As You Wish: BAB 16

1.3K 138 25
                                    

Tidak lama setelah bertanya di telepon dan mengakhiri sambungan telepon, Mona keluar dari toilet, menemui Angkasa yang sedari tadi menantikannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tidak lama setelah bertanya di telepon dan mengakhiri sambungan telepon, Mona keluar dari toilet, menemui Angkasa yang sedari tadi menantikannya. Akan tetapi, gadis itu hanya memberikan ponsel Angkasa kembali, kemudian berjalan meninggalkan Angkasa.

"Na?" panggil Angkasa seraya menyeimbangi langkah dengan gadisnya. Tidak ada jawaban. "Na, lo kenapa?"

Mona tetap tidak memberikan jawaban apapun. Bahkan gadis itu serta-merta menangkis tangan Angkasa ketika pergelangan tangannya diraih. Mona hampir saja menyemburkan segala amarahnya yang menumpuk. Namun melihat Angkasa yang kelihatan lebih marah membuatnya urung.

Tangan Angkasa kembali mencengkeram pergelangan tangan Mona. Kedua matanya menyorot lurus ke kedua bola mata Mona. "Gue nanya baik-baik, Mona," ucap Angkasa dengan tenang namun tegas. "Apa maksud lo ngomong kayak gitu di telepon?"

Mona menggeleng. "Nggak ada maksud," katanya. "Gue cuma jenuh."

"Karena gue?" tanya Angkasa.

Mona tak memberikan jawaban apapun selain decakan sebal. Gadis itu berusaha keras melepaskan cengkeraman Angkasa, juga melepaskan diri dari atensi orang-orang sekitar yang menyaksikan. Mona tidak mau jadi tontonan konyol di kampus.

"Mau ke mana? Kita belum selesai bicara," ujar Angkasa. Laki-laki itu mengedarkan pandangan ke sekeliling, menyadari satu dua orang yang mulai menyaksikan. Urung mengutarakan apa yang hendak disampaikannya, Angkasa lebih memilih untuk menggandeng Mona pergi dari kawasan ramai.

Taman di belakang kampus jadi destinasinya. Sepi dan sunyi. Sudah tidak ada penghuninya sebab sore pun telah hampir larut. Orang-orang sudah mulai beranjak meninggalkan kampus.

"Gue ngajak lo bicara baik-baik, ya, Mona Arisa," tutur Angkasa lembut. "Jadi tolong terima gue dengan baik-baik juga. Hargai gue sebagai pacar lo."

Masih dengan wajah cemberutnya, Mona menatap laki-laki yang duduk di hadapannya. "Gue salah, Sa." Mona menukas dirinya sendiri. "Gue salah dari awal. Harusnya gue nggak usah putusin Randi demi lo, kan?"

Raut serius Angkasa luntur perlahan-lahan. Tubuhnya yang duduk dengan tegap kini melemas. Sekarang drama apa lagi, sih?

"Kenapa?" tanya Angkasa.

"Kenapa, lo tanya?!" nada bicara Mona meninggi. Wajahnya memerah terbakar amarah. "Ya karena gue sekarang sadar, Sa, kalau lo emang bener-bener nggak sayang sama gue. Demi lo doang, gue kehilangan Randi yang bener-bener sayang sama gue. Gue kehilangan Dara yang udah kenal gue lebih dulu. Nggak ada yang gue dapatin."

Angkasa geming. Dalam hatinya ia mengakui, memang sudah tidak menyayangi Mona sepenuhnya. Sekarang, apa seharusnya Angkasa mengutarakannya kepada Mona? Menyakiti perasaannya lebih dari ini?

"Semua orang cuma sayang sama Dara," tutur Mona. Suaranya benar-benar pelan, bahkan seperti orang berbisik. Air mata mulai berlinang di pelupuk matanya. "Kenapa harus Dara, sih? Lo dan gue adalah tokoh utama dalam cerita kita sejak dulu, Sa. Tapi kenapa tiba-tiba tokoh utamanya jadi Dara? Kenapa semua orang jadi ngejar Dara?"

"Semua orang berhak memilih siapa yang mau dia sayang dan dia pertahankan," balas Angkasa.

"Lo juga sayang Dara?" tanya Mona. Gadis itu menatap Angkasa. Berharap mendapatkan kejujuran dari mulutnya.

Angkasa menghela napas. Ditatapnya Mona dengan begitu seksama. "Gue emang nggak menyayangi lo sebesar lo sayang ke gue, Na," aku Angkasa. "Tapi bukan berarti lo boleh berpikiran atau bahkan mendakwa gue sayang sama Dara."

Mona diam. "Gue baru nanya, nggak mendakwa lo sayang sama Dar—"

"Lo emang nggak ngomong secara gamblang, Na, tapi maksud lo adalah begitu! Semua orang yang lo maksud ini siapa? Every each person yang tinggal di Bumi?! Lika-liku perjalanan kita cuma diisi sama dua orang lainnya, yaitu Dara dan Randi. Lo bermaksud buat bilang kalau gue dan Randi sayang sama Dara, kan?!" Angkasa menukas. Emosinya tak terkontrol lagi. Laki-laki itu kini lepas kendali.

Mendengar Angkasa membentak begitu membuat Mona lantas terdiam. Tatapannya terpaku ke wajah laki-laki tersebut, tapi tidak ada satu pun kata yang keluar dari mulutnya. Sementara Mona masih diam, Angkasa mencoba mengembalikan debar jantungnya untuk kembali normal. Laki-laki itu balik memandangi Mona.

Detik selanjutnya ia menyesal.

Kursi yang mereka tempati kini senyap. Tidak ada satu pun dari mereka yang angkat suara. Angkasa mencoba meraih tangan Mona, tapi gadis itu menolak. Matanya semakin berkaca-kaca.

"Maaf, Na, kelepasan," tutur Angkasa. "Gue cuma pengin lo paham kalau bukan cuma lo yang harus dingertiin perasaannya, Na. Gue juga punya perasaan. Gue bukannya egois, tapi gue tau semua orang berhak bahagia, Na. Termasuk gue."

"Gue nggak bikin lo bahagia?" tanya Mona. Suaranya masih lirih. Dalam hatinya Mona takut jawaban yang didapatkannya jauh di luar ekspektasinya. "Hubungan kita terlalu maksain, ya, Sa?"

Angkasa menghela napas. "Gue bahagia, Na," akunya. "Asal lo bisa tegas sama perasaan lo sendiri. Gue atau Randi? Lo ini pacar gue, Na, tapi denger kalau lo cemburu karena Dara deket sama Randi, ya, oke, mungkin wajar ya karena lo baru putus. Tapi please, Na, biarkan mereka bahagia. Jangan bikin Randi tetap terpaku sama lo di saat lo udah jadi milik gue, karena gue nggak akan kembaliin lo ke Randi, Na."

"Apa kita bisa bahagia kalau kita tetap maksain ini, Sa?" Mona kembali bertanya, untuk yang kesekian kalinya.

Senyum Angkasa tersungging. Tangan laki-laki itu meraih tangan Mona, menggenggam sambil mengusap punggung tangannya dengan ibu jari. "Caranya bukan memaksakan hubungan ini, Na. Tapi mulai nerima kalau kita sekarang emang udah terikat sama status yang beda. Nerima, bukan memaksa."

"Karena kita udah terlambat buat mencegah semua ini, maka dari itu, tugas kita sekarang adalah membenahi. Ayo kita benahi apa yang udah retak," tutur Angkasa. "Gue bersedia, Na. gue selalu bersedia."

Lama Mona memandangi tangannya yang Angkasa genggam. Pikiran-pikiran buruk tentang Dara, tentang Randi, perlahan-lahan sirna. Mona tidak mau menyesali apapun. Tidak ingin lagi dirundung keraguan.

Ia hanya ingin Angkasa.

+ + +

"Kenapa Angkasa nelepon?" tanya Randi begitu Dara selesai menelepon Mona. Gadis itu menoleh ke Randi yang menatapnya. Dara menggeleng, enggan memberi tahu isi percakapannya. Lagi pula yang menelepon bukan Angkasa, melainkan Mona yang menggunakan akun LINE Angkasa. "Lo sama dia baik-baik aja?"

Sekali lagi Dara menggeleng. "Udah, Ran, nggak usah dibahas," balas Dara. "Gue udah memutuskan buat nggak ganggu mereka lagi, dan udah memutuskan buat nggak memperjuangkan siapapun."

"Termasuk...." Tutur Randi. Kalimatnya menggantung, akan tetapi Dara kini menatapnya lekat, penasaran dengan kelanjutannya. "Nggak usah deh, Ra."

Mendengar kelanjutan kalimat yang tak diselesaikan, Dara langsung berdecak. "Ah, nggak asik lo," ujarnya sambil mengerucutkan bibir.

Randi terkekeh.

Keadaan mobil kembali hening. Randi memutuskan untuk menghentikan laju mobilnya di lahan parkir restoran All You Can Eat. "Makan dulu, nanti gue ceritain," katanya.

"Lo random abis, ya, ngajak gue makan korean barbeque?" balas Dara sambil melepaskan seatbelt yang mengikat tubuhnya. "Janji ya nanti cerita?" tanya Dara sambil mengacungkan kelingkingnya.

Randi mengangguk. Ia menautkan kelingkingnya pada kelingking Dara yang ada di depan matanya. Laki-laki ini memang sudah mempersiapkan semuanya untuk dijalani hari ini.

+

an: hm ini bukan hari rabu dan bukan jumat tapi update. monmaap y kansa lupa, jadi nggak update update. kemarin kalau nggak diingetin juga kayaknya lupa hahaha.

Moon and Her SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang