As You Wish: BAB 08

2.5K 239 42
                                    

"Nih, buat lo

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Nih, buat lo." Ujaran itu membuat lamunan Dara seketika lenyap entah ke mana. Dara menyisir rambutnya yang menutupi penglihatannya. Kini di depan matanya, selain ada dua buku dan satu kotak pensil, ada juga sekaleng susu bear brand. "Suntuk ya jadi anak Ilkom?"

Pertanyaan itu hanya Dara jawab dengan senyum singkat. "Makasih," tutur Dara sambil membuka kaleng minuman yang baru saja Randi belikan untuknya. "Permintaan lo udah gue jalanin. Bayarannya cuma susu beruang sekaleng?"

Kekehan Dara terdengar selepas ia menenggak susu beruangnya. Tampang Randi yang semula menampakkan senyum juga lantas berubah. Laki-laki itu terbengong memandang gadis di hadapannya.

"Bercanda, elah, Ran," ujar Dara sambil mendorong bahu Randi pelan. Kekehannya kembali terdengar meski Randi masih terbengong. "Jadi, ada apa lagi, nih? Tumben ya lo akhir-akhir ini ngajak gue ketemu. Dulu satu sekolah ke mana aja lo? Nggak mau kenal gue."

"Sini, gue bisikin," ucap Randi sambil memajukan kepalanya beberapa sentimeter. Tangannya mengundang Dara untuk turut mendekat ke arahnya.

Begitu Dara mendekat, Randi semakin mendekatkan bibirnya ke telinga Dara, membisikkan sesuatu yang belum pernah Dara dengar sebelumnya dari mulut siapapun.

Jantung Dara berdebar-debar. Gadis itu mematung bahkan setelah Randi memundurkan kepalanya dan tersenyum kepada Dara. "Gimana, gampang kan?" tanya Randi. Dara tidak memberikan jawaban apapun. Sampai Randi menarik ransel ke bahu kanannya dan beranjak dari kursi. "Gue duluan, ya. Nanti berkabar lewat chat aja. Gue ada janji ketemuan sama temen sekelas gue."

Dara masih membeku, tidak berkata apapun pada Randi. Sampai Randi dan bayangannya menghilang dari penglihatan Dara, gadis itu masih terbengong memandangi kursi di mana Randi duduk beberapa detik lalu.

Apa yang Randi katakan itu benar-benar harus Dara lakukan?

Dara harap tadi mulutnya bisa angkat suara untuk menolak apapun yang Randi katakan. Sekarang tidak ada kesempatan lagi. Dara tidak tahu Randi pergi ke mana, dan Dara yakin Randi sudah menganggap Dara mengiyakan permintaannya barusan.

Kening Dara jatuh ke atas meja, menindih buku yang sedari tadi sedang dibacanya. "Astaga, Tuhan...."

Fokus gadis itu benar-benar tidak keruan sekarang. Melanjutkan belajar pun rasanya tidak akan berguna. Sebab isi kepala Dara kini penuh hanya dengan nama Randi. Matanya masih membayangkan Randi ada di depannya.

Randi.

Lalu Angkasa. Telepon masuk dari Angkasa yang membuat kepala Dara kembali terangkat. Dara memilih untuk mengabaikannya. Setelah apa yang dikatakannya dua hari lalu kepada Angkasa, Dara kini merasa benar-benar tidak pantas berhubungan lagi dengan laki-laki itu.

Apa yang akan Mona lakukan jika gadis itu tahu Dara bicara setidaksopan itu kepada pacarnya? Bersikap setidaksopan itu di tengah hubungan yang sedang mereka jalin?

Setelah panggilan kelima tidak Dara terima, Angkasa kembali menelepon untuk yang keenam kalinya. Dara menyerah dengan desahan gusar. Ia menerima telepon Angkasa dan mendengar kecemasan laki-laki itu di seberang telepon.

Apa lagi yang membuat Angkasa cemas kalau bukan Mona?

"Gue nggak tau lagi deh harus nyari dia ke mana. ... atau Randi tau, ya, Mona di mana? ... Tolong tanyain Randi, dong. ... Lo—"

"Angkasa, gue lagi nggak mau diganggu, ya. Sori," interupsi Dara. Teleponnya lantas Dara akhiri sepihak. Ponselnya langsung masuk ke dalam tasnya, disusul dengan buku-buku dan alat tulisnya. Dara beranjak dari kursi yang entah sudah berapa jam ditempatinya itu, bersama dengan kaleng susu beruang yang belum tandas.

Dara berjalan ke pintu belakang kampus, menuju ke halte bus terdekat. Namun satu hal yang tidak terpikirkan olehnya adalah Angkasa justru menemukannya karena Dara keluar dari kampus.

Laki-laki dengan rambut tebal nan hitam legam tengah berjalan ke arah berlawanan dengan Dara. Napasnya tersengal-sengal. Keduanya berhenti begitu saling bersitatap. Tidak ada yang memulakan percakapan. Angkasa bahkan malah sibuk mengatur napasnya, dan Dara hanya menyaksikannya sambil mencengkeram erat tali tote bag di bahu kirinya.

"Ra, please bantuin gue," ucap Angkasa pada akhirnya.

Dara sudah tahu skenario selanjutnya. Yaitu Dara tidak bisa menolaknya karena ini menyangkut sahabatnya sendiri.

Ponsel Dara yang sudah tertimbun di antara barang-barangnya di tas, kini ia keluarkan lagi. Keduanya duduk bersebelahan di kursi yang ada di trotoar di dekat pintu masuk kampus. Sama-sama sibuk mencoba menghubungi Mona, dan sama-sama sibuk menggerutu karena panggilannya tak kunjung diterima.

"Mona kan udah gede, Sa. Masih harus lo cariin kayak anak SD yang belum pulang pas magrib?" Dara menoleh kepada Angkasa yang masih menggenggam erat ponselnya yang melekat ke telinga kanannya. "Dia bisa jaga diri, lah."

"Kok lo ngomongnya gitu sih?" mata Angkasa menyipit. Angkasa tidak melakukan panggilan lagi ke Mona setelah yang keempat belas tetap tidak diangkat. Dara memasang tampang datar kepada Angkasa. Seolah-olah ia berkata memangnya-harus-gimana-lagi?

Bahu Dara terangkat. "Lo berlebihan, sih. Dia kan bukan anak kecil lagi yang harus dicariin di saat bulan bahkan belum tukeran posisi lagi sama matahari," jawab Dara enteng. Memang itu satu-satunya hal yang ada di dalam pikirannya, dan Dara merasa ia harus mengutarakannya tanpa berbasa-basi.

Amarah Angkasa memuncak. Ini tidak seperti Dara yang dikenalnya selama beberapa bulan lalu, sebelum ia jadian dengan Mona.

Angkasa berdengkus. "Lo niat nggak sih, bantuin gue?" tembak Angkasa. Dara menggeleng dan beranjak dari kursi. Kakinya melangkah meninggalkan Angkasa. Namun seruan Angkasa menghentikannya lagi. "Lo yang janji ya sama gue buat bantuin gue deket lagi sama Mona. Sekarang giliran gue butuh, lo mau ingkar sama janji lo sendiri? Lagian, temen macam apa lo, Ra, yang nggak cemas di saat temennya sendiri lagi nggak tau di mana dan nggak ada kabar?!"

Tanpa berbalik atau mengatakan sepatah kata kepada Angkasa, langkah Dara kembali berlanjut. Kini Angkasa sendirian di bawah temaramnya bulan. Di bawah gelapnya langit tanpa bintang. Kenapa harus serumit ini sekarang?

Tanpa sadar, sambil terus melangkah, ibu jari Dara menekan nama Randi pada layar ponselnya, mengirimkan pesan pada laki-laki itu untuk menyalahkannya bertubi-tubi. Ini ide Randi, tapi Dara yang harus kena getahnya.

Randi berengsek....

Randi Amadilo : Lo di mana? Tunggu, gue ke sana

Langkah Dara kembali terhenti di pertengahan jalannya menuju ke halte bus TransJakarta. Kini ia berdiri di atas jembatan penyeberangan orang, tepat di atas jalan raya yang ramai lancar. Dari atas sini Dara bisa melihat Angkasa di balik gelapnya malam, samar-samar.

Lima menit setelah membalas pesan Randi, Dara bisa melihat laki-laki itu di hadapannya. Masih dengan setelan yang sama dengan yang dikenakannya tadi sore. Seperti tadi sore juga, di tangannya ada sekaleng susu bear brand yang tidak Dara minta.

"Yuk, pulang sama gue," ajak Randi sambil melukiskan senyumnya. "Nggak ada penolakan, karena gue udah beliin lo susu beruang lagi hari ini."

Setelah memasukkan kaleng susu ke dalam tas Dara, Randi menarik tangan gadis itu, membawanya berjalan menuruni jembatan penyeberangan, dan tetap menggenggam pergelangan tangannya di sepanjang langkahnya.

Bahkan ketika Randi sadar bahwa ada Angkasa yang sedang duduk di trotoar sambil menyaksikan mereka.

Dara tidak mengerti lagi apa yang akan terjadi pada dirinya. Setelah berurusan dengan Angkasa, sekarang....

Tidak. Tidak mungkin.

Moon and Her SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang