As You Wish: BAB 18

1.5K 168 16
                                    

Benar-benar lima menit, Mona sudah tiba di rumahnya. Mau tak mau Dara mengundang Mona ke kamarnya selepas Angkasa angkat kaki dari rumahnya.

"Habis jalan sama Randi, ya?" tanya Mona di pertengahan langkahnya menaiki anak-anak tangga. Dara yang jalan di depan Mona mengangguk. Kemudian hening. Mona tidak bicara apapun lagi, begitu pula dengan Dara.

Hingga keduanya tiba di depan pintu kamar Dara, Mona memperlambat langkahnya. "Ra," panggilnya. Dara bergumam, langkahnya melambat, ia berbalik badan untuk menatap Mona. "Lo boleh kok jadian sama Randi."

Kening Dara mengernyit. Gadis itu menatap Mona dengan bingung. "Kenapa lo tiba-tiba ngomong kayak gitu?" tanyanya. "Gue emang akhir-akhir ini suka jalan sama Randi, tapi ya nggak ke arah sana juga. Walaupun Randi...."

Kalimat Dara terhenti di sana ketika melihat Mona tersenyum.

"Gue pernah mencintai dan dicintai Randi, Ra. Dua tahun gue buang-buang waktu bareng Randi," tutur Mona. Dara bisa mendengar suaranya semakin lirih, bisa pula melihat mata Mona mulai berkaca-kaca. "Gue tau gimana rasanya dicintai sama Randi, dan gimana rasanya mencintai Randi. Gue tau dia suka sama lo, Ra. Dia bisa meninggalkan gue buat lo. Kasih gue satu alasan kuat untuk meninggalkan dia buat Angkasa, Ra."

Dara geming. Otaknya tidak bisa mencerna ucapan Mona sepenuhnya. Apa maksudnya bicara seperti ini?

"Ra, gue butuh kesempatan untuk bikin Angkasa jatuh cinta sama gue sekali lagi," kata Mona selagi Dara masih diam membisu. "Kalau lo jadian sama Randi, Angkasa nggak akan punya kesempatan buat dapetin lo, Ra."

"Na, lo ngomong apa sih?" Dara melangkah mundur, mendekati pintu kamarnya. "Sini, masuk dulu," ajaknya sambil memimpin langkah memasuki kamarnya. Satu hal yang Dara lupa, ia belum menyingkirkan bunga dan susu beruang pemberian Randi.

Kacau.

Tepat dugaan Dara, itulah satu hal yang jadi perhatian pertama Mona ketika keduanya masuk ke kamar Dara. Akan tetapi Mona tersenyum. Gadis itu duduk di pinggir ranjang Dara, kemudian menatap kawannya yang duduk di kursi belajarnya.

"Pasti dari Randi," tebak Mona sambil meraih satu tangkai bunga mawar yang tergeletak di kasur.

Dara berdesah berat. "Dia nembak gue, Na," aku Dara. Sejujurnya memang itu yang ingin Dara katakan sejak tadi. Tapi Dara belum menemukan susunan kata yang tepat. Ia tidak mau menyakiti Mona lebih dari yang sudah sudah. "Gue bener-bener ... bingung."

"Kenapa?"

"Ya karena kita semua udah menyakiti satu sama lain, Na. Gue yang nyakitin lo karena gue deket sama Randi dan Angkasa, lo yang nyakitin gue karena gue nggak bisa deket sama satu pun di antara mereka, Randi yang nyakitin lo karena deket sama gue, Angkasa yang nyakitin gue karena tiba-tiba pergi sama lo—juga nyakitin lo karena dia nggak se-all out itu, kan, ke lo?" balas Dara panjang lebar. Gadis itu sukses membuat Mona geming memandanginya. "Gue nggak pernah merencanakan tumbuhnya perasaan buat Angkasa maupun Randi, Na."

Mona mengangguk. Ia mencoba memahami perasaan Dara. "Sori ya, Ra," tuturnya. "Gue udah ngerebut Angkasa dari lo."

"Angkasa nggak pernah jadi milik gue, Na," balas Dara sambil menggelengkan kepalanya. "Dia adalah langit tempat lo tinggal."

Mona tidak memberikan respons. Gadis itu menjatuhkan tubuhnya ke kasur. Dipandanginya langit-langit kamar Dara yang dipasang wallpaper langit berisikan bintang-bintang yang bersinar. "Di langit juga ada bintang, Ra," kata Mona.

Dara terkekeh. "Kau satu-satunya, dan tak ada dua, apalagi tiga." Bibir gadis itu tergerak, menyanyikan sebaris lirik lagu Karena Kamu Cuma Satu milik NAIF. "Bulan cuma ada satu. Lo bakal jadi satu-satunya buat Angkasa, Na. Nggak kayak bintang yang jumlahnya ngggak bisa dihitung."

"Na," panggil Dara. Mona bergumam meresponsnya. "Gue tuh udah memutuskan buat nggak memperjuangkan siapa-siapa. Nggak mau memperjuangkan Angkasa yang udah jadi punya lo, nggak mau memperjuangkan pertemanan kita yang udah berantakan, nggak mau juga memperjuangkan Randi. Let it flow. Gue nggak mau terjerumus ke dalam lika-liku percintaan yang ribet."

Mona bangkit dari posisi tidurnya. "Tapi lo terjerumus," tukasnya. Dara mengangguk sambil mengedikkan bahunya. Ruangan hening sesaat, lalu dipecahkan kembali oleh Dara yang tertawa. Menertawakan dirinya sendiri yang kini benar-benar terjebak.

"Ra," panggil Mona. Dara menoleh, menatap Mona yang menampakkan raut serius. "Jaga Randi ya, Ra. Gue mau make sure kalau dia jatuh di hati yang bener. Di seseorang yang bisa mencintai dia sebagaimana dia mencintai orang itu. Kalau nanti gue bahagia sama Angkasa, gue juga mau dia bahagia, Ra. Buat ngebuktiin kalau memutuskan buat pisah sama dia bukanlah pilihan yang salah."

"As you wish, Na," tutur Dara pelan. Ia tidak bisa tidak mengangguk. Dalam hati Dara bertanya, apakah ini waktu yang tepat baginya untuk mulai merasakan pahit manisnya menjalin hubungan?

+ + +

Hari demi hari bergeser. Angkasa sudah membulatkan keputusan setelah berpikir panjang sendirian. Ia akan berhenti menemui Dara, terhitung sejak ia melihat Randi mengunggah video Dara di Instagram. Sudah empat hari berlalu. Itu artinya sudah empat hari pula Angkasa tidak menemui gadis itu di manapun. Termasuk tidak pernah melihatnya di kantin kampus.

Yang setiap hari dilihatnya adalah Mona. Rutin menjemput Mona untuk berangkat kuliah, rutin menjemputnya di kelas untuk makan siang, serta rutin mengantarnya pulang ke rumah. Semuanya terjadi sedikit demi sedikit. Angkasa mulai membiasakan dirinya. Dalam hatinya ia terus berujar, Angkasa harus meninggalkan Dara untuk Mona, selayaknya Mona yang sudah rela meninggalkan Randi demi dirinya.

"Hei!" pekikan ceria di koridor gedung yang kosong membuat segala lamunan Angkasa buyar. Laki-laki itu menarik earset yang menyumbat kedua telinganya. Ia menoleh ke sumber suara, melihat Mona berlari dengan begitu antusias ke arahnya. "Lo nungguin di sini dari tadi?"

Angkasa mengangguk sambil menampilkan senyumnya. "Iya, dosen gue nggak masuk, ya udah gue di sini aja nunggu lo," terangnya. "So what do you want to eat?" tanyanya sambil meraih pergelangan tangan Mona.

"Ayam bakar kantin belakang, yuk," balas Mona sambil menarik Angkasa untuk segera berjalan menuju lift gedung, sebelum diramaikan oleh teman-teman sekelasnya. "Udah lama nggak makan ayam bakar."

"Oke." Angkasa langsung setuju. Tangannya yang semula menggenggam tangan Mona kini berpindah, merangkul gadis yang melangkah bersisian dengannya. "Anything you want."

Jauh di belakang punggung mereka, ada Randi yang manyaksikan langkah keduanya, semakin lama semakin jauh. Randi menghela napas. Ia melirik layar ponselnya. Terakhir ia mengirimkan pesan kepada Dara adalah dua jam lalu. Tidak ada jawaban apapun sampai sekarang.

Di saat Mona terlihat sudah menjalanihubungan dengan mulus, mengapa kini justru dirinya yang tersendat-tersendatbersama Dara? Gadis itu bahkan selalu menolak untuk menemui Randi. Sudah empathari berlalu, tapi Randi belum mendapatkan jawaban apapun dari Dara soalkelanjutan hubungan yang dimintanya.

+

an: kenapa nggak bisa upload gambar yaaa? dari tadi belum update karena gabisa upload banner tulisan bab 18, sampai sempet bikin ulang. tapi yauda de, daripada nggak update ya kan? nanti soon or later bakal diedit. bye.

Moon and Her SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang