As You Wish: BAB 06

2.6K 289 53
                                    

Lima menit mereka duduk di kursi yang ada di pinggir lapangan basket, lima menit juga mereka geming

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Lima menit mereka duduk di kursi yang ada di pinggir lapangan basket, lima menit juga mereka geming. Angkasa masih memandangi langit yang menggelap, sementara Mona terus mencengkeram gelas Caramel Macchiato-nya yang masih tersisa setengah.

"Na, gue nanya, tapi jangan marah, ya?" tutur Angkasa sebagai pembuka. Di tangannya kini terselip sebatang rokok. Siap bakar. Mona kini menatap laki-laki yang memandangi bulan di atas. Gadis itu turut menatap bulan, lalu mengangguk. "Sebenernya, yang lo pengin tuh, apa sih, Na?"

Mata Mona yang sedari tadi masih berkaca-kaca, kini bisa Angkasa lihat dengan lebih jelas: kembali berlinang air mata. Gadis itu memilih untuk tidak menjawab, melainkan terus melihat ke atas langit seperti sedang disuruh menghitung jumlah bintang.

"Masih mau jadi pacar gue, kayak dulu?" tanya Angkasa sambil memantikkan korek gasnya. Membakar rokok yang sudah diapit bibirnya, lalu mengepulkan asap ke udara. Sementara Mona hanya menyaksikan tanpa berkata apapun. Pertanyaan Angkasa pun tidak dijawab.

Mona sedang memikirkan bagaimana caranya ia memberikan jawaban. Satu, Mona ingin menjawab ya untuk pertanyaannya. Tapi dua, kali ini Mona tidak mau secepat itu ambil keputusan. Mona tidak mau Angkasa bersikap seperti dulu ketika mereka masih sekolah.

Mona tidak mau Angkasa berpikiran buruk tentangnya.

Setelah tiga kali mengisap dan mengepulkan asap rokoknya, Angkasa menghela napasnya. Angkasa tak kunjung mendapatkan jawaban. Justru kini yang dilihatnya Mona melipat kedua kakinya, memeluknya erat, dan menenggelamkan kepalanya di antara kedua kakinya.

Angkasa bisa mendengar Mona berdesah dengan gusar.

"Kalau sikap lo aja nggak berubah, gue percaya kalau perasaan lo juga nggak berubah, Na," simpul Angkasa. Tetap tidak ada respons berharga. "Kalau lo bersedia sekali lagi aja Na, tanyain pertanyaan itu lagi ke gue, ini bakal jadi jawaban gue. Jawaban yang bener-bener udah gue pikirin sematang-matangnya."

Mona tidak mau mengangkat kepalanya. Angkasa masih ingat pertanyaan yang diajukannya beberapa tahun lalu itu? Ah, malu sekali rasanya jadi Mona. Menyesal sekali Mona mengiyakan permintaan Angkasa untuk bicara tadi.


Sekarang dia terjebak dan tidak tahu harus bagaimana lagi. Permasalahan ini harus tuntas. Tapi bagaimana?

"Pertanyaan yang mana?" tanya Mona sambil perlahan-lahan kepalanya terangkat. Rebas semua air matanya. Mona merasa benar-benar salah sudah pernah bertanya segila itu kepada Angkasa. Betapa bodohnya.

Angkasa mengedikkan bahu. "Pertanyaan yang itu," kata Angkasa. "Kenapa kita nggak pacaran?" tanya Angkasa dengan intonasi yang benar-benar ia samakan dengan cara Mona bicara empat tahun lalu. Angkasa masih ingat betul bagaimana ia mendengar suara Mona di telepon malam itu.

Begitu pula dengan Mona, tentu saja. Mona tidak pernah lupa ia pernah bertanya begitu kepada Angkasa. Juga, sebenarnya tidak lupa kalau Angkasa pernah memberikan jawaban atas pertanyaannya, pada hari di mana untuk terakhir kalinya Mona bertemu dengan Angkasa bertahun-tahun silam.

Moon and Her SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang