TIBA

554 11 1
                                    

***

Rantai Hitam sudah terkenal sedari lama. Khususnya masyarakat Kota Anggur. Mereka sudah tak asing dengan nama tersebut. Hanya saja, anggota inti Rantai Hitam jarang sekali tampil di permukaan. Lebih banyak para kacung yang ditugasi me-handle berbagai tugas. Tapi jangan salah, sekali para inti tampil, apalagi ketuanya, dapat dipastikan akan terjadi hal yang luar biasa. Entah kabar baik yang diterima, atau kabar buruk yang mengundang marabahaya.

Jika dianalogikan, Rantai Hitam itu seperti iblis berhati malaikat. Siapa saja boleh datang. Siapa saja boleh minta tolong. Namun, yang perlu digaris bawahi adalah: resiko ditanggung sendiri. Hingga di kemudian hari, muncul sebuah pepatah, "lebih baik gaji kecil tapi halal, daripada mencari masalah dengan Rantai Hitam". Pepatah itu benar adanya. Bukan hisapan jempol belaka apabila ada yang berani mengusik mereka, sudah jelas esok harinya akan ditemukan mayat di pinggir jalan. Mati konyol tanpa tahu siapa pembunuhnya.

Kendati demikian, hal itu tak berlaku bagi pemuda phobia kucing, Bara. Lelaki gesrek takut lapar ketimbang hidup tanpa pacar.

Sampai tibalah Bara di jalan utama bagian selatan, kompleks besar area belakang Kampus UB. Ada sebuah pemandangan yang jauh dari kata biasa. Sampah masyarakat yang dijuluki preman atau pun mahasiswa sulit dibedakan. Mereka berbaur. Membentuk kelompok-kelompok kecil di sudut-sudut jalan. Selain memutar minuman beralkohol, ada pula beberapa orang yang tengah melakukan transaksi ... entah apa itu. Tak sedikit ada yang bermain judi menggunakan media kartu Remi dan Domino. Anehnya lagi, para mahasiswa yang lalu lalang seakan menganggap hal itu biasa. Khususnya para mahasiswi. Seolah mereka tengah melenggang di taman surga. Santai sekali. Tak ada yang mengusik, menggoda, ataupun melakukan pelecehan. Sungguh lingkungan aneh untuk orang-orang suram di Kota Anggur.

Suara knalpot motor brong Bara membuat atensi jatuh kepadanya. Semua mata memandangnya tajam, siap menerkam. Segala macam aktifitas terhenti beberapa saat. Hingga seorang berbadan tinggi besar, berikut rambut gondrong sepunggung yang dibiarkan terurai, menghadangnya dari seberang jalan.

"Wajahmu kelihatan asing. Kamu bukan orang sini, ya?" sapaan tak ramah si gondrong membuat wajah Bara berubah masam. Belum bicara apa-apa, Bara sudah mendapat kesan dimusuhi. Melihat Bara yang tak kunjung buka suara, si gondrong kembali berkata, "Kamu bisu? Jawab, cok, jancok!"

"Wo, wo, wo! Santai, Om. Aku mau kuliah di situ." Bara angkat tangan, seraya menunjuk Kampus UB yang super megah.

Si gondrong memicingkan mata. "Kamu salah jalan. Sana balik. Lewat gate depan, bukan gate sini."

"Kata temenku, aku harus lewat jalan ini, Om. Aku mau nyari kostan sekalian."

"Kost?"

"Iya. Apa ya nama kostannya tadi?" Bara mengetuk-ngetuk jidatnya. Berpikir. Mengingat-ingat. Setelah ketemu, Bara menjentikkan jari. "Ah! Rantai Hitam! Di mana ya itu, Om?"

"Kamu ... siapa temen yang kamu maksud? Kamu ada kenalan orang Rantai Hatam?" si gondrong sontak ngeri sendiri saat ia menyebut nama itu. Tak apalah. Andai ada masalah, ia akan melimpahkan kepada pemuda kurang ajar di hadapannya.

"Anggap aja begitu."

Si gondrong menghela nafas berat. "Ikut aku."

Respon Bara di luar dugaan. Ia berdecak keras sambil membuka masker. "Bangsat. Aku nggak suka di perintah orang lain. Apalagi orang itu bukan wanita. Gendeng!"

Hak Asasi Money 21+ [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang