Bagian 38 : Wejangan

29.5K 2.9K 56
                                    

Jangan lupa vote dan komen ya.

***

Teriakan Puput sontak saja membuat Ara terkejut. "Heh, Put! Kasar banget omongan kamu," tegur Ara, pipinya terasa panas.

"Aduh," lirih Puput sambil mengipas-kipas wajahnya. Masker miliknya terasa retak. "Aduh kan, retak masker aku. Dahlah, nggak peduli. Jadi selama ini kamu belum sama Pak Adam?" tanya Puput.

"Belum apa sih, Put," kilah Ara seakan tidak mengerti.

"Ngew— eh bukan. Belum bersetubuh? Proses perkembangan biakan? Ena-ena? Hubungan suami-istri? Pertemuan dua kelamin?"

"Jangan tanyain itulah, malu."

"Aku yakin belum kan?" tebak Puput. Ara mengangguk. "Kenapa? Ada yang salah? Kamu bisa cerita ke aku, Ra."

"Aku bikin kesepakatan sama Bang Adam, kalau aku nggak mau hamil dulu sebelum lulus."

"Hah? Terus Pak Adam setuju?" tanya Puput terlihat masih syok.

"Iya."

"Gila kamu ya, Ra! Aku kira karena ada sesuatu yang serius! Kasihan banget Pak Adam. Terus apa manfaatnya kamu nikah kalau nggak ena-ena?!"

"Kok kamu ngegas sih?! Put, nikah itu nggak cuma buat ena-ena doang!"

"I know! Kamu nggak tahu sekarang itu ada teknologi bernama kondom?!" marah Puput. "Ra, dalam pernikahan, itu sebuah hal yang mulia tahu nggak? Jadi jembatan membangun keutuhan keluarga, bukan cuma menyalurkan nafsu manusiawi. Aku jadi kasihan sama Pak Adam."

Ara terlihat merenung. "Tapi itu udah jadi kesepakatan sebelum menikah, Put."

"Ra, nafsu laki-laki itu besar. Kamu kira Pak Adam bisa terus tahan sama itu? Ngelakuin itu sama istri sendiri mampu menjaga diri dari hal yang nggak-nggak. Kalau misalnya nih, Pak Adam lagi pengen, terus udah nggak kuat nahan, tapi nggak bisa lakuin ke kamu karena kesepakatan konyol itu. Kamu pikir pelampiasannya kemana?" ucap Puput yang membuat Ara entah mengapa hatinya terasa sesak.

"Ada beberapa kemungkinan. Tapi kemungkinan yang terburuk dan semoga mungkin nggak akan dilakuin juga adalah dengan cari orang lain—"

"Stop, Put," sergah Ara memotong. "Aku salah," lanjutnya lirih.

Puput memeluk Ara. "Maaf, bukan maksud aku ikut campur urusan keluarga kalian. Maaf terlalu kasar ngomongnya."

Ara menggelengkan kepalanya. "Its okay, Put. Ucapan kamu meskipun tajem kayak silet tapi ada benernya juga. Aku terlalu egois karena maksain kehendakku ke Bang Adam, tanpa mikirin gimana perasaannya selama ini. Makasih banyak udah dikasih wejangan malam ini."

"Sama-sama. Tapi aku ngerasa nggak enak sama kamu."

"Apaan sih, Put. Geli tahu. Aku mau telepon Babang Suami dulu yaa," pamitnya kemudian berlalu keluar kamar.

Ara melakukan panggilan video ke Adam. Sembari menunggu panggilan diangkat, ia teringat saat Adam ingin memanggilnya dengan nama yang spesial, tapi ia malah tertawa mengejek.

Ia merasa bersalah.

"HUAAAA!!!!" Teriakan dari ponselnya membuat Ara terkejut dan tersadar dari lamunannya. Hampir saja ia melemparkan ponselnya.

"Ish! Bang Adam ngagetin tahu nggak! Kenapa sih?!" tanya Ara kesal.

"Kamu ngapain VC pakek wajah putih-putih gitu, retak-retak lagi! Kayak hantu tahu nggak!"

Ara melotot. Baru ingat kalau dia tadi sedang maskeran. "Eh iya, hehe. Aku lagi maskeran, Bang," ucap Ara cengengesan. "Bang Adam lagi apa?"

"Lagi rebahan aja ini. Kenapa? Kangen ya?"

Ara mengangguk. "Iya, kangen banget."

"Abang kalau udah selesai langsung balik kok. Sabar ya."

Ara menggigit bibir bawahnya berpikir. "Hmmm... Sayang," panggil Ara ragu-ragu.

"Hah? Apa? Kamu ngomong apa barusan?" Adam terlihat terkejut.

Ara terlihat malu. "Apa? Ara ng-nggak ngomong apa-apa tuh."

"Yang barusannn. Sayang kamu bilang? Ayo panggil aku itu lagi donggg. Belum sempet aku rekam nihhhh," ucap Adam.

"Ih, nggak tahu ah."

"Ayolah, Ra. Sekali lagi aja. Penawar kangen itu."

Pipi Ara terasa panas sekali. "Nggak mau, malu... Mmmmm, Bang," panggil Ara.

"Iya?"

"Abang tahu nggak? Ara sayaaaaanggg banget sama Bang Adam. Bang Adam jangan cari perempuan lain ya di sana."

Adam terlihat terkejut. Tapi sejurus kemudian ia tersenyum. "Iya. Abang juga sayaaaanggg banget sama Ara," ucapnya kemudian menyatukan telunjuk dan ibu jarinya membentuk sebuah bentuk hati kecil.

Ara terkekeh. "Saranghae, Bang," ucap Ara dan membalas dengan bentuk hati yang sama.

"Hae-hae juga, Ra."

"Dih, saranghae, bukan hae-hae," gelak Ara. "Yaudah, Bang Adam istirahat gih. Ara juga mau istirahat."

"Iya, jangan lupa peluk Abang dalam mimpi ya."

"Nggak mau. Maunya langsung aja—eh? Anu, Bang, Ara tutup dulu, mimpi indah, Bang," ucap Ara lalu buru-buru mematikan sambungan teleponnya.

"Anjir, ngomong apa aku barusan?!" ucap Ara terkejut karena ucapannya sendiri.

***

Terima kasih buat yang udah berikan vote dan komentar. 

Huaa, gak nyangka udah mau otw 50K readers. Dapet #2 juga di Fiksi Umum. Loveee kaliannnn.

Tertanda Dosenmu (Complete ✓)Where stories live. Discover now