Rumah Bordil Darmo

381 8 0
                                    

***

Jikalau seluruh penjuru Kota Anggur mengenal Rantai Hitam sebagai iblis berhati malaikat, maka Radicai Raiders justru kebalikannya. Kelompok besar yang berbasis di sektor selatan ini hanya memfokuskan bisnis di dunia perlendiran. Julukan yang disematkan ialah malaikat berhati iblis. Itu karena kelompok yang akrab dipanggil RR ini, turut membantu mengentaskan kemiskinan dan mendongkrak ekonomi Kota Anggur dengan cara di luar nalar. Seperti memperjual-belikan wanita dari umur 17 tahun sampai 50 tahun. Hal yang biasa. Terlebih berbagai model wanita dari seluruh dunia dapat ditemui di tempat terkutuk ini. Sebagai pewarna, Rumah Bordil Darmo membuka jasa panti pijat plus-plus, karaoke, melayani pria hidung belang dengan segala fetishnya, sampai bisnis terselubung: jual-beli organ manusia.

"Karena aku pembela kebenaran, jadi aku akan berangkat." Tekad kuat Bara tak dapat dibendung. Ia mengatakan itu dengan wajah sedikit mesum.

"Bajingan. Aku sudah bisa nebak kalau misi yang paling kamu sukai selalu berhubungan sama wanita, dan ngincer memeknya aja."

"Woi. Suara hatimu keluar, lho, Mas Loki." Bara menegur. "Ehem. Aku itu orangnya paling nggak bisa melihat wanita dalam bahaya. Gitu aja nggak paham."

"Bahaya apanya? Orang cewek yang kamu maksud dikasih uang sama enak. Ada-ada aja."

"Kalau gitu ..." Bara melirik Loki sekilas, lantas menaikkan sebelah alis, lalu bertanya, "kenapa misi ini diajukan?"

Terdiam. Loki baru menyadari sesuatu. Ada yang tidak beres dengan misi ini. Apalagi Erwin melabeli level S. Selama satu tahun ini, ia merasa dibodohi oleh cara berpikirnya sendiri. Sudah jelas Bara memiliki sudut pandang yang lain. Dan itu ...

"Perbudakan." Bukan Bara atau pun Loki yang bersuara. Melainkan seorang Berto yang berdiri menjulang bersandarkan kusen pintu kamarnya. "Sebenarnya aku mau ngambil misi itu. Tapi kalian tau sendiri aku sudah punya Sarah."

"Apa hubungannya, Mas Bento?" sambar Bara, geram.

"Ya ada, lah, ho. Kamu ini geblek emang. Polosmu itu lho bikin bijiku bergetar." Berto berjalan menghampiri Bara dan Loki. Berdiri di tengah-tengah mereka, sambil memandangi kertas permintaan Miss Meylia. "Kalau aku nyoba nyelametin gadis ini, mau nggak mau aku harus nikahin dia. Tradisi turun temurun Rumah Bordil Darmo yang masih dipertahankan sampai sekarang."

"Dalilnya apa sampai harus dinikahin segala? Mana mau aku nikahin cewek yang memeknya udah dimasukkin kontol se-kabuparen."

Berto dan Loki kontan tertawa dengan ucapan Bara. Lawakan semi hinaannya sungguh tiada lawan. Apalagi ketika Bara mengatakannya dengan mata melotot. Konyol.

"Penebusan wanita yang ingin kamu keluarkan itu sama seperti mahar. Kamu beli, berarti itu sudah menjadi hak milikku." Loki memaparkan.

"Tanpa dinikahi, apa bisa?"

"Cok. Wes jelas iki niate mek digawe ngguwak peju tok karo jaran kepang iki." (Cok. Sudah jelas ini niatnya hanya dijadikan buang sperma saja sama jaran kepang ini.) Maki Berto.

"Info ngantemi Bara." (Info menghajar Bara.)

"Gas wes. Tak siapno gamanku sek, Mas." (Gas sudah. Aku siapkan senjataku dulu, Mas.)

Bara terkekeh. "Aku orangnya realistis, coy."

"Realistis ndogmu gede seseh, ho." (Realistis biji pelermu besar sebelah, ho.) Berto kehabisan kesabaran. Ia tempeleng pelan kepala Bara. Kebiasaan.

"Terserah kamu aja, lah, Bar." Loki menyerah. Tak ingin lagi mendebat apa pun yang terjadi nantinya. "Jadi, apa rencanamu?" tanyanya, setelah beberapa saat jeda kebekuan.

Hak Asasi Money 21+ [On Going]Where stories live. Discover now