01 - Surat dari Ayah

4.5K 444 25
                                    

"Cakrawala tengah malam jadi teman untukmu menggoreskan tinta di selembar halaman. Baris-baris aksara jadi pesan, menumbuhkan benih harap yang kian lama kian membesar."

- Arnav dan Lautan -
.
.
.
.
.

Jangan lupa VOTE untuk menghargai tulisan ini.

Komentar dari kalian sangat berarti untuk Mocca, jadi jangan sungkan untuk spam komentar hehe.

Semoga suka ya, happy reading^^

Semoga suka ya, happy reading^^

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

.
.
.
.
.

Lantunan ayat-ayat suci Al-Quran terdengar hingga ke ujung ruangan di mana seorang anak laki-laki tengah terisak sendirian. Dengan pencahayaan yang temaram ia terduduk di lantai seraya memeluk sendiri kaki mungilnya. Kepalanya ia tenggelamkan dalam-dalam hingga tak ada lagi suara tangisan yang terdengar.

Kretttt

Pintu kayu yang telah dimakan rayap pada bagian dasarnya itu terbuka menampilkan sosok anak laki-laki berusia delapan tahun. Anak berkulit putih berperawakan kecil itu berjalan mendekati adik sepupunya. Tangan mungilnya mengusap lembut punggung sempit bocah yang sudah ia anggap sebagai saudara kandungnya sendiri.

“Adek, jangan lama-lama ya nangisnya. Nanti Abang ikut sedih,” tutur bocah berbaju koko itu.

Adiknya mengangkat kepala lalu memandangnya sendu. Masih dengan sesenggukan ia bertanya, “Berarti sekarang Arnav sudah tidak punya- hiks hiks- bunda, ya, Bang?”

“Mamanya Abang sekarang jadi bundanya Arnav juga. Jadi, Arnav jangan sedih lagi ya. Ada Abang di sini.” Jawab bocah bernama Pandu itu lalu memeluk Arnav dengan hangat.

Cahaya bulan semakin berpendar di tengah gelapnya malam. Satu per satu warga ke luar meninggalkan tempat mereka mengadakan tahlilan. Rumah kembali hening masih dengan segala sesak yang kian menyekat dada. Pria berusia 27 tahun melepas pecinya kasar lalu menangis diam-diam.

Cukup lama terisak di teras rumah, ia masuk menuju kamar mendiang istrinya yang dipakai saat masih remaja. Di sana ia melihat keponakan dan anak semata wayangnya tengah tertidur lelap. Dengan lembut ia usap kepala dua anak laki-laki itu.

Puas memandangi dua wajah malaikat kecilnya, ia berjalan menuju meja belajar Hanin. Merobek secarik kertas dari dalam buku tangannya meraih sebuah pena. Ia menuliskan sesuatu di atasnya bersamaan dengan bulir bening yang terus mengalir.

Selesai dengan itu pria yang selalu Arnav panggil dengan sebutan ‘ayah’ itu menyelipkan kertas tersebut ke sebuah mainan yang sering anaknya bawa. Ia kembali mendekati Arnav untuk menuntaskan segala sesaknya. Dengan lembut ia kecup kening hangat itu.

“Maafkan ayah, Arnav.” Lirih pria itu lantas kembali mengecup kening anaknya.

“Om...” panggil pandu pelan membuat pria itu sedikit terkejut.

Arnav dan Lautan | Haechan [END]Where stories live. Discover now