As You Wish: BAB 15

1.7K 170 22
                                    

"Ini kita mau ke mana?" tanya Dara begitu Randi menancap pedal gas, semeter demi semeter menjauh dari kawasan rumah Dara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Ini kita mau ke mana?" tanya Dara begitu Randi menancap pedal gas, semeter demi semeter menjauh dari kawasan rumah Dara. Namun bermenit-menit berlalu, Randi tak kunjung memberikan jawaban untuk pertanyaan tersebut, sehingga Dara mengulang pertanyaannya, "Ran, kita mau ke mana?"

"Harus ya, Ra, gue jawab pertanyaan lo?" Randi justru membalasa dengan pertanyaan ketus. "Di saat lo juga nggak mau jawab pertanyaan gue."

Kening Dara mengernyit. Gadis yang menempati kursi penumpang ini bahkan sampai memutar tubuhnya hingga menghadap Randi. Apa yang terjadi dengan laki-laki ini, sih?

Kenapa Randi jadi marah karena Dara tidak menjawab pertanyaan sebelumnya?

"Lo kenapa, sih?" tanya Dara sama ketusnya. "Jangan melampiaskan badmood lo ke gue, ya. Jangan bikin mood gue makin berantakan gara-gara lo."

"Terus gimana dengan lo yang udah bikin mood gue berantakan duluan, Ra?" balas Randi. Laki-laki itu menghentikan laju mobilnya secara mendadak, membuat kendaraan-kendaraan di belakangnya lantas menghujani mobilnya dengan klakson keras-keras.

Begitu menyalakan lampu sein ke kanan, Randi membelokkan mobilnya. Ia juga tidak tahu akan membawa Dara ke mana siang ini. Randi hanya sedang bosan karena sudah selesai kuliah secepat ini, sehingga ia memutuskan untuk datang ke rumah Dara, tadi siang.

Kemudian di sanalah apa yang dilihatnya sukses membuat Randi terbakar rasa kesal. Ada Angkasa di depan rumah Dara bersama motornya. Dan ada Dara yang berdiri di sampingnya. Randi sudah menduga mereka pulang dari kampus bersama dan Angkasa mengantar Dara pulang.

"Ternyata dalangnya di balik semua ini tuh Angkasa, ya? Dia yang deketin lo, dan bikin Mona kesel, makanya Mona jadi marah sama lo?" ujar Randi, menyimpulkan cerita dengan sendirinya tanpa sebenarnya tahu apapun. "Kita jadi kena imbasnya loh, Ra. Gue juga kena."

"Mona itu kesel karena lihat lo jalan sama gue, ya, Ran. Mona masih ada rasa sama lo, makanya dia cemburu!" balas Dara, lepas kendali hingga nada bicaranya meninggi. Selepasnya, gadis itu terdiam. Ia menghela napasnya. Mobil pun mulai sunyi.

Satu menit, dua, hingga tiga. Tidak ada jawaban apapun dari Randi, sementara Dara sudah berusaha untuk mengalihkan pikirannya. Tatapannya tertuju ke luar jendela. Dara enggan menatap Randi yang sedari tadi mencuri pandang ke arahnya.

"Mona nggak marah tentang Angkasa karena dia nggak mau bikin Angkasa nggak nyaman ke dia, Ra," tutur Randi dengan begitu tenang. "Gue tau Mona sadar kalau Angkasa udah nggak sepenuhnya sayang sama dia—nggak kayak sewaktu masih SMA. Karena itu, Mona bakal lebih memprioritaskan Angkasa ketimbang perasaannya sendiri, ketimbang perasaan orang lain."

Dara tidak bicara apapun. Bertahun-tahun Dara mengenal Mona sedekat nadi, namun kali ini saja, Dara tidak tahu apapun tentang ini. dalam beberapa tahun terakhir, belum pernah sekali pun Dara tahu kalau Mona bisa melakukan hal seperti itu.

Atau karena memang ini adalah pertama kalinya?

"Jauh di dalam hatinya, Ra, Mona lebih cemburu lihat lo jalan sama Angkasa ketimbang lihat lo jalan sama gue." Randi bertutur lagi meskipun Dara hanya diam menyimak tiap kata-katanya. "Dua tahun pacaran sama Mona, dua tahun juga gue mempelajari sifatnya, baik buruknya, kesukaannya, ketakutannya, segalanya. Gue udah cukup mahir untuk ngerti Mona. Gue bahkan udah sadar sejak kita pertama kali ketemu, di saat Mona bilang kalau lo adalah pac—"

"Kita ganti topik aja," potong Dara ketika Randi hampir menyelesaikan kalimatnya. "Lo belum jawab pertanyaan gue, kita mau ke mana?"

Randi berdengkus. "Mau keliling Indonesia."

"Gue serius, Randi." Dara mulai kesal. Gadis itu menatap dang pengemudi dengan tatapan sinis. Sudah hampir satu jam mereka hanya melaju tanpa tujuan pasti. Dara sudah mulai bosan. Ditambah dengan perjalanan yang diisi dengan keributan ini.

Ketimbang merepons Dara dan segala protesnya, Randi lebih memilih untuk bungkam, lalu menyalakan musik. Membuat Dara menyerah untuk mempertanyakannya lagi dan lagi. Kini dua-duanya saling diam. Randi yang terus fokus pada jalan raya di depannya, sementara Dara yang turut menyaksikan tiap-tiap tikungan yang Randi tentukan sendiri untuk dilalui.

"Lo lapar, nggak, Ra?" pertanyaan itu tahu-tahu muncul seiring dengan mengecilnya volume musik.

Dara baru saja mau menjawab, namun ponselnya yang tergeletak di atas dashboard bergetar, membuat dirinya maupun Randi sama-sama mengalihkan perhatian, mendapati nama Angkasa tercetak jelas di layarnya.

+ + +

"Gue mau ketemu sama lo," ujar Mona pada detik pertama teleponnya tersambung kepada Dara. Gadis itu melihat sekeliling. Untuk sekarang ini, toilet perempuan di kampus adalah tempat paling aman baginya untuk tidak terlihat oleh Angkasa. "Malam ini kosong, nggak?"

"Kok tiba-tiba? Kenapa juga nelepon pakai LINE-nya Angkasa?" balas Dara dengan pertanyaan. "Sori, gue lagi di luar."

"Lagi di mana? Gue bisa ke sana di manapun lo berada." Mona membalas. "Dan, emangnya penting ya gue nelepon pakai hape siapa? Mau pakai hape gue, hape Angkasa, atau hape dosen gue, yang penting tujuan gue sama. Mau nelepon lo."

Terjadi keheningan selama beberapa saat. Dara tidak memberikan respons apapun, sementara Mona memandangi sekeliling ruangan. Tidak ada siapapun di dalam toilet ini kecuali dirinya sendiri, beserta refleksi dirinya di cermin.

Selama menunggu Dara yang tidak kunjung memberikan jawaban, Mona menatap ke cermin, melihat pantulan dirinya sendiri di sana. Matanya sembap, belum hilang sejak semalam.

"Jadi bisa atau nggak, nih?" tanya Mona, meminta jawaban pasti.

"Lo lagi sama Angkasa, nikmatin aja waktu kalian berdua. Gue juga mau nikmatin waktu gue," balas Dara. Tidak ada jeda apapun dari ucapan tersebut, Dara mengakhiri telepon. Mona berdecak sebal. Gadis itu lekas melihat layar ponsel Angkasa yang memperlihatkan notifikasi bahwa telepon baru saja berakhir.

Beberapa hari ini hubungannya dengan Dara tidak pernah baik-baik saja. "Ini salah gue nggak, sih?" Mona bergumam sendiri sambil menyaksikan dirinya di cermin. Tanpa sadar, matanya mulai berkaca.

Andai saja Mona tidak pernah marah kepada Dara soal Randi, mungkin semuanya masih baik-baik saja. Andai saja Mona tidak pernah mengakhiri hubungannya dengan Randi, mungkin semuanya masih baik-baik saja.

Baru Mona ingin membasuh wajahnya dan segera keluar, ponsel Angkasa berdering. Nomor tidak dikenal menelepon. Mona mengabaikan, namun ponselnya berdering sekali lagi, sehingga Mona memilih untuk mengangkat teleponnya.

Mona tidak peduli siapapun yang menelepon laki-lakinya.

"Hei, lo ke mana?"

Itu suara Angkasa, ternyata.

"Di sini," jawab Mona. Terlalu ambigu. "Kenapa? Ini nomor siapa?"

"Gue pinjam hape orang lewat. Lo nggak apa-apa?" pertanyaannya sukses membuat Mona langsung terpikir ke segala macam hal yang negatif. Gadis itu diam, kembali menatap dirinya di dalam cermin. Air matanya semakin banyak berlinang.

Mona tidak sedang baik-baik saja.

"Sa," panggil Mona sambilberusaha keras menahan dirinya untuk tidak terdengar sedang tidak baik-baiksaja. "Kayaknya, kita salah, deh. Kalau dipikir-pikir, kenapa kita harusjadian, ya?"

Moon and Her SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang