As You Wish: BAB 19

1.6K 165 24
                                    

Sudah lima menit ponsel Dara bergetar di dalam tasnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Sudah lima menit ponsel Dara bergetar di dalam tasnya. Dara sudah menebak ini adalah telepon masuk dari Randi. Ia mau menerimanya, tapi sayangnya adalah dosennya masih menjelaskan materi di depan kelas. Gadis itu berdesah berat. Benci sekali kalau jam belajar di kelasnya harus terulur dua puluh sampai tiga puluh menit ke depan karena dosennya yang terlambat datang.

"Ra, nanti makan siang ke luar, yuk?" ujar gadis yang duduk di sebelahnya, Rania. "Gue lagi pengin McDonald's atau Burger King, deh. Lo mau yang mana?"

Dara menoleh, sejenak meletakkan pena yang sedari tadi digenggamnya. "Gue udah ada janji makan siang bareng orang, Ran, sori," kilahnya. Padahal tidak ada janji dengan siapapun. Namun menyadari ponselnya terus-terusan bergetar membuat Dara berpikir kalau Randi sedang ingin menemuinya siang ini.

"Pacar lo yang itu?" tanya Rania. Dara terdiam, pacar yang mana pula. "Yang sering sama lo itu kalau pulang kuliah."

Oh, Randi.

"Yang mana sih maksud lo?" tanya Dara. "Sejak kapan ya gue punya pacar?"

Rania berdecak. "Ish, Dara. Emang pacar lo ada berapa, sih," balasnya. "Yang motornya Satria."

Dara terdiam. Maksud Rania adalah Angkasa. Gadis itu tersenyum tipis kepada perempuan di sebelah kursinya. "Itu bukan pacar gue," balasnya. "Lagian gue udah nggak pernah pulang sama dia, ah."

"Terus sama sia—"

"Oke, sampai bertemu pekan depan. Setelah ini kalian masih ada kelas, kan?" ucapan Rania terinterupsi ketika suara dosennya terdengar sampai sudut ruangan. Tanpa memedulikan kelanjutan percakapannya dengan Rania, Dara lantas beranjak dari kursinya.

Gadis itu berjalan keluar dari kelasnya dengan langkah cepat, lalu menemukan Randi yang berdiri di antara dua lift lantai delapan. Laki-laki itu lantas menyita perhatian Dara dengan satu tanda tanya, "Kok telepon gue nggak diangkat? Chat gue nggak dibalas?"

Dara mengernyit. Laki-laki ini kenapa, sih? Memangnya Randi siapa sampai Dara harus mengangkat teleponnya? "Lah, kan lo liat dosennya baru keluar dari kelas," balas Dara. "Masa iya gue mainan HP pas kelas."

"Tapi seenggaknya lo bisa balas chat gue kalau emang nggak bisa angkat telepon, Ra." Randi menyahut. Laki-laki itu kemudian menekan tombol arah bawah, menantikan lift hadir dari lantai atas. "Kalau gue nggak cari tau lo ada kelas di mana juga lo pasti masih nolak buat ketemu gue, kan?"

Dara memilih diam. Berdebat di tempat umum seperti ini bukanlah sesuatu yang disukainya. Terlebih lagi kini teman-temannya mulai bubar dari ruangan, yang bisa Dara pastikan, mereka melihatnya bersama Randi.

Begitu pintu lift terbuka, Dara dan Randi masuk, buru-buru menutup pintu, kemudian turun menuju lantai dasar. Hanya ada mereka berdua di dalam. Dara masih tutup mulut.

"Lo kenapa sih, Ra?" tanya Randi.

Dara melirik ke arah Randi. Apanya yang kenapa, sih?

"Ra—"

"Ran, bisa nggak sih, lo juga ngerti posisi gue?" Dara cepat-cepat menginterupsi ucapan Randi. "Kenapa sih akhir-akhir ini lo posesif ke gue? Gue harus ini lah, gue harus itu lah, gue nggak boleh ini, nggak boleh itu. Gue ini siapa lo sih, Randi?"

Begitu kalimatnya selesai, lift berhenti di lantai lima. Pintunya terbuka, dan tiga mahasiswa melangkah masuk. Obrolan Dara dan Randi terhenti di sana. Keduanya jadi diam. Kini ruangan kecil itu hanya diramaikan oleh obrolan asyik tiga orang yang baru datang.

Dara menghela napasnya. Dalam benaknya teringat apa yang Mona minta padanya beberapa waktu lalu. Jaga Randi ya, Ra.

Keduanya melangkah keluar dari lift bersamaan. Randi memimpin langkah, entah ke mana arahnya. Dara mengikutinya. Tidak ada percakapan apapun di antara keduanya. Randi tetap melangkah, Dara tetap mengekor.

"Gue cuma mau lo tetap baik-baik aja setelah kehilangan Angkasa," tutur Randi tiba-tiba. Dara tetap diam. Gadis itu kemudian menyetarakan langkahnya dengan Randi. "Mau lo tetap dapet perhatian-perhatian kecil, walaupun semuanya bukan dari Angkasa lagi."

"Gue nggak kehilangan Angkasa karena Angkasa nggak pernah jadi milik gue, Ran," balas Dara. Gadis itu menyungging senyum. "Dari dulu, dia punya Mona. Langitnya bulan."

Mendengar ucapan tersebbut, Randi tak bisa menahan dirinya untuk tidak ikut tersenyum. Laki-laki itu kemudian meraih tangan Dara, membuat gadis yang jalan dengannya itu terbengong bingung. "Kalau gue, kapan jadi milik lo, Ra?" tanyanya.

Langkah Dara lantas terhenti. Ia tertawa. "Emangnya maunya kapan?"

"Sekarang, lah!" balas Randi. Tawanya pecah bersama Dara selepas bilang begitu. Namun tawa Randi tak bertahan lama. Ia berhenti tepat ketika Randi sadar tawa Dara lebih menarik untuk ia perhatikan. "Jadi?"

"Jadi apa?"

"Jadian."

Senyum Dara melebar lagi. Ia mengangguk. Dara berani mengaku ini adalah salah satu hal paling berisiko yang akhirnya ia putuskan. Dari detik ini Dara bertekad untuk benar-benar meninggalkan nama Angkasa Putra Perkasa.

+ + +

"Ra!" suara yang tak asing memekik dari belakang punggung Dara, membuat gadis yang tengah celingukan di tengah ramainya kantin, lantas menoleh ke sumber suara. Mona melambai dari kejauhan, mengajak Dara untuk duduk bersamanya di satu meja dengan Angkasa. "Sini!"

Sesaat Dara memandang kepada Randi, meminta persetujuan dari laki-laki yang baru lima belas menit menyabet status sebagai pacarnya. Begitu Randi mengangguk, Dara berlari ke meja yang Mona tempati bersama Angkasa.

"Berduaan aja?" tanya Mona begitu Dara menarik kursi untuk duduk. "Kok tumben ke kantin? Emangnya Randi nggak masak makan siang?"

Dara mengangguk. "Lo juga berduaan aja, tuh," balasnya.

"Masak, dong. Gue sangat menjunjung tinggi makanan-makanan higienis yang dibawa dari rumah," balas Randi sambil melontarkan senyum kepada Mona. "Kalian udah dari tadi?"

Mona mengangguk antusias, tapi Angkasa diam. Laki-laki itu bahkan begitu sibuk dengan ponselnya yang miring sembilan puluh derajat. Entah apa yang dilakukannya, Randi tidak mau cari tahu.

Detik selanjutnya obrolan mulai mengalir. Dara dan Mona berbincang-bincang, Randi kemudian menimbrung. Tapi tidak dengan Angkasa. Laki-laki itu semakin fokus kepada layar ponselnya. Mona beberapa kali menegur dan mengajaknya untuk turut bercakap-cakap, tapi laki-laki itu hanya mengangguk dan tersenyum singkat.

Menit demi menit berlalu, Angkasa tetap tidak ikut mengobrol, meski pandangannya sesekali teralihkan kepada Randi dan Dara yang duduk di hadapannya.

"Na, gue boleh keluar dulu, nggak?" tanya Angkasa sambil mengeluarkan bungkus rokok dari saku celananya. "Gue mau ngerokok sebentar."

Tiga orang yang menempati meja yang sama lantas berhenti bercakap-cakap. Semuanya menatap Angkasa.

"Lo masih aja ngerokok, sih," ujar Mona.

Angkasa hanya tersenyum kecil. "Sebatang doang, Na," katanya sambil mengambil satu batang rokok dari bungkusnya. "Sebentar, ya," ujarnya sambil menepuk bahu Mona, kemudian segera keluar dari kantin. Laki-laki itu mencari tempat yang sepi di sekitar kantin, menyakukan rokoknya, lalu mengeluarkan ponselnya lagi.

Angkasa tidak benar-benar keluar dari kantin untuk merokok. Ia hanya butuh ruang sendiri untuk tidak melihat Dara dan Randi bersisian. Bukannya cemburu, tapi Angkasa hanya mencegah dirinya untuk tidak menaruh hati lagi pada gadis itu.

Sebabkini sudah ia putuskan dengan sebulat-bulatnya, Angkasa takkan megejarbintangnya.

Moon and Her SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang