Bagian 15 : Khawatir

45.8K 4.6K 30
                                    

"Menyedihkan," ucap Ara pelan kemudian menggigit bibir bawahnya menahan tangis.

Andrian yang sudah memajukan wajahnya hendak memanggut bibir Ara pun terdiam dan melihat ke iris Ara dalam-dalam.

Ara balas tatap dan kembali berkata dengan suara bergetar, "Apa kamu pikir semua perempuan tergila-gila sama kamu?" Ara tertawa pelan di sela tangisnya. "Kamu salah. Nggak semua hati dapat kamu taklukan, Andrian. Kalaupun kamu berpikir dapat, aku tidak termasuk di dalamnya."

"Kenapa?" tanya Andrian.

"Karena kamu menyedihkan," jawab Ara. Andrian cukup terkejut, matanya mengerdip goyah dan tangannya sudah tidak menekan Ara seerat tadi.

Dengan sekuat tenaga Ara menghentakkan tangan Andrian menjauh.

"Kenapa?" Ara balik bertanya. Andrian mengernyit tidak paham.

"Kenapa kamu pikir aku deketin Pak Adam? Kenapa kamu berpikir aku selicik itu? Kenapa kamu begitu ke perempuan?"

Andrian tersenyum miring tanpa menjawab.

Ara mendorong Andrian menjauh. "Bahkan nggak ada niatan satu pun aku deketin Pak Adam, apalagi untuk nambah nilai," ucapnya dan berjalan keluar perpustakaan.

Andrian membalikkan badannya dan melihat Ara yang berjalan menjauh dengan langkah gontai.

"Aku menyedihkan?" tanyanya pada diri sendiri. "Aku menyedihkan?!" lanjutnya kemudian tertawa. "Bisa-bisanya, dengan tangis dan tangan yang bergetar itu dia bilang aku menyedihkan? Kamu memang benar-benar menarik, Inggrid Iswara."

---

Ara sungguh tidak memerdulikan tatapan ingin tahu dari orang-orang yang ia temui di sepanjang koridor.

Ara. Gadis itu, kalau bisa dibilang, memang adalah anak yang polos dan juga lamban alias lola, tapi juga gampang panik dan heboh sendiri.

Otaknya masih mencerna hal yang baru saja ia alami. Hal yang membuatnya cukup terguncang.

Ia tidak pernah mengalami hal-hal yang seperti itu, bahkan membayangkan saja tidak. Lingkup hidupnya memang tidak terlalu luas dan ia cenderung menyukai kesendiriannya di kamar.

Ditambah lagi dengan mempunyai Ilham yang dengan senantiasa menjaganya.

Tapi bukan itu poin pentingnya. Otak Ara terasa kosong dan juga kebingungan dengan hal baru ini. Sekuat tenaga ia tahan air mata agar tidak lolos dari matanya.

"Ra," panggil seseorang membuat Ara mendongak. Ara hanya diam memandang seseorang itu, yang tidak lain adalah Adam.

"Ra?" panggil Adam lagi yang hanya disambut kebisuan Ara.

Adam yang khawatir pun menarik Ara ke tempat yang agak sepi agar membuat Ara nyaman.

Adam berdiri di depan Ara. "Kenapa, Ra?" tanya Adam lembut.

Detik itu juga Ara menangis mendengar suara Adam yang khawatir dan lembut.

Sungguh, ketika saat sedih dan bingung harus berkata apa kemudian ditanyai dengan kata 'kenapa?', rasanya malah ingin menangis.

Adam merengkuhnya ke dalam pelukan. "Stt... Stt...." Adam menepuk-nepuk punggung Ara. "Udah nangis dulu aja."

Ara semakin menangis dibuatnya. "Aku...." lirih Ara. "Aku takut... Aku takut... Ada orang jahat yang mau jahatin aku."

Adam melebarkan matanya kemudian dengan perlahan menyibakkan rambut Ara. Ia kemudian mendesah lega saat melihat tanda merah di leher Ara sudah menghilang dan tidak ada tanda merah yang lain.

Adam melepaskan pelukannya saat Ara sudah tenang.

"Maaf," ucap Ara kemudian menyeka air matanya.

"Siapa yang lakuin ini ke kamu?" tanya Adam yang digelengi Ara.

"Maaf, Pak. Saya pamit dulu," ucap Ara.

"Eh, Ara! Tung—" ucapan Adam menggantung saat Ara tidak mendengarkannya dan terus pergi berlalu. Membuat Adam menatap punggung Ara menjauh dengan tanda tanya besar.

---


Setelah bertemu dengan Ara tadi, di sinilah Adam sekarang. Duduk diam di belakang mejanya menatap dengan kosong ke arah ponselnya.

Duh, harusnya tadi aku anter pulang aja Si Ara. Dia udah pulang belum ya? Atau masih ada kelas lagi?

Adam mengembuskan napas panjang.

"Bikin khawatir aja," ucapnya kemudian menyabet ponsel di atas meja.

Ia langsung mengetik kontak Ilham dan meneleponnya.

"Halo, Ham?"

"Yoi, Bro. Ada apaan?"

"Posisi?"

"Di rumah. Ngapa?"

"Nggak sih. Ara udah pulang?"

"Ha? Ngapain tanya-tanya Ara?"

"Jawab aja ngapa sih."

"Udah. Baru aja sampe."

Tuutt.

Adam mematikan sambungan telepon secara sepihak.

"Kok ngerasa lega ya?"

---

Maaf ya pendek partnya.
Lagi bingung mau update wkwk. Otak lagi blank. Disuruh cepet ngajuin judul skripsi plus dosen pembimbing, kan aku jadi bimbang wkwk.

Andai ada pilihan dosen macem Adam.

Eh, jadi curhat wkwk.

Anu. Semoga suka dan gak bosen sama ceritanya ya.

Tertanda Dosenmu (Complete ✓)Where stories live. Discover now