Bagian 28 : Panggilan

46.8K 4K 91
                                    

Acara pernikahan Ara dan Adam telah berakhir beberapa saat lalu. Namun perkataan salah satu teman Adam saat bersalaman tadi masih terus mengganggu pikiran Ara.

Saat ini ia berada di dalam kamar yang sudah dihias sedemikian rupa. Setelah menghapus riasannya, ia masih tetap duduk di depan meja rias.

"Ra?" Suara Adam mengagetkannya.

"Ngg... I-iya, Kak?" sahut Ara gelagapan.

"Kamu ngapain ngelamun di depan cermin gitu?"

"Nggak apa-apa kok, Kak."

"Yakin? Kamu kok kayak banyak pikiran?" tanya Adam penasaran.

"Kak, Ara mau tanya."

"Tanya apa?"

"Kata salah satu temen Kak Adam. Aku ada kaitannya sama truth or dare. Apa jangan-jangan Kak Adam jadiin aku bahan taruhan-"

"Kamu itu ngomong apa sih, Ra?" potong Adam. "Kamu kebanyakan nonton sinetron kali," ucap Adam kemudian terkekeh.

"Kak aku serius penasaran. Aku kepikiran sama itu."

Kali ini Adam menatap Ara serius. "Ra, kamu tahu nggak truth or dare itu ada truth yang berarti harus jujur, dan dare yang berarti tantangan. Dulu waktu itu aku pilih truth, mereka tanya siapa orang yang aku suka, ya aku jawab kamu," jawab Adam yang membuat Ara merutuki kebodohannya. 

Iya juga ya. Keburu negative thingking dulu.

"Kenapa? Baru sadar?"

Ara mengangguk malu. 

Lalu Ara teringat satu hal lagi. "Hah? Berarti Kak Adam beneran suka aku?!" tanya Ara heboh yang membuat Adam tak kuasa menyemburkan tawanya.

Eh? Aduh aku ini tanya apa sih?! gerutunya merutuki kebodohannya.

Tangan Adam terulur untuk mengacak-acak rambut hitam Ara dengan gemas. "Kalau aku nggak suka sama kamu, ngapain aku jadi suami kamu, Sayang."

"Sayang?" lirih Ara terkejut.

"Kenapa? Kamu kan emang sayangnya aku," ucap Adam dengan memandang Ara intens.

Ara memalingkan wajahnya. Entah kenapa ia merasa deg-degan.

Sialan Dosen Labil ini. Eh bukan ding, sialan suami aku ini. Lagian apa sih sayang-sayang huhuu. Bikin baper aja. batin Ara.

"Hei liat sini, Sayang," ucap Adam.

"Kak! Geli tahu denger Kak Adam manggil aku sayang gitu," ucap Ara jujur.

Raut wajah Adam berubah sendu. "Maaf. Kirain kalau kita udah menikah, aku bebas menunjukkan rasa sayangku ke kamu, Ra. Padahal aku udah dari lama mendem. Aku juga mau ada panggilan spesial gitu."

Melihat reaksi Adam, Ara kelabakan. "Nggak gitu maksud aku, Kak. Ngg... mungkin yang lain aja? Oh atau anuuu... mungkin aku belum kebiasaan manggil begitu."

"Terus kamu mau panggil aku Kak Adam terus?" tanya Adam. Ara menggeleng.

"Aku juga mau dipanggil Abang," ucap Adam kemudian yang membuat Ara terkejut.

"Whattt?!!!!" ceplosnya. Melihat ekspresi Adam yang bertanya-tanya, Ara merasa kaku sendiri. "Hmm, mmbb. B-bang Adam," cicitnya pelan.

"Kamu nggak suka juga sama panggilan itu?" tanya Adam penasaran.

Ara menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Enggak kok, lebih nyaman dari yang tadi."

"Jadi mulai kapan kamu akan manggil aku Bang Adam?"

"Besok?" pernyataan Ara yang menyerupai pertanyaan.

Adam terkekeh melihatnya. "Huahhh," gerangnya kemudian sambil merenggangkan otot-ototnya. "Hari ini capek banget ya," ucapnya kemudian merebahkan diri di atas kasur.

"Ra, sini," ajak Adam sembari menepuk kasur sebelahnya yang kosong.

Ara melotot dan menatap Adam dengan tatapan horror.

Anjirr. Aku sampe lupa kalau hari ini kan malam pertama! Tapi kan Kak Adam udah janji nggak langsung anu aku?

"Tenang, aku nggak akan ngelakuin itu sampai kamu emang bener-bener siap. Kan aku udah janji ke kamu," ucap Adam membuat Ara mendesah lega. Untunglah Adam masih mengingat kesepakatan tempo hari.

"Terus Kak Adam ngapain manggil aku gitu?"

"Emangnya tidur seranjang nggak boleh? Kan aku suami kamu, belum juga tidur satu ranjang, masak udah harus pisah ranjang?"

"Nggak gitu—"

"Ya sudah. Sini," ucap Adam telak seperti tidak mau dibantah.

Ara berdiri dan melangkahkan selangkah demi selangkah mendekat. Kalau bisa diibaratkan, Ara seperti sedang melakukan slow motion. Layaknya di film-film.

Baru saja Ara duduk di tepi ranjang. Adam langsung berdiri.

"Ra, aku ke kamar mandi dulu," ucapnya lalu melesat ke kamar mandi yang ada di dalam kamar.

"Lahhh? Tu orang emang ngeselin ya. Untung suamiku," gerutu Ara merasa deg-degannya tidak berfaedah. Ia kemudian mengecek ponselnya.

Sebuah pesan dari Puput.

From Puput:
Gimana? Udah malam pertama belum?

Asem banget ya ini anak?!

To Puput:
Heh! Apaan sih kamu! Jangankan malam pertama, tadi aja aku baru tahu Kak Adam suka aku udah dari lama, tapi nggak tahu jelasnya kapan, yang jelas sebelum ketemu dan dia jadi dosen di kampus, terus kita aja tadi masih nentuin nama panggilan, terus dia tadi tuh ya, rebahan di ranjang sambil panggil aku disuruh tidur di sampingnya. Aku udah deg-degan jalan ke kasur, eh baru aja aku duduk dia berdiri dan pergi ke kamar mandi sambil lari. Huaa, aku kudu gimana???

From Puput:
Terus? Kenapa kamu masih ngetik manggil nama dia Kak Adam? Bukannya panggilan udah ditentukan? Jangan gitu dong, Ra, dia kan suami kamu, masak dipanggil Kak? Kayak agak gimana gitu. Ra, aku bilangin ya, dia ngaku kalau udah suka kamu lama, apa kamu nggak kepikiran dia sebenernya juga bingung sama kayak kamu, dan dia juga deg-degan sama kayak kamu, tapi dia udah nahan itu dari lama, dan pengen ledakin itu sekarang.

Iya juga kata Puput. Tapi udah kebiasaan manggil Kak, orang di kampus aja kadang keceplosan panggil Kak.

Ara berdehem dan mencoba berkata. "B-bang Adam?" Percobaan pertama masih terlalu kaku. "Bang Adam," ucapnya lagi. Dan seterusnya Ara mencoba memanggil nama suaminya itu hingga tanpa sadar suasana tiba-tiba hening saat ia mengatakan nama Adam terlalu keras.

"Iya?" Suara sahutan terdengar dari kamar mandi.

Ara melotot kaget dan refleks merebahkan dirinya di atas kasur membelakangi posisi Adam tidur dan menarik selimut menutupi bahunya dengan cepat. "Aduh, ketahuan!" ucapnya kaget.

Apa ternyata yang di sini deg-degan bukan cuma aku?

Suara pintu kamar mandi terbuka membuat Ara memejamkan matanya erat, ia berpura-pura tidur.

"Oh? Udah tidur? Apa aku tadi salah denger ya?" tanya Adam pelan kemudian ikut tidur di sampingnya Ara.

Sedetik kemudian, direngkuhnya tubuh Ara dari belakang.

Ara mengintip sedikit dari sudut matanya. Aduh, dipeluk-peluk. Tapi nggak bisa protes, kan ceritanya lagi pura-pura tidur. Terus dia juga kan suami aku.

Belum ada dua menit berlalu, Adam merasa tubuh Ara yang sebelumnya kaku menjadi rileks dan napasnya berubah panjang diiringi dengkuran halus.

Adam tersenyum dan mengeratkan pelukannya. Kemudian dia membisikkan sesuatu di telinga Ara. "I love you, Ra."

***

Uwaa. Makasih yang udah semangatin. Happy reading yaa. Semoga sukaaaa.
❤️❤️

Tertanda Dosenmu (Complete ✓)On viuen les histories. Descobreix ara