As You Wish: Epilog

4K 285 79
                                    

"Lo udah makan?" tanya Angkasa sambil menyaksikan Mona yang baru saja mengenakan helmnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Lo udah makan?" tanya Angkasa sambil menyaksikan Mona yang baru saja mengenakan helmnya. Yang ditanya menggeleng. "Ya udah, makan dulu, yuk."

Mona mengangguk, kemudian naik ke motor Angkasa. Begitu kedua tangannya melingkar di pinggang Angkasa, laki-laki itu menancap gas, meninggalkan kawasan Kelapa Gading bersama Mona dan motor Satria yang dikendarainya.

Di sepanjang jalan, percakapan-percakapan kecil mengisi kekosongan. Dari hal-hal tidak penting, sampai lelucon-lelucon tak terencana yang Angkasa ucapkan.

"Langitnya gelap banget ya, Sa," ujar Mona yang sejak tadi menyaksikan langit malam yang tidak tertutup jalan layang di atas kepalanya.

Tanpa Mona melihat, Angkasa tersenyum. Laki-laki itu juga mengangguk, sambil bilang, "Iya lah. Kan harus gelap demi kebaikan bulan."

"Kenapa?"

Angkasa diam sesaat. Kepalanya menengadah, turut menyaksikan langit yang jadi perhatian Mona sejak bermenit-menit silam. Laki-laki itu menghela napas. "Karena tanpa langit yang gelap, bulan nggak akan kelihatan bercahaya."

Seketika Mona geming. Perhatiannya beralih pada kaca spion yang Angkasa otak-atik hingga kini mereka bisa saling tatap. Mona jadi ingat malam yang pernah dilaluinya bersama Angkasa di jalan Margonda Raya.

Malam di mana Angkasa bilang, bahwa tempat ternyaman bagi bulan adalah langit. Ucapan yang begitu menyihir Mona sampai sebegini tergila-gilanya dengan seorang Angkasa Putra Perkasa. Laki-laki paling kurang ajar yang membuatnya sampai rela kehilangan pacar dua tahunnya, tujuh bulan silam.

"Na," panggil Angkasa. Mona hanya bergumam meresponsnya. "Kalau nanti ada waktu di mana hari-hari gue mulai gelap, penuh masalah dan nggak punya setitik pun cahaya, gue bakal tetap ada untuk lo yang bersinar."

Mona tak berkutik. Gadis itu memandangi Angkasa dari kaca spion, menyaksikan laki-laki itu mulai fokus pada jalan raya di depan matanya. "Kenapa?" tanya Mona.

"Karena mau lo tunggu sampai kapanpun, nggak akan ada langit yang ninggalin bulannya," jawab Angkasa, yang diakhiri senyum di wajahnya. "Dan angkasa akan selalu jadi tempat ternyaman bagi bulan."

Mona turut tersenyum. Dekapannya kian erat. Gadis itu kemudian mengistirahatkan kepalanya di punggung Angkasa yang terbalut jaket biru dongker.

"Seandainya bakal ada satu waktu di mana langit lo nggak senyaman waktu pertama kali, tetap jangan tinggalin langit, ya, Na," ujar Angkasa. Tangan kirinya kini menggenggam kedua tangan Mona yang mendekapnya. Angkasa mengelus punggung tangan Mona. "The moon has to stay with her sky."

Gadis yang duduk di jok belakang tersebut mengangguk mantap. "As you wish, Angkasa," katanya. "Lagi pula, nggak akan ada bulan yang mau kehilangan tempat ternyamannya. Langitnya gue ya, lo."

+ the end +

an: mau nulis author note tapi bingung nulis apa.

ya udah ya....

Moon and Her SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang