As You Wish: BAB 17

1.6K 141 8
                                    

"Ih, Randi?!" Dara memekik di tengah ramainya restoran All You Can Eat yang mereka singgahi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


"Ih, Randi?!" Dara memekik di tengah ramainya restoran All You Can Eat yang mereka singgahi. Wajahnya memerah padam ketika melihat Randi baru saja meng-upload Instagram story di akun pribadinya berupa video Dara yang sedang sibuk membolak-balikkan daging. "Kok lo upload ini, sih?"

Randi tertawa. "Ya emangnya ada yang ngelarang?" tanyanya.

"Ya tapi kan ... ih, ngapain sih?!" balas Dara. Ia hendak marah, tapi mengingat Dara sudah menyita perhatian membuatnya urung. "Sumpah, lo iseng banget. Gimana kalau Mona lihat, Ran?" ujarnya dengan suara pelan.

"Ya emangnya gue peduli? Kan dia juga sering upload foto bareng Angkasa kalau mereka lagi jalan berdua," jawab Randi.

"Angkasa kan pacarnya." Dara tetap tidak mau kalah. Gadis itu kemudian mencoba meraih ponsel Randi yang tergeletak di atas meja. Namun, baru Dara menekan tombol power, ia sudah dimintai kata kunci untuk membukanya. "Ini password-nya apa?"

Randi menggeleng. Dengan santai ia menjawab, "Lo nggak berkepentingan buat tau password gue."

Dara lantas pasang wajah merajuk. Diletakkannya kembali ponsel Randi di atas meja. "Awas aja lo," sungutnya. Gadis itu kembali fokus pada daging-daging yang sudah diambil alih oleh Randi sejak ia mencoba membuka kunci ponsel Randi.

Menit-menit selanjutnya, keduanya kembali menikmati makanan yang terhidang di depan matanya, namun fokus Dara tetap saja selalu terdistraksi. Banyak notifikasi dari Instagram Randi yang dapat ia lihat dari layar ponsel Randi.

"Udah jangan dilihatin terus. Nanti makin penasaran," ujar Randi sambil menarik kembali ponselnya untuk ia letakkan di dekatnya. Sekali lagi laki-laki itu terkekeh. Dara terdiam, masih mengerucutkan bibirnya. "Lucu banget lo kalau lagi bete."

Dara tak merespons. Gadis itu hanya diam memandangi Randi selama beberapa detik.

"Apalagi kalau lagi salting. Makin lucu." Randi berujar lagi, membuat Dara kembali memandang ke arahnya. "Coba, Ra, senyum," pinta Randi sambil balik menatap Dara. Yang diminta kemudian melengkungkan bibirnya, membuat senyuman kecil. "Perfect."

Dara tak berkutik. Ia memilih untuk melunturkan senyumnya dan diam. Dalam benaknya Dara bertanya-tanya sendiri, kenapa ia menuruti Randi untuk tersenyum? Kenapa pula Randi bicara begitu padanya?

Dan dua pertanyaan itu terus mengitari benaknya selama bemenit-menit, sampai keduanya memutuskan untuk beranjak meninggalkan restoran.

Masih jadi pertanyaan tanpa jawaban, tapi Dara juga tidak berani mempertanyakannya, bahkan hingga mobil Randi telah meninggalkan lahan parkir restoran sejauh ratusan meter. Tapi ada satu hal yang menurut Dara harus ia tanyakan.

"Lo tadi mau cerita apa?" tanda tanya itu lantas Dara luncurkan di tengah heningnya mobil. "Udah pinky promise."

"Emangnya lo penasaran banget, ya?" tanya Randi diiringi tawa pelan. Senyumnya mengembang. Laki-laki itu melirik kepada Dara sesaat, melihat gadis di sebelahnya mengangguk sambil terus menatapnya lekat. "Gue suka sama lo, Ra."

Dara yang sebelumnya super penasaran dan siap sedia merespons cerita Randi, kini terbengong. Badannya yang semula tegap, kini tersandar pada pintu yang tertutup. Apa Randi bilang?

Lima kata itu keluar dengan begitu lancar dari mulut Randi. Tanpa tersandung sedikit pun. Seperti tidak ada rasa gugup yang terkandung di dalam kalimat pendek tersebut. Dan Randi sadar Dara terdiam begitu lama setelah kalimat itu diungkapkan.

Gadis itu masih memandang Randi, membuat laki-laki yang dipandangi jadi menoleh. Dara kemudian tertawa renyah, "Ah, bercanda aja lo, Ran."

Senyum Randi sekali lagi mengembang. Laju mobilnya melambat di kiri jalan, hingga berhenti di depan rumah Dara. Randi balik memandang Dara kini. Ia melepaskan seatbelt­ yang menahan dirinya di kursi. Tangannya yang kini bebas dari setir meraih tangan Dara. Randi mendekat bibirnya kepada punggung tangan Dara, kemudian mengecupnya singkat.

"Gue serius, Ra," aku Randi. "Mungkin gue emang baru sadar akhir-akhir ini, Ra, tapi gue serius."

Lekas-lekas Dara melepaskan cengkeraman Randi. "Ih, apaan, sih," balasnya sambil buru-buru melepaskan seatbelt di kursinya. Namun, dengan sama cepatnya, Randi kembali meraih tangan dara agar gadis itu tidak keluar dari mobilnya.

"Ra, gue serius," tutur Randi. "Jujur sama gue, Ra. Jujur sama diri lo sendiri, lo juga ngerasain yang sama, kan?" tanya Randi. Dara memilih diam, takut salah bicara. "Iya kan, Dara?"

Jantung Dara berpacu cepat. Gadis itu bingung sejadi-jadinya. Apa yang harus ia katakan pada Randi? Sial. Dara benar-benar menyesal karena mengingatkan Randi bahwa laki-laki itu ingin mengatakan sesuatu.

"Ran, gue pikir kita pure temenan, loh," tutur Dara dengan suara begitu pelan. Gadis itu melepaskan genggaman Randi lagi. "Tapi ternyata nggak sesuai yang gue pikirkan, ya?"

Randi diam. Ditatapnya Dara yang masih duduk di depan matanya. "Gue juga nggak pernah merencanakan perasaan ini tumbuh buat lo, Ra," kata Randi. "It happens, dan gue ... nggak tau gimana cara menyangkalnya, dan gue juga nggak tau kenapa gue harus menyangkal perasaan ini."

Dara jadi semakin bingung. Ada rasa sesal karena selama ini selalu ada untuk Randi, namun jauh di dalam hatinya, Dara juga....

Gadis itu menggeleng, menyangkal kuat-kuat pikiran yang tidak-tidak. Dara yakin ia tidak balik menyukai Randi. Dara sangat yakin. Seribu persen yakin. Dara tidak akan jadian dengan Randi, mantan sahabatnya—Mona—sendiri.

"Gue tunggu jawaban lo, ya, Dara?"

Meski ragu, Dara tetap mengangguk. "Satu minggu dari sekarang, temuin gue di kampus, dan gue bakal kasih jawabannya," katanya. Randi setuju. Gadis itu kemudian pamit untuk turun dari mobil Randi.

"Eh, sebentar," ujar Randi begitu Dara membuka pintu mobil dan menurunkan sebelah kakinya. Dara menjeda langkahnya, berbalik menatap Randi, melihat laki-laki itu menyodorkan tiga tangkai mawar merah, serta dua kaleng susu beruang. "Kesukaan lo. Susu beruang dan warna merah."

Dara terbengong menatap Randi lumayan lama. Gadis itu tersenyum tipis, kemudian lantas keluar dari mobil sebelum Randi bicara yang tidak-tidak lagi. Ia berlari masuk ke kamarnya, merebahkan tubuhnya bersama tiga tangkai bunga yang ada di genggamannya. Tangannya yang lain bergerak mencari kontak Mona di ponselnya.

Dara menelepon Mona.

"Halo, kenapa Ra?" tanya Mona tanpa berbasa-basi. Suaranya lembut, seolah tidak ada kasus apapun di antara keduanya. Namun, mendengar pertanyaan tersebut membuat jantung Dara berpacu begitu cepat. Alhasil Dara terdiam. Lama. "Ra? Nggak kepencet, kan?"

"Na, kita kayaknya ... harus...."

"Emang harus." Mona memotong pembicaraan Dara. Kini nada bicaranya terdengar lebih tegas. Caranya menginterupsi benar-benar membuat Dara semakin gugup. "Gue ke rumah lo, ya? Ini gue lagi di rumah Angkasa."

Dara mengangguk pelan, meski ia tahu Mona takkan melihatnya dari sana. Tidak ada jawaban yang Dara berikan di telepon, sampai akhirnya Mona menyimpulkan jawabannya sendiri dan berkata, "Lima menit lagi gue sampai di rumah lo."

Tidak ada jalan untuk berlari lagi kini. Dara harus menjelaskan segalanya.

+

an: halo! double update hari ini. jadi sebenernya tadi cuma update bab 16. tapi, pas kansa lihat lagi, ternyata kok ada bab 17 ikut ke-copas, dan udah publishhh. jadi.. yauda la, nih ditambahin lagi bab 17nya wkwk.

udah sih gitu aja. 

Moon and Her SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang