Moon and Her Sky : BAB 03

46.9K 4.5K 126
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Sa, Sa, gue punya berita penting. Gila ini penting parah!" dari dalam ruang ujiannya, Aji berlari-lari menghampiri Angkasa dan Naufal yang tengah bercakap-cakap soal game online di selasar. Seketika senyap. Hampir semua orang yang berdiri maupun duduk di sekitar Angkasa dan Naufal, menaruh perhatian kepada Aji. Dengan suara pelan, Aji berkata, "Cewek yang kemarin ngobrol sama lo di kantin, gue lihat tadi pulang sama Garda. Garda yang artis itu."

Naufal pasang ekspresi takjub atas berita yang baru Aji bawakan. Namun tidak dengan Angkasa. Laki-laki itu lebih memilih menatap temannya dengan pandangan datar. Pun dengan pertanyaan singkat yang nadanya benar-benar datar: "Ya terus kenapa?"

"Itu berarti lo enggak punya kesempatan buat deketin dia, lah! Mana bisa lo menang dari seorang Garda, cuy. Lee Min Ho-nya Indonesia!" balas Aji masih dengan nada kelewat antusias. Seolah-olah yang dibawakannya memang berita paling penting sejagat raya.

Angkasa tertawa-tawa sambil menggeleng. "Ji, gue enggak peduli, sumpah. Gue ngajak dia ngobrol juga cuma gara-gara gue mau minta kembalian beli nasi goreng. Terus kenapa?"

Aji dan Naufal saling pandang selama beberapa detik, lalu serempak menoleh kepada Angkasa sambil berujar, "Modus!"

Setelah itu keduanya tertawa benar-benar puas. Angkasa tidak peduli. Lagi pula ini sudah biasa terjadi di antara ketiganya. Angkasa memang belum pernah pacaran lagi sejak kelas sembilan SMP, dan itu yang jadi alasan bagi Naufal dan Aji untuk terus memojokkannya selama beberapa bulan terakhir ini. Namun Angkasa tidak sepeduli itu. Angkasa pikir, bukan berarti ia harus punya pacar karena terus-menerus diejek teman-temannya. Toh semuanya hanya gurauan.

Di tengah gelak tawa Naufal dan Aji yang terdengar sampai ke sepanjang selasar, bel masuk yang suaranya jauh lebih keras menginterupsi keduanya. Sama seperti mayoritas siswa-siswi lainnya yang sedang berada di luar kelas, Angkasa juga masuk ke ruang ujiannya. Begitu pula dengan Naufal dan Aji.

Kemudian kabar buruk pagi ini adalah Angkasa tidak bisa fokus terhadap tiap-tiap soal yang tersaji di atas mejanya. Pikirannya bercabang ke mana-mana. Dan Angkasa pikir, gurauan teman-temannya bisa sesekali ia seriusi. Angkasa ingin mendekati gadis yang menduduki kursinya di pagi hari.

Mona Arisa, kelas X-IIS-2, SMA Diponegoro.

✦ - ✦ - ✦

"Na, ini punya lo ya? Gue lihat ketinggalan di kolong meja. Ada HP-nya, jadi gue bawa. Takut kalau gue tinggal, soalnya kan ada yang masuk siang," ujar Heru, Ketua Kelas X-IIS-2. Mona yang baru saja melangkahkan kakinya ke dalam ruangan, langsung menoleh ke laki-laki yang menempati kursi terdepan di dekat pintu tersebut. Dilihatnya tangan Heru menggenggam tempat pensil kain persis dengan miliknya.

"Ah, iya! Makasih loh! Kemarin gue cari udah enggak ada," ujar Mona. Heru hanya mengangguk-angguk kemudian kembali sibuk dengan bukunya. Mona langsung beranjak dari meja tersebut, berjalan menuju ke mejanya sendiri di mana sudah duduk seorang laki-laki yang tak lain adalah Muhammad Garda Pamungkas.

Keduanya hanya saling sapa melalui senyum, kemudian Mona duduk dan mengeluarkan ponsel dari tempat pensilnya. "Ih, seratus persen. Makasih ya, Ru udah dicas!" ujar Mona lagi dengan suara lebih keras dari sebelumnya. Heru yang tidak benar-benar jauh darinya itu hanya mengacungkan ibu jarinya sebelum kembali sibuk.

Tiga jarum jam yang terkurung di balik kaca jam dinding di tas papan tulis itu tidak berhenti melangkah dan bersuara. Satu yang Mona pikirkan hari ini, ia harus mengembalikan uang seribu rupiah milik Angkasa siang ini.

Mona sudah menyiapkan uang seribu berupa koin sejak semalam, dan menyimpannya di saku seragam. Uang itu tetap tersimpan di sana selama Mona mengerjakan tiap-tiap soal, selama Mona pergi ke kantin, sampai bel terakhir terdengar begitu nyaring di tiap ruang kelas yang ada.

Mona berdiri di selasar depan ruangannya, menanti Angkasa sampai terlihat batang hidungnya.

"Nah, ini dia. Gue nungguin lo!" ujar Mona begitu ia melihat Angkasa datang sambil memainkan ponselnya. Angkasa berhenti melangkah saat itu juga, dan menyaksikan Mona merogoh setiap saku yang dimilikinya—dari saku baju muslimnya, saku rok kelabunya, sampai saku jaket yang dikenakannya.

Namun nihil. Mona tidak menemukan apapun di saku mana pun.

Angkasa berdesah. "Jadi? Lo bela-belain nungguin gue dateng sampai setelah salat Jumat selesai, cuma buat nyuruh gue ngeliatin lo nyari uang seribu di kantong, padahal sebenernya enggak ada?" tanyanya.

"Ih, gue udah masukin kantong, sumpah!" balas Mona tak mau kalah sambil mengacungkan dua jarinya. "Kok enggak ada sih? Perasaan gue enggak jajan pakai uang seribu tadi di kantin."

"Cewek pakai perasaan mulu." Angkasa mengerlingkan matanya. "Ini kan udah hari terakhir ujian. Besok gue duduknya udah enggak di situ lagi. Belum tentu gue ketemu lo juga."

Mona berhenti mencari di tiap sudut ransel kecilnya. "Ini penting banget enggak sih gue balikin seribu rupiah ke lo?" tanyanya sudah dengan wajah super jengah. Hanya selembar seribu rupiah, tapi kenapa Angkasa benar-benar harus mendapatkannya kembali?

Angkasa mengedikkan bahunya. "Seribu juga bisa bikin sembilan puluh sembilan ribu jadi seratus ribu," katanya, mengulang alasan yang kemarin digunakannya ketika Mona bertanya hal serupa. Namun Mona hanya berdecak sebal sebab dipikirnya, Angkasa bercanda. "Biarpun seribu, itu tetap utang. Gue kasian aja sama lo kalau nanti di akhirat ditanya, kenapa utang seribunya enggak dibayar, padahal lo mampu."

"Gilaaa! Nyebelin banget sih, elah!" gerutu Mona. "Ya udah, nanti kalau gue ada uang seribu yang super penting itu, gue chat lo deh. Minta kontak lo," pinta Mona, melalui cara paling terakhir yang tidak pernah terpikir olehnya ini akan benar-benar dilakukannya.

Gadis itu memberikan ponselnya yang sudah menampakkan tampilan add friend di LINE.

Namun bukannya menerima ponsel yang Mona sodorkan, Angkasa lebih memilih untuk mendiktekan ID-nya, "Angkasayang. Add aja, tapi jangan sering-sering chat ya. Gue takut lo kenapa-napa."

"Najis. ID apaan kayak gitu," ejek Mona sambil melihat kontak Angkasa yang sudah muncul di layar ponselnya. Dalam hitungan detik, Mona menekan add, dan di detik yang sama pula ponsel Angkasa bergetar, terbit notifikasi bahwa Mona sudah menambahkannya sebagai teman.

"Ya udah, nanti gue chat," kata Mona.

Angkasa mengangguk. "Jangan nanti. Kapan-kapan aja kalau uangnya udah ada. Gue mau yang pasti-pasti aja," katanya diikuti segaris senyum lebar. Mona hanya menatapnya dengan tajam tanpa berkata apapun. "Iya, iya, Mona. Lo chat kapanpun itu, gue bales nanti ya. Udah sana pulang. Nanti ditinggalin sama Mas Garda."

Mona hampir saja melangkah, sebelum pada akhirnya mengurungkan niatnya. Tatapannya kepada Angkasa semakin tajam. "Enggak usah sok tau. Gue enggak deket sama Kak Garda."

"Gue enggak bilang lo deket sama Mas Garda. Gue cuma bilang nanti ditinggalin sama Mas Garda. Jangan ngarang sendiri, deh," balas Angkasa dengan begitu santainya, tapi sukses membuat Mona semakin geram sekaligus gemas dalam satu waktu bersamaan.

Kemudian gadis itu benar-benar beranjak meninggalkan selasar, meninggalkan Angkasa, dan meninggalkan gedung sekolah. Meski pada awalnya masih dengan langkah mencak-mencak. Dan tanpa Mona sadar, layar ponselnya masih terus menyala dan menampilkan tampilan yang sama sejak tadi: kontak LINE Angkasa yang belum di-close.

Dan dari ruangan lain, diam-diam Aji dan Naufalmenyaksikan apa yang baru saja terjadi. Mereka melihatnya secara gamblang,Angkasa yang kemarin bilang secara tidak langsung bahwa ia tidak menyukai Mona,hari ini memiliki percakapan menarik yang mereka dengar.

Moon and Her SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang