As You Wish: BAB 20

1.8K 188 11
                                    

Suasana di meja nomor tiga belas yang Angkasa dan Mona tempati seketika hening tepat setelah Aji dan Shila pulang

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suasana di meja nomor tiga belas yang Angkasa dan Mona tempati seketika hening tepat setelah Aji dan Shila pulang. Kini tersisa Angkasa dan Mona, masih duduk di kursinya masing-masing di kafe yang sejak berjam-jam lalu sudah mereka singgahi bersama teman-teman Angkasa.

"Gue mau pesen ice chocolate lagi, Na. Lo mau pesen lagi, nggak?" tanya Angkasa di tengah heningnya meja.

Menanggapi pertanyaan tersebut, Mona mengangguk. "Boleh, milkshake oreo aja," katanya. Angkasa tak memberikan respons apapun, melainkan lantas beranjak dari kursinya, melangkah menuju ke kasir, kemudian kembali setelahnya.

"Sa," panggil Mona begitu Angkasa kembali duduk dan lantas mengambil ponselnya. Angkasa bergumam, mengalihkan perhatiannya dari layar. "Main truth or truth, yuk?"

Angkasa diam sejenak. Laki-laki itu meletakkan kembali ponselnya di atas meja, kemudian menatap kepada Mona. Sesaat Angkasa berpikir, sebelum akhirnya ia putuskan untuk mengangguk, "Ayo. Ganti-gantian, lo duluan."

Kening Mona mengernyit. Padahal ia yang mengajak Angkasa main, tapi kenapa tahu-tahu Angkasa yang membuat peraturan kalau Mona harus bertanya duluan?

Kini keduanya diam dan saling bersitatap. Mona memang punya pertanyaan yang sudah ditahannya sejak lama, dan ini adalah kesempatannya. Akan tetapi, kalau Mona langsung meluncurkan pertanyaan itu sekarang, pasti Angkasa langsung membaca maksud dan tujuan Mona mengajaknya bermain truth or truth.

Mona mengurungkan pertanyaan krusial tersebut. Sebagai gantinya, gadis itu kini terbengong memandangi Angkasa, memikirkan satu pertanyaan yang sekiranya tidak begitu berat dan serius untuk dibahas.

Namun sayangnya adalah Mona tidak menemukan contoh pertanyaan yang enteng untuk dijawab di dalam benaknya. Sementara lawan bicaranya masih menantikan sambil terus mengetuk-ngetukkan meja dengan dua jarinya.

Pada akhirnya, Mona memutuskan untuk bertanya, "Hm ... kebohongan yang pernah lo ucapin ke gue?"

Dua jari Angkasa yang semula mengetuk-ngetuk meja lantas terhenti. Laki-laki itu menatap Mona sambil bertanya balik, "Kenapa harus nanya itu? Baru juga main."

Mona mengedikkan bahunya, "Cuma kepikiran itu."

"Kebohongan yang pernah gue ucapin, ya," Angkasa bergumam sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan. Mona mengangguk-angguk, siap sedia mendengarkan. "Waktu gue bilang kalau gue mau ngerokok, pas di kantin ada Randi sama Dara."

Sebelah alis Mona terangkat mendengar jawaban tersebut. Ini benar-benar bukan jawaban yang diharapkannya. Mona pikir, Angkasa akan menjawab dengan penuh serius. "Serius itu doang?" tanya Mona.

Sebenarnya Mona tidak mau berburuk sangka dengan cara mengecap Angkasa pernah berbohong padanya, tapi tetap saja di dalam hatinya Mona tidak percaya kalau hanya itu kebohongan yang pernah Angkasa katakan padanya.

Angkasa mengangguk merespons pertanyaan Mona barusan. "Ya serius, Na. Gue waktu itu nggak ngerokok, cuma keluar dari kantin terus main hape lagi di luar," akunya. "Sekarang gantian gue. Kenapa waktu itu lo putusin Randi, yang katanya, demi gue?"

"Kok lo nanya kayak gitu, sih?" Mona membalas.

"Lah kan gue berhak nanya apapun yang gue pengin tau," balas Angkasa. "Gue penasaran aja. Kalaupun lo nggak mau jawab ya, ya udah. Biarkan cuma lo dan Tuhan yang tau."

Mona menghela napas. Sambil menyesap milkshake oreo, gadis itu berpikir untuk menjawab. Lama waktu yang Mona habiskan untuk diam dan terus melekatkan sedotan stainless di gelas itu pada bibirnya. Meja mereka kembali hening. Sesekali Mona menatap Angkasa, mendapati laki-laki itu masih setia memandang ke arahnya.

"Waktu itu sih ... euforia doang. Gue kayak ... wah Angkasa! Ini Angkasa yang waktu itu!" jawab Mona sambil mempraktekkan betapa antusias dirinya pada beberapa kata terakhir. "Padahal gue dan Randi waktu itu lagi baik-baik aja, ya walaupun temen-temen gue nggak pernah ada yang suka kalau gue pacaran sama dia."

"Ah, iya. Dara pernah bilang mereka nggak ada yang suka sama Randi. Kenapa?" Angkasa kembali mengutarakan pertanyaan.

Mona mau menganggap Angkasa curang, tapi otaknya tetap mengontrol mulutnya untuk justru menjawab pertanyaan tersebut. "Randi posesif, Sa. Gue hampir nggak pernah boleh main sama Dara dan yang lainnya," balas Mona. "Bukannya nggak boleh, sih. Tapi kayak, apa ya? Alasannya diada-adain gitu. Kayak, misalnya, gue planning sama mereka main lusa. Gue bilang Randi, terus dia bisa tiba-tiba bilang, 'Yah, padahal lusa aku mau ngajak kamu nonton, loh. Nonton sama aku aja, ya?' gitu!"

Angkasa bisa membaca dari ekspresi dan nada bicara Mona yang penuh kekesalan. Laki-laki itu justru tertawa, membuat Mona langsung memilih untuk bungkam dan pasang ekspresi jauh lebih kesal dari sebelumnya.

"Terus sekarang Dara mau sama Randi, padahal dia nggak suka sama Randi dulunya?" tanya Angkasa, lagi.

Kali ini Mona benar-benar diam selagi Angkasa masih tertawa pelan. Mona tiba-tiba teringat Dara. Kalau dihitung, kurang lebih tiga puluh hari sudah berlalu sejak Mona meminta Dara untuk menjaga Randi.

"Sa, gue salah nggak, ya?" tanya Mona tiba-tiba. Suaranya pelan, tapi Angkasa masih bisa mendengarnya. Laki-laki itu berhenti tertawa. Kini atensinya tertuju pada Mona beserta dengan pertanyaannya. "Gue yang minta Dara buat jagain Randi. Terus Dara bilang, 'As you wish, Na.' I was happy karena Dara mau nerima Randi, tapi ... kenapa sekarang gue justru ngerasa kalau gue jahat, ya?"

Tawa Angkasa benar-benar berhenti kini. Mona tertunduk ketika sadar laki-laki di depannya kini memandanginya. Satu pertanyaan meluncur dari bibir Angkasa, "Jadi, mereka jadian gara-gara lo yang minta Dara buat nerima Randi?"

Mona mengangguk pelan. Gadis itu menggigit bibir bawahnya. Di dalam hatinya Mona takut Angkasa akan mendakwanya bersalah tanpa pikir panjang. Kemudian, sebelum Angkasa berucap macam-macam lagi, buru-buru Mona angkat suara, "Eh giliran gue nanya, ya. Oke, gue mau nanya sama lo."

Dengan begitu, Angkasa langsung mengangguk, mempersilakan Mona untuk bertanya. Angkasa sangat siap mendengar pertanyaan selanjutnya yang pasti bisa dijawabnya, namun otaknya tidak pernah menerka kalau Mona akan bertanya, "Sebelum jadian sama gue, lo pernah suka sama seseorang, nggak? Siapa?"

Mati kutu.

Seandainya ini hanyalah permainan tanya jawab biasa, Angkasa lebih memilih untuk berbohong di telinga Mona ketimbang menjawab yang sebenarnya dan memperkeruh segala suasana yang belum sepenuhnya membaik. Tapi Angkasa tidak bisa.

Lama laki-laki itu terdiam, sampai akhirnya Mona berdeham untuk mengembalikan laki-laki itu dari lamunan panjangnya.

Dengan berat hati Angkasa menjawab, "Gue suka sama Dara."

Badan Mona melemas. Punggungnya kembali bertemu dengan punggung kursi yang empuk. Gadis itu tersenyum, lebih untuk dirinya sendiri, kemudian bergumam, "Sesuai dugaan gue. Ternyata bener."

"Ya ... nggak usah langsung down gitu juga, Na," ucap Angkasa. "Kan sekarang udah nggak suka. Lagian, kita udah jadian, dan Dara juga jadian sama Randi. Nggak ada yang perlu lo khawatirkan soal itu."

Mona tersenyum tipis, dan Angkasa sadar gadis itu memaksakannya. "Iya bener, gue nggak perlu khawatir. Kan, gue udah nyuruh Dara buat jadian sama Randi supaya gue nggak perlu repot-repot cemburuin kalian berdua lagi."

Angkasa tidak bisa berkataapapun lagi. Laki-laki itu memilih untuk berhenti mengeluarkan semuaargumennya. Sebagai gantinya, Angkasa melihat jam dinding di dalam kafe, lalubertanya kepada Mona, "Udah malem, Na. lo mau pulang jam berapa?"

Moon and Her SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang