Bagian 21 : Insiden

42.4K 4K 13
                                    

Angin yang berembus menerbangkan helai rambut Ara yang sedang berjongkok dan mendongak ke atas.

Ia kemudian menunduk. "Maaf, tadi nggak sengaja liat. Nggak ada maksud nguping."

"Kamu denger?" tanya Adam.

"Denger apa?"

"Percakapanku sama mahasiswi tadi."

Ara terdiam sejenak kemudian mengangguk pelan. "Sedikit."

Melihat ekspresi Ara yang lucu menurutnya membuat Adam ingin menggodanya.

"Banyak juga nggak apa-apa," ucap Adam lalu ikut berjongkok di depan Ara.

"Terus pendapatmu gimana?"

"Emangnya aku harus respon gimana?" tanya Ara merasa bingung.

Adam tersenyum miring. "Kamu nggak cemburu?" tanyanya sambari menaikkan alis.

Hah? Maksudnya apa pakek senyum miring gitu?

Pipi Ara memanas mendengar ucapan Adam. Bagaimana dia bisa sefrontal itu? Dan Ara juga entah kenapa memang membenarkan hal tersebut.

"Engg-enggak. Ngapain aku harus cemburu? Emangnya aku siapa?" tanyanya lalu berdiri. "Maaf, Pak. Saya pamit mau pulang dulu," pamit Ara dengan mengubah cara bicaranya menjadi formal kemudian berdiri.

"Eh, Ara...." panggil Adam. "Kamu sakit? Kenapa kamu pucat?"

"Enggak, Pak. Saya baik-baik saja. Permisi," ucapnya kemudian meninggalkan Adam.

Kok Kak Adam tahu aku lagi nggak enak badan?  batin Ara. Aduh, tapi ini beneran lagi nggak badan kayaknya, pusing gini, terus mu-

"Huekkk!" Ara tiba-tiba merasa mual, refleks ia langsung menutup mulutnya dengan telapak tangan.

"Ra?" Adam menepuk pundaknya.

"Maaf, Pak. Bukan bermaksud tidak sopan—"

"Kamu sakit?"

"Kan tadi saya sudah jawab. Permisi," pamit Ara yang dicegah Adam dengan cara menarik tangan Ara.

"Ayo aku anter pulang," ucapnya.

Ara menarik tangannya dari genggaman Adam. "Saya bawa motor sendiri."

"Ra! Nurut aja kenapa sih?! Kamu kenapa kayak jauhin aku? Aku ada salah?!" tanya Adam dengan nada tinggi.

Ara terdiam. Cukup kaget mendengar nada tinggi dari lawan bicaranya. Ia menggigit bibir bawahnya karena kesal dan mengepalkan tangannya.

Tidak ada yang suka dibentak.

"Jangan bentak saya! Di kampus, kita ini cuman sebatas mahasiswi dan dosen! Di luar kampus, kita sebatas Anda teman Abang saya! Jadi saya tidak berusaha menjaga jarak. Saya hanya mencoba menempatkan diri di posisi yang seharusnya! Terima kasih bentakannya, saya permisi," ucap Ara dan berlalu meninggalkan Adam sendiri.

Adam cukup tertegun mendengar ucapan Ara.

"Jadi menurutmu begitu, Ra?" gumam Adam sembari melihat punggung Ara yang semakin menjauh.

"Terima kasih bentakannya!" Kalimat Ara tadi terngiang di kepalanya. Ia kemudian mengacak rambutnya dan mengembuskan napas kasar.

"Duh," lirih Adam.

Aku... aku cuma khawatir....

---

"Kenapa sih si Adam itu?! Ngeselin banget!" Di sepanjang jalan menuju rumahnya, di sepanjang jalan ia menaiki motornya, tidak henti-hentinya ia menggerutu karena kesal pada Adam.

"Gila apa tiba-tiba ngebentak gitu? Nggak terima dong aku!"

Tin-tin!

Ia memencet klakson motornya karena motor di depannya tiba-tiba berbelok tanpa menyalakan lampu sen.

"Itu juga! Untung nggak aku tabrak. Nggak tahu aku lagi pusing gini bikin kesel aja!"

"Si Adam juga, ngeselin banget. Apa sih maksudnya dia tuh? Heran. Dia itu berubah-ubah banget! Ngeselin pokoknya! Kadang baik, kadang ngeselin, kadang kayak ngasih harapan, kadang nolongin. Suka peluk-peluk sembarangan lagi! Nggak mikir apa udah punya calon juga! Bisa-bisanya!"

"Aduh, aku kayaknya masuk angin deh ini, beberapa hari ini emang dingin banget sih."

Ia pun menambah laju motornya karena kepalanya yang semakin nyut-nyutan dan mual.

Sesampainya di rumah, Ara langsung berlari menuju kamar mandi karena ingin muntah. Namun kamar mandi ada yang pakai. Ara kemudian berlari menuju dapur dan berdiri di menghadap wastafel.

"Huekk! Huekk!"

"Ara? Kamu kenapa?" tanya Ibunya yang sepertinya baru saja keluar dari kamar mandi.

"Ara pusing, terus mual-mual," jawab Ara dengan tangan memijit lehernya.

"Ra, kamu nggak hamil, kan? Kok mual-mual, tapi nggak muntah." Pertanyaan itu seperti sambaran petir bagi Ara.

"Stt! Bunda! Bisa-bisanya mikir gitu ke Ara."

"Ya habisnya Bunda khawatir. Kan Ara sempet Bunda tinggal lama, jadi kan wajar kalau Bunda tanya. Walaupun ada Bang Ilham, Bunda sebagai ibu kamu kan berhak tanya," ucapnya lalu terkekeh.  "Tapi Bunda percaya sih Ara nggak akan ngecewain Bunda kayak gitu," lanjutnya.

Ara tersenyum. "Kayaknya masuk angin aja kok, Bunda."

"Yaudah, kamu masuk kamar gih, Bunda buatin bubur buat kamu makan."

Ara hanya mengangguk dan melebarkan senyumnya kemudian berlalu.


---

Masih ada yang nungguin cerita ini?

Tertanda Dosenmu (Complete ✓)Where stories live. Discover now