tugas dosen cuma ngajar doang? Dosen itu tugasnya lebih dari itu. Mengabdi, ikut seminar, bikin jurnal, itu juga termasuk tugas dosen."

Ara mencebik kesal, "Kok malah diceramahin sih? Kan aku cuma takut kangen aja."

Eh? Aku ngomong apa barusan? Ara menutup mulutnya kaget.

Adam menahan tawanya yang hampir meledak. "Ra," panggil Adam kemudian.

Ara mengernyit. "Iya?"

"Bikin baby Adam yuk?"

"WHAT?"

"Udah ayok," seru Adam dan menggeret Ara secara paksa.

***

Di sinilah Adam dan Ara berada. Di dalam kamar menghadap beberapa kain flanel, manik-manik, dan seperangkat alat jahit.

"Jadi ini yang Abang maksud bikin baby Adam?" tanya Ara, masih proses mencerna perihal perkataan Adam yang membuat ia berpikir yang iya-iya.

"Iyalah, bikin miniatur alias baby Adam," jawab Adam. Melihat wajah Ara yang memerah, ia paham apa yang Ara pikirkan. Ia sengaja menggunakan pilihan kata ambigu untuk menggoda Ara.

Sebenarnya, ia memang berencana membuat kerajinan bersama Ara. Hitung-hitung sebagai semacam benda kesayangan di antara mereka. Namun, ia tanpa pikir panjang mengajak dengan ambigu untuk menggoda Ara. Lucu sekali ekspresi Ara barusan.

"Emang kamu pikir baby Adam apa, Ra?" lanjut Adam bertanya.

"Eng-enggak," jawab Ara gugup.

"Jangan-jangan kamu mikir bikin baby Adam beneran? Kalau kamu mau, ayok kita gass bikin sekarang," tambah Adam, semakin gencar menggoda Ara.

Ara yang mendengar itu melotot. "Apaan sih?! Enggak kok, kirain aja bikin gambar Bang Adam lagi pakek popok, jadi deh baby Adam," sanggah Ara dengan cara bicara cepat dan super ngawur.

Sontak saja hal tersebut membuat Adam terbahak. "Bisa-bisanya kamu mikir sampe ke sana, Ra? Masak aku pakek popok?" herannya masih dengan tawa.

"Anggep aja lagi iklan popok dewasa," jawab Ara sekenanya.

Ara memejamkan mata malu. Duh, aku barusan ngomong apa sih? Kan maluuu.

"Bang Adam beli ini kapan?" tanya Ara mencoba mengubah topik pembicaraan.

Adam menoel pipi Ara. "Nggak usah alihin pembicaraan, Ra."

"Bangggg, udahan kek! Jangan godain Ara terussss!" rengek Ara yang disambut dengan diacak-acak pangkal rambutnya oleh Adam. "Iya, Sayang... iyaa."

Diperlakukan seperti ini masih saja membuat Ara malu dan punggungnya meremang menghangat. Pipinya memerah menahan senyum yang hampir keluar.

"Ini aku beli emang udah lumayan lama sih, Ra. Abang emang ada rencana bikin kerajinan bareng."

"Buat apa coba?"

"Buat jimat," celetuknya kemudian tertawa, "Nanti kamu bikin buat aku, aku bikin buat kamu. Buat benda kesayangan kita aja sih, Dek."

"Dih geliiiiiiiiii," rengek Ara sambil tertawa.

"Apaan?"

"Ngapain sih panggil Ara pakek kata Dek gitu? Geliii," ucapnya, masih dengan tawa gelinya.

Adam menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Kan biar romantis, Sayang."

Ara semakin tertawa keras. "Dih, malah diubah, pakek manggil sayang lagii, lebay tauuu."

Adam merengkuh Ara dan mengecup bibirnya. Hal itu membuat tawa Ara berhenti sejenak, Ara tahu Adam ingin Ara menghentikan tawa mengejeknya tadi, dan Ara pun memilih menahan senyumnya.

"Udahan ngejek akunya?" tanya Adam.

"Udah, maap," jawab Ara lalu mengatupkan bibirnya ke dalam, menahan tawa.

"Kan aku pengen panggil kamu pakek panggilan spesial," ucap Adam dengan tampang polos.

Ara melihatnya dengan tatapan 'Ya ampun, menggemaskan sekaliiiii.', tapi ia hanya diam.

"Bang, bagi Ara, panggilan Abang biasanya juga udah spesial kok."

"Itu kan nama kamu dari lahir, dimana letak spesialnya?" tanya Adam, menganggap omongan Ara hanya sekadar ingin menghiburnya.

"Coba panggil nama aku deh," pinta Ara.

Adam menurut dan memanggil namanya. "Ra, Ara, Inggrid Iswara."

"Tuhkan, spesial!" seru Ara yang dikernyiti Adam.

Ara menggenggam tangan Adam yang membawa sekembar kain flanel. "Spesial karena Bang Adam panggilnya spesial pakek cinta. Nama Ara emang dari lahir, tapi kalau Bang Adam yang manggil, namanya jadi terasa spesial. Jadi indaaahhhhh banget nama Ara," ucap Ara membuat Adam tersenyum menggemaskan.

"Ya ampun, Bangggg. Ara sayaaangggg banget sama Abang," ucap Ara dan berhamburan ke pelukan Adam.

"Cinta juga nggak?" tanya Adam.

"Cinta seciiiiiiiiinta-cintanya, hehe."

Adam tertawa karena tingkah Ara. Ia balas memeluk dengan erat. Merasa tangan Adam berada di punggungnya, Ara lebih mengeratkan pelukannya.

Gimana nanti kalau Bang Adam keluar kota ya? Pasti kangen bangettt huhuuu.

***

Yuhuu, aku update sambil nunggu pizza mateng, sambil nonton teater online juga wkwk. Jadi nggak tahu deh jadinya gimana, but aku harap kalian menikmati chapter ini. ❤️

Oiya, makasih banyak buat kalian yang udah vote dan kasih komentar, walaupun aku updatenya nggak rajin wkwk

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Oiya, makasih banyak buat kalian yang udah vote dan kasih komentar, walaupun aku updatenya nggak rajin wkwk. Sedih sih kadang liat yang baca lebih dari 100, yang vote puluhan, yang komen bijian hehe. Jadi kadang kepikiran, apa kurang menarik ya? Atau ngebosenin ya?

Tapi nggak apa-apa sih, yang penting kalian bisa menikmati cerita ini. love-love buat kalian. ❤️

Tertanda Dosenmu (Complete ✓)Where stories live. Discover now