Darah Biru

337 11 0
                                    

***

Beberapa jam setelah pembantaian para lelaki tajir di sektor selatan, ada sebuah pertemuan tertutup di dalam bunker Dominion Store sektor timur yang dihadiri oleh tiga orang. Dua lelaki, satu perempuan.

King, seorang lelaki berambut gimbal dan berbadan tinggi besar bak anak reggae memimpin rapat terbatas dengan pembahasan yang terarah pada satu topik: Rantai Hitam.

Kedua rekannya, Jack dan Queen, menyimak sambil sesekali menenggak teh hijau dan cemilan ringan yang telah disediakan di atas meja bundar.

Rokok disulut, teh hijau diseruput. King mengakhiri membaca ulang laporan yang diberikan dua rekannya. Sambil bertopang tangan, King membuka diskusi terbuka. “Kedatangan anak itu bikin situasi tambah runyam.”

“Siapa yang menyangka kalau rencana kita sedikit terkendala. Yang seharusnya insiden di pelabuhan lama kita bisa menghabisi Loki atau Rio, malah digantikan orang lain. Mana digagalkan juga sama si Queen,” tandas Jack.

“Jangan salahkan aku. Habisnya anak itu yang dengan pedenya mengambil alih misi. Lebih anjingnya, dia malah melibatkan perasaan sama si janda dan anaknya. Kesel.” Queen memberi klarifikasi.

“Semakin kacau ketika kita tahu siapa sebenarnya anak itu.” King tertawa. Hambar. Tawa menutupi ketakutan yang perlahan menyeruak dibumbui kengerian. Setelahnya, King menghisap rokok. Dibentuk bulat-bulat beberapa kali, sebelum kembali berujar, “Rantai Hitam jadi semakin kuat.”

“Ya bayangin aja, King. Rantai Hitam sudah mendapat pecahan puzzle mereka. Meskipun kita tahu latar belakang si batu terakhir, bukan berarti kita harus lengah. Aku yakin, pasti masih ada yang dia sembunyikan dari kita.”

“Kamu salah, Queen.” Jack menyela, “lebih tepatnya, dia menyembunyikan hal yang penting dari semua orang dengan menggiring opini. Menyembunyikan kebenaran dengan kebenaran lain. Termasuk ke teman-temannya sendiri. Apalagi ...” Jack menunjuk sebuah foto di atas meja. Foto seorang lelaki berwajah beringas dengan anting berbentuk salib di telinga kanan. “Bocah ini berada di pihak anak itu. Dia akan sangat merepotkan. Jauh lebih merepotkan.”

“Kenapa kamu bisa berkata begitu, Jack?” King bertanya-tanya.

“Berto bukanlah tipe orang yang mudah percaya orang. Tapi kalau itu Bara, aku merasakan ikatan persaudaraan yang kuat. Dia bakal melakukan segala cara untuk menjaga Bara yang sudah dia anggap adiknya. Itulah yang aku tangkap dari pembicaraanku bersama Bu Novia. Apalagi malam ini mereka baru saja mengacau di Rumah Bordil Darmo. Semakin sulit untuk mengusik Bara tanpa persiapan yang matang.” Queen yang memberi penjelasan. Panjang lebar. Wajah cantiknya tak pudar sedikit pun meski penuh keringat. Keringat hasil bercocok tanam bersama seorang lelaki untuk mendapatkan sebuah informasi. Berikutnya? Tentu saja nyawa lelaki itu sudah melayang terkena timah panas di jantungnya. Terbujur kaku di dalam kantung mayat di satu ruangan kecil yang ada di dalam bunker tersebut.

King manggut-manggut. “Bisa dibilang, situasi semakin memburuk, ya?”

“Ya. Buruk sekali.” Queen menghela nafas ringan, “kesempatan terakhir kita ya saat insiden di pelabuhan lama. Selanjutnya, aku nggak punya gambaran rencana jelas untuk ke depannya.”

Wajah King berubah kecut. Ia paling tidak suka melihat rekannya pesimis. Namun, yang King hadapi adalah Queen. Gadis polos yang tak sepolos orang kira.

Tak jauh berbeda dengan Jack yang paling junior di sini. Pikirannya melalang buana. Ada sepercik api penyesalan memilih menjadi anjing pemerintah. Sayang, nasi sudah menjadi bubur. Jack tak punya banyak pilihan jika tak mau kedua orang tuanya mati konyol. Kembali Jack menelusuri sebuah ingatan kelam yang menimpa dirinya. Nasib seorang anak tunggal yang memiliki orang tua kelewat gila hingga berani membongkar aib sebuah instansi. Kecerobohan yang berimbas pada Jack.

Hak Asasi Money 21+ [On Going]Where stories live. Discover now