Panas

2.4K 15 1
                                    

***

Di luar kamar mandi, ada Bara yang merokok di balkon. Mencoba menghilangkan pikiran mesum yang hinggap di kepala. Semakin sulit saat samar-samar Bara mendengar gema suara Dira yang mendesah. Tidak perlu dijelaskan, lelaki dewasa mana pun sudah paham apa yang sedang Dira lakukan.

Hembusan nafas kasar Bara keluar. Kemudian, ia menghidupkan ponsel untuk mengalihkan perhatian. Bara tidak ingin gegabah. Terlebih, Bara mengutamakan kenyamanan Dira. Dan yang menjadi prioritas perhatian Bara adalah Aura. Bocah itu ... siapa yang mengajarinya memanggil orang lain yang baru dikenal dengan panggilan 'papa'? Apa Aura kurang kasih sayang seorang ayah, sampai-sampai alam bawah sadar bocah itu telah memberi alarm kenyamanan jika di dekat Bara hingga memanggil Bara demikian?

Berbagai macam pertanyaan lainnya terus berputar di otak Bara. Namun, Bara mencoba berpikir jernih. Ia pilah satu persatu pertanyaan yang paling mudah dijawab. Syukur-syukur pertanyaan itu tidak bercabang. Jika iya, Bara akan semakin terjebak di tempat yang sama.

Seiring data ponsel dihidupkan, berbagai notifikasi mulai masuk. Hanya ada dua sosial media di ponsel Bara: WhatsApp dan Instagram. Jangan salah. Bara termasuk tipe manusia simpel. Asal ponselnya bisa dibuat komunikasi dan sedikit hiburan menyimak berita bola di beranda Instagram, Bara tidak peduli kata orang yang menyebutnya kudet. Terserah. Whatever. Jancok.

Satu pesan WhatsApp dari nama kontak yang Bara beri nama Abner tertera di layar notifikasi. Ada 5 pesan belum terbaca.

Abner

Bar, mama masuk rumah sakit
Sorry, Bar, aku cuma ngabarin aja. Kamu nggak perlu pulang. Kamu fokus aja di sana
Bar, kamu kok centang?
Bar, mama nyariin kamu. Kalau ada waktu, kabarin
P

Tanpa membalas pesan Abner, Bara langsung menekan tombol telepon. Memanggil, lalu berdering. Lama tak diangkat, hingga si penerima telepon di seberang sana mulai tersambung.

"Halo, Ner. Gimana mama?" nafas Bara memburu. Jantungnya berdegup keras. Ia tahan sekuat tenaga agar air matanya tidak tumpah.

"Halo. Kalem, Bar. Rileks. Santuy. Tarik nafas. Tahan lima menit."

"Mati aku, ndeng!"

"Hahaha. Itu dia Ksatria Batang Hitam kita. Aku benar-benar kangen makiannya."

"Hm. Gimana mama, Ner?"

"Alhamdulillah udah membaik, Bar. Kamu yang tenang, ya."

"Temenan, ta? Gak ngedrabus?" (Beneran, kah? Bukan omong kosong?)

"Tak panah gegermu, lho." (Aku panah punggungmu, lho.)

"Cuk. Bolong lakan. Asu kon." (Cuk. Berlubang dong nanti. Anjing kamu.)

"Ngomong-ngomong, udah dapat tempat di sana?"

"Udah. Aku ngekost di belakang kampus. Rantai Hitam."

"Bahahahaha. Takdir emang lucu, ya, Bar."

"Begitulah kehidupan."

"Aku jadi nggak sabar kamu bawa pulang kepala orang yang bertanggung jawab atas kematian papa."

Hak Asasi Money 21+ [On Going]Where stories live. Discover now