Bagian 6 : Hukuman

65.1K 6.8K 173
                                    

Selama pelajaran Psikologi Sastra yang diampu oleh Adam, Ara hanya diam dan memerhatikan. Namun, tidak satu pun penjelasan yang dapat ditangkapnya. Otaknya sibuk memikirkan hal lain.

Perihal berubahnya Adam secara tiba-tiba dan drastis.

Kenapa sih Kak Adam? Apa karena aku kemarin ketiduran terus dia ngambek? Atau gimana? Heran.

"Kamu yang duduk pojok belakang paling kanan. Siapa nama kamu?"

"Inggrid Iswara, Pak."

Kak Adam nggak ngenalin aku? tanya Ara dalam hati.

"Coba jelaskan pembagian psikologi kepribadian menurut Sigmund Freud?"

"ID, ego, dan..." ucapan Ara menggantung.

Aduh, mampus, apalagi yaa? Seingetku ada tiga.

"Dan apa?" desak Adam membuat Ara semakin kebingungan. "Begini kalau kuliah datang terlambat, raganya di kelas, pikirannya kemana-mana. Yang lain? Ada yang tahu?" tanya Adam ke mahasiswa lain dalam kelas.

"Sial," gerutunya pelan.

"Pak Adam! Ara nggak terima dimarahin sama Bapak!" celetuk perempuan yang duduk di sampingnya.

Ara sontak saja menoleh padanya dengan tatapan horror. "Maksudmu apa?" tanya Ara tidak terima.

Sedangkan perempuan itu menjulurkan lidah mengejek.

"Ada apa, Ara?" tanya Adam yang digelengi Ara.

"Tidak, Pak. Saya tadi tidak berbicara pada Bapak," jawab Ara sekenanya.

"Waktu Bapak marahin Ara, dia bilang, 'Sial!' gitu, Pak," sahut perempuan di sampingnya.

"Kamu apaan sih, Monika?!" tegur Ara tidak suka.

Perempuan bernama Monika itu melipat tangannya. "Benerkan apa yang aku bilang tadi!"

"Diam!" tegas Adam walaupun tanpa berteriak, namun pelan dan menusuk. Mereka di kelas langsung terdiam.

"Ara, temui saya di ruang Prodi setelah kuliah Stilistika. Saya ada hukuman buat mahasiswa yang suka mengumpat seperti itu, tidak sopan."

"Ha?"

Dari ekor matanya, ia melihat Monika tersenyum penuh kemenangan lalu menyelipkan rambut ke belakang telinga saat Adam melihatnya.

Dasar cewek keganjenan! Caper amat sih ke dosen baru!

---

Di sinilah kini Ara berada, di ruang Prodi yang sudah hampir sepi. Kuliah Stilistika berakhir pukul 18.20 hari ini dan Ara langsung bergegas menuju ruang Prodi, takut terlambat dan dosen dengan rambut hitam legam itu akan murka padanya.

"Loh, Ara, ada apa ke sini?" tanya seorang dosen perempuan yang sudah menjinjing tasnya, hendak pulang.

"Ada perlu dengan Pak Adam, Bu," jawab Ara membuat dosen perempuan tadi memicingkan mata.

"Sa-saya ada hukuman dari Pak Adam, Bu," ucapnya lagi karena tidak nyaman dengan tatapan mata lawan bicaranya.

"Oh." Dosen itu terkekeh. "Ibu kira kamu mau menyatakan perasaan kayak yang lain."

"Maaf?"

"Baru masuk hari ini, Pak Adam sudah banyak dapat fans loh, Ra, banyak yang sengaja cari-cari perhatian sama dia, tapi dianya adem ayem aja. Kayaknya dia udah biasa dapat perlakuan kayak gini. Aduh, kok Ibu jadi ngomongin Pak Adam. Ibu mau pulang dulu. Kalau memang ada perlu sampai malam hubungi satpam dulu karena hari ini kampus tutup jam 21.00."

"Baik, Bu," jawab Ara lalu salim sebelum dosen itu benar-benar berlalu dari pandangannya.

Kini ruangan itu sepi.

Hanya ada dirinya seorang. Tiba-tiba bulu kuduknya meremang. Berbagai cerita horror di kampus itu mulai bersliweran di otak Ara. Dari suara benda jatuh, suara bangku diseret dan....

Brakk!

Suara benda jatuh mengagetkan Ara. Baru saja hal itu tsrlintas di otaknya. Denyut jantungnya berpacu lebih cepat.

"Kak Adam-eh Pak Adam kemana sih? Kok belum dateng-dateng? Jangan-jangan hukumannya adalah dikerjain kayak gini?" monolognya, mencoba untuk mengalihkan dan berpura-pura tidak peduli dengan suara yang didengar.

Krieeett

Kini giliran suara bangku diseret terdengar. Ara sudah mulai tidak tenang. Ia berkeringat dingin dan jantung terus berdegup kencang.

Sial, kenapa sih? Aku kan nggak ganggu. Ini juga bukan malem jumat seingetku.

"Nggak apa-apa, Ra, ketimbang si rambut klimis itu ngambek lagi. Semangat!" ucapnya menyemangati dirinya sendiri yang kini mulai bergetar ketakutan.

Malam dingin sendirian dengan harap-harap cemas. Rasanya ia sedang mengikuti uji nyali. Ara memang paling tidak kuat dengan hal-hal seperti ini. Dia memilih melakukan terjun payung daripada melakukan hal ini lagi.

Sumpah aku nggak tahan. Aku keluar aja deh, putusnya dan berbalik badan. Namun....

"HUAAAAA!!!!!" Alangkah kagetnya dia menemukan Adam yang berdiri tepat di belakangnya, memandangi dengan diam dengan tangan membekap mulutnya yang berteriak kencang tadi.

Saking kagetnya, Ara meneteskan air mata yang langsung di hapusnya. Antara ketakutan dan terkejut menimbulkan irisan bawang yang membuat mata Ara perih.

Adam tampak terkejut. "Kenapa?" tanya Adam dengan nada lembut, yang justru malah membuat Ara semakin menangis.

"Loh, kok malah tambah nangis?" lanjutnya masih dengan nada rendah dam menarik tangannya dari wajah Ara.

"Akhirnya Kak Adam... akhirnya balik, bukan jadi Pak Adam," racau Ara yang menyembunyikan ketakutannya.

"Hah?" bingung Adam. "Iya, ini Kak Adam. Kamu ketakutan?" tebaknya.

"Aa-aku nggak takut. Emangnya Kak Adam anggap aku ini apa?!" elak Ara dengan nada yang cukup tinggi.

"Sudahlahh, jangan bersikap sok kuat. Sini jangan takut lagi." Sedetik kemudian, Ara sudah berada dalam pelukan Adam. "Aku ada di sini." Adam memeluknya. Tanpa sadar, Ara menetes air mata karena perasaannya yang campur aduk. "Kak, lepasin aku, jangan modus."

Sebenarnya banyak pertanyaan di benak Ara mengenai Adam dan sikapnya tadi di kelas. Tentu saja bukan Ara saja yang merasa aneh. Kalian juga kan, para pembaca cerita ini?

"Nggak akan. Kamu masih gemetaran kayak gini. Gimana aku tega?"

Ara memejamkan mata. "Kak Adam modus! Lepasin!" teriaknya namun tangannya meremas baju Adam dengan kuat. Seakan tidak menginginkan pelukan itu terlepas.

Adam tersenyum dan mengusap kepala Ara pelan. "Maaf."

---

Seneng banget chapter kemarin udah ada yang mulai apresiasi aku dengan cara berkomentar.
Itu menyenangkan, dan memberikan semangat untuk aku ngetiknya!

Kiss-kiss, Zahrotul An.

Tertanda Dosenmu (Complete ✓)Where stories live. Discover now