As You Wish: BAB 22

1.9K 180 40
                                    

Satu pekan berlalu sejak Angkasa belum menjawab pertanyaan Mona di lift

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Satu pekan berlalu sejak Angkasa belum menjawab pertanyaan Mona di lift. Dalam satu pekan ini pula Angkasa merasa ada jarak yang mulai membentang di antara dirinya dengan Mona. Gadis itu tidak pernah lagi menelepon duluan dan mengirim pesan duluan. Mona bahkan tidak pernah lagi meminta Angkasa menjemputnya.

Padahal Angkasa kini selalu ada dan selalu sedia untuk menemaninya ke manapun. Termasuk hari ini mengantar Mona ke kampus meskipun Angkasa tidak ada kuliah.

Angkasa bahkan menunggunya di depan kelas tanpa beranjak sedetik pun. Dan ketika kuliah usai, ketika seisi kelas berbondng-bondong meninggalkan ruangan hingga tersisa Mona, Angkasa akhirnya memutuskan untuk masuk dan menarik kursi untuk duduk di dekat Mona.

"Kok nggak keluar?" tanya Angkasa.

Senyum Mona mengembang sedikit. "Not in the mood. Dari tadi gue kepikiran sesuatu," katanya. Gadis itu melipat kedua tangannya di atas meja, kemudian menatap Angkasa lekat-lekat. "Menurut lo, di dalam suatu hubungan, kita tuh perlu nggak ngungkapin ke satu sama lain kalau kita ini saling sayang?"

Angkasa menghela napas dengan berat. Yang pekan lalu saja belum dijawabnya, lalu sekarang timbul lagi satu pertanyaan yang ingin sekali Angkasa hindari.

Untuk saat ini, Angkasa benar-benar merasa kalau ia sudah mengusahakan banyak hal untuk membuat Mona percaya. Akan tetapi, di tengah perjuangannya melakukan itu, kenapa Mona justru meragukan hal lain yang seharusnya sudah ia miliki jawabannya?

Angkasa diam. Mona pun menantikan jawabannya sambil terus menatap ke luar jendela, melihat jalan raya berisikan mobil-mobil yang saling adu cepat. Ruangan terasa begitu hening. Angkasa tidak memberi jawaban apapun, pun dengan Mona yang memilih untuk diam.

"Mau makan siang apa?" tanya Angkasa setelah keheningan terjadi begitu lama. Laki-laki itu beranjak dari kursi yang ditempatinya, bahkan langsung melangkah menuju pintu keluar.

Wajah Mona semakin kecewa. Namun gadis itu tetap merespons pertanyaan Angkasa sambil turut beranjak dari kursinya. "Makan ayam geprek yang di belakang kampus yuk, Sa."

Angkasa mengangguk mengiakan. Keduanya berjalan seiringan meninggalkan gedung kuliah dan kawasan kampus. Tanpa ada percakapan apapun di antara langkah keduanya. Bahkan di tengah perjalanan pun, baik Angkasa maupun Mona diam.

Sampai ketika keduanya selesai makan pun, tidak ada percakapan yang mereka mulakan. Namun pada akhirnya Angkasa memutuskan untuk angkat suara, membahas apa yang belum usai dalam beberapa hari terakhir ini.

"Kenapa sih gue harus ngomong ke lo kalau gue sayang sama lo? Bukannya apa yang gue lakukan udah cukup membuktikan?" tanya Angkasa sambil meletakkan gelas berisi es jeruknya.

Sesaat, Mona menengadahkan kepalanya, mengalihkan perhatiannya dari laman Instagram yang setia disaksikannya sejak lima belas menit lalu. "Gimana kalau gue butuh denger itu sesekali?"

"Lo bener-bener kayak anak SMP ya, Na, yang pacarannya harus penuh gombal," tukas Angkasa.

Sejatinya Mona dongkol mendengar Angkasa bicara begitu. Apa-apaan Angkasa menyebutnya seperti anak SMP? Lagi pula, memang tidak salah kan, kalau Mona memang ingin mendengarnya sesekali?

Namun, ketimbang mengomel dan menyalakan sumbu pertengkaran yang sudah di depan mata, Mona lebih memilih untuk mengangguk untuk tuduhan tersebut, lalu bilang, "Yes I am. Ada yang salah kalau gue kayak anak SMP?"

Angkasa berdengkus. Sama kesalnya dengan Mona. Keduanya kini hanya saling tatap dalam diam. Ada dua pilihan di benak Angkasa. Satu yang memiliki risiko menuju pertengkaran, satu sisanya yang memiliki kesempatan untuk meredakan kekesalan Mona.

Laki-laki itu menghela napas, menyungging senyum tipis di wajahnya. "I love you," tuturnya pelan.

Mona mengerlingkan matanya mendengar tiga kata tersebut. "Udah digituin baru bilang," gumamnya sambil beranjak dari kursi yang ditempatinya. Gadis itu menarik tasnya yang tergeletak di atas meja, lalu berjalan keluar dari kedai ayam geprek pilihannya tadi siang. "Pulang, yuk."

Sambil turut beranjak dan mengekori Mona berjalan, Angkasa sekali lagi menuturkan, "I love you."

"I love you."

"I love you."

"I love you," katanya terus menerus untuk yang ketujuh kalinya, bertepatan dengan sampainya mereka di sebelah motor Angkasa. Mona diam menatap Angkasa, melihat laki-laki itu tersenyum begitu manis. "I love y—"

"Heh, malah dimainin!" balas Mona sambil menggetil pipi Angkasa.

Senyum Angkasa sekali lagi mengembang. Laki-laki itu mengacak-acak rambut Mona. "Kan belum sampai tiga ribu," katanya.

Tanpa sadar, Mona menyungging senyum. Pipi gadis itu memerah padam ketika mendengarnya.

+ + +

"Sombong euy yang udah sayang sama pacarnya," ujar Aji begitu melihat Angkasa datang. Yang disindir hanya tertawa-tawa sambil menerima high five dari tangan Aji dan Naufal. "Udah sebulan nih, ya, lo nggak ikutan gue sama Nopal nongkrong."

Angkasa mengistirahatkan bokongnya di kursi yang kosong. Ranselnya segera ia lepaskan dari punggungnya. "Ya elah lo kayak pada nggak punya pacar aja," ujar Angkasa. "Lo berdua kan bukan prioritas gue, ngapain gue bela-belain buat lo," lanjutnya sambil tertawa.

Naufal yang mendengar tanggapan Angkasa hanya terkekeh pelan sambil terus menikmati roti panggang isi cokelat yang dipesannya jauh sebelum Angkasa hadir di meja ini.

"Jadi, ada kabar terbaru apa nih, Sa?" tanya Naufal.

Begitu pertanyaan tersebut diajukan, segala cerita mengalir dari mulut Angkasa. Entah itu tentang keseharian kuliahnya, sedikit tentang Mona, dan sebatas cerita-cerita tidak penting yang saling ditimpali oleh Aji dan Naufal setelahnya.

Obrolan panjang tersebut baru usai ketika perhatian Angkasa beralih ke ponselnya yang bergetar di atas meja, menampilkan pesan pop up dari Mona. Angkasa meraih ponselnya, membaca pesan yang Mona kirimkan.

Mona Arisa : Sa , gue di Mal Kelapa Gading

Mona Arisa : Kalau naik TransJakarta ke rumah gue, naik yang mana ya?

Tanpa repot berpikir panjang, Angkasa langsung menelepon Mona, dan di dering pertama, teleponnya lantas diterima oleh Mona. "Kok lo udah malam masih di sana?" tanya Angkasa serta merta. "Bukannya katanya jalan sama temen sekelas?"

"Iya emang sama temen-temen sekelas gue. Nonton di MKG," balas Mona dengan begitu tenang. "Nggak dapat yang siang. Ya udah kita nonton jam lima."

"Ya udah, tunggu di sana aja ya," ujar Angkasa sambil meraih jaketnya yang tersampir di punggung kursi. "Gue jemput."

Kini, baik Aji maupun Naufal menatap Angkasa yang masih terhubung dengan Mona, pun menyaksikan laki-laki itu mulai mengenakan jaketnya sambil terus bicara di telepon. Bahkan sampai Angkasa menyakukan ponselnya sebab sudah selesai bicara, keeduanya masih menatap Angkasa.

"Apa-apaan lo mau cabut?" ujar Aji.

"Next time," jawab Angkasa sambil menarik ranselnya. "Sori, ya. Gue jemput Mona dulu. Nanti kalau lo pada masih di sini gue balik lagi."

"Yah, ya udah cabut aja yuk Ji sekalian," balas Naufal sambil mengambil waist bag miliknya yang tergeletak di atas meja. Naufal turut berdiri dari kursinya, kemudian mengeluarkan kunci motor.

Aji mengangguk mengiakan ajakan Naufal. "Ya udah ayo. Gue juga pengin ke rumah Shila sih sebenernya. Kalau nanti-nanti takut kemaleman."

"Lah bubar?" tanya Angkasa.Serempak, Aji dan Naufal mengangguk. Ketiganya kemudian bersama-sama melangkahmeninggalkan kafe yang entah sudah berapa jam mereka singgahi.

Moon and Her SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang