As You Wish : BAB 13

1.7K 172 19
                                    

Setelah berpikir panjang semalaman, Dara akhirnya memutuskan untuk menemui Randi, bukan Angkasa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah berpikir panjang semalaman, Dara akhirnya memutuskan untuk menemui Randi, bukan Angkasa. Laki-laki itu menjemput Dara di rumah, kemudian mengemudikan mobilnya entah ke mana. Dara sempat bertanya, tapi Randi bilang rahasia.

"Kemarin, gue ketemu sama Angkasa," ujar Randi setelah hampir setengah jam meerka saling diam di dalam mobil. Dara diam. Gadis itu hanya merespons dengan anggukan kepala beberapa kali. Mungkin apa yang akan Randi bicarakan hari ini juga sesuatu yang akan Angkasa bicarakan. "Dia cerita apa yang Mona ceritain ke dia, dan gue pun cerita apa yang lo ceritain ke gue."

Dara kembali mengangguk menanggapi cerita singkat Randi.

"Gue mau mewakili Mona buat minta maaf, sekaligus atas nama gue sendiri. Ini mungkin salah gue, sih, karena gue sempet pengin rebut Mona lagi dari Angkasa, tapi gue malah minta bantuan sama lo," tutur Randi.

Tidak ada kata-kata apapun dari Dara, lagi. Pun dari Randi, tidak ada sepatah kata apapun lagi. Keduanya kembali diam. Keadaan mobil kembali sunyi senyap. Kini yang terdengar hanya deru mesin serta klakson yang saling sahut-menyahut di sepanjang jalan.

Dara menghela napasnya. Ada juga yang ingin dikatakannya kepada Randi. Akan tetapi, Dara tidak yakin. Dara juga ingin meminta maaf. Meminta maaf sebab selama ini sudah ikut campur dalam kisah yang harusnya jadi milik Mona.

Dara sadar, ia seharusnya tidak ada di antara Mona, Randi, dan Angkasa. Seharusnya Dara mencari orang lain untuk masuk ke kisahnya. Dara seharusnya tidak mengganggu Mona.

"Lo masih mengharapkan Angkasa, Ra?" tanya Randi tiba-tiba.

Pertanyaannya sukses membuat Dara membisu. Sukses pula membuat jantung Dara berpacu cepat. Pertanyaan macam apa ini?

"Hah? Mengharapkan gimana, maksud lo?" Dara bertanya balik, dengan begitu terbata-bata. Gadis itu lantas memalingkan pandangannya ke luar jendela, menyaksikan jalan Matraman Raya yang sedang dilaluinya bersama Randi. "Gue nggak pernah mengharapkan Angkasa."

Awalnya Dara menduga Randi akan tertawa terbahak-bahak mendengar pernyataan tersebut. Namun rupanya tidak. Randi hanya tersenyum.

"Lo kenapa?" tanya Dara tanpa berbasa-basi. "Senyum-senyum segala."

Randi menggelengkan kepalanya. Selanjutnya, mobilnya melaju dengan kecepatan tinggi ke arah Salemba. Dara masih tidak tahu Randi akan membawanya ke mana siang ini.

"Lo cuma mau ngomongin itu?" tanya Dara. "Nggak penting banget, ya, kita harus sampai keluar, lo bawa mobil, jalan jauh-jauh ke sini, tapi lo cuma ngomong sependek itu."

"Gue cuma mau ngajak lo jalan," balas Randi. "Tapi lo pasti nggak mau kalau gue to the point ngajak lo jalan. Makanya harus ada sesuatu yang gue omongin supaya lo mau."

Dara terkekeh mendengar pernyataan tersebut. Gadis itu tersenyum-senyum malu. "Kok random banget, ngajak gue jalan?"

Randi mengedikkan bahunya. Ada sesuatu yang tidak perlu Dara ketahui.

+ + +

Permainan diakhiri dengan decakan sebal dari tiap pemain. Kata defeat yang terpampang di layar membuat tiga laki-laki yang tengah duduk di kursi masing-masing itu lantas membuat mereka saling menyalahkan satu sama lain.

"Gue udah bilang harusnya lo mundur dulu, Pal," ujar Aji.

"Ah, berisik," balas Naufal sambil mengembalikan tampilan layarnya ke home. Laki-laki itu meletakkan ponselnya di atas meja, kemudian menyambar kentang goreng yang tersedia di atas meja sejak satu jam silam. "Eh, mau ke mana?"

Pandangan Naufal dan Aji serempak tertuju pada Angkasa yang tiba-tiba beranjak dari kursinya, dan kelihatan mengangkat telepon. Entah dari siapa. Laki-laki itu berjalan keluar dari kafe, dan terlihat sedang bicara.

Mona yang meneleponnya.

"Lo di mana?" pertanyaan itu yang pertama kali Angkasa dengar ketika ia mengangkat telepon. Sekilas Angkasa melihat ke belakang, mendapati kedua temannya melihat ke arahnya yang tiba-tiba keluar dair kafe. "Katanya mau ke sini?"

Angkasa menggerayangi tengkuknya. Angkasa ingat ia memang janji pada Mona untuk datang ke rumahnya malam ini. Namun, setelah Angkasa memikirkannya, keputusannya jatuh pada pilihan untuk tidak datang. Namun bodohnya adalah Angkasa benar-benar lupa memberi kabar pada Mona kalau ia tidak jadi datang malam ini.

"Iya, sori. Gue lupa ngabarin. Gue nggak enak badan, Na. Ini juga baru bangun gara-gara lo nelepon," balas Angkasa. "Sori, ya, Na. Next time, deh, kita jalan."

"Padahal gue udah rapi," balas Mona.

Angkasa tahu gadis ini sangat kesal sekarang.

"Iya, Na, sori. Gue mau tidur lagi, Na. Sori, ya, gue bener-bener nggak enak badan," balas Angkasa. Setelah mendengar Mona bergumam dengan begitu malas, Angkasa pun mematikan teleponnya. Laki-laki itu kembali masuk dan duduk bersama Aji dan Naufal.

"Ditelepon tuan putri, ya?" tanya Aji sambil tertawa-tawa. Angkasa mengangguk dengan malas. Tangannya lantas bergerak untuk menonaktifkan ponselnya, kemudian menaruhnya di atas meja. "Kok hapenya dimatiin?"

"Gue males," balas Angkasa. Aji dan Naufal diam, tidak berani berkomentar apapun. "Sumpah, kali ini gue bener-bener lost interest sama Mona, gara-gara yang kemarin itu."

Aji dan Naufal bersitatap sesaat. Kini, ponsel keduanya turut diletakkan di atas meja. Aji mendekatkan kursinya ke meja, kemudian menatap Angkasa penuh keseriusan. "Bukan lost interest sama Mona gara-gara yang kemarin, Sa. Tapi lo aja yang nggak sadar kalau sebenernya lo udah lost interest sama dia sejak lama."

Naufal berdesah berat. Laki-laki yang satu ini sudah mulai malas kalau membahas tentang Mona dan Dara. Dua nama yang menelan Angkasa dalam rasa bingung, tapi harus melibatkan dirinya dan Aji. Bukannya Naufal tidak ingin membantu Angkasa, tapi Naufal merasa kalau Angkasa tidak memerlukan saran apapun dari keduanya. Angkasa pasti mengerti perasaannya sendiri.

"Dan gue jamin lo nggak akan pernah mau ngaku kalau sebenernya lo suka sama Dara, Sa," timpal Naufal sambil tetap menikmati kentang gorengnya. Aji mengangguk-angguk menyetujui pernyataan Naufal.

"Kenapa sih kalian selalu bilang kalau gue suka sama Dara?" tanya Angkasa pada akhirnya. "Dari dulu kalian yang selalu komporin gua buat jadian sama Mona. Tapi sekarang, giliran ada Dara, kenapa jadi Dara?"

Setelah pertanyaan itu Angkasa kemukakan, ia kembali teringat sesuatu. Semalam Angkasa mengirimkan pesan pada Dara. Angkasa mengajaknya bertemu dan bilang kalau ada sesuatu yang ingin dibicarakannya. Meski pada akhirnya Dara menolak ajakan Angkasa untuk bertemu, entah apa alasan di baliknya.

Padahal Angkasa ingin mewakili Mona untuk meminta maaf pada Dara atas apa yang kemarin terjadi di antara dua gadis itu. Angkasa tahu ini salahnya sebab ia kembali lagi dan sempat mencari Mona. Salahnya juga sebab Angkasa sudah begitu dekat dengannya, kemudian tiba-tiba meninggalkannya untuk menjalin hubungan bersama Mona.

"Woi." Aji menjentikkan jarinya di depan wajah Angkasa, membuat laki-laki itu lantas kembali dari lamunannya. "Ngelamun aja. Gue sama Nopal dari tadi ngomong."

Angkasa geming. Kedua bola matanya menyorot kepada Aji dan Naufal secara bergantian. "Ngomong apa?"

"Ngomongin lo, dong," balas Naufal sambil tertawa bersama Aji. "By the way, Angkasa Putra Perkasa. Lo belum sempat jawab pertanyaan gue, loh."

"Pertanyaan yang mana?"

"Pertanyana yang kemarin," balas Aji. "Selain kebawa euforia karena ketemu Mona, lo sebenernya juga nyaman sama Dara, kan?"

Naufal mengangguk. Pertanyaannya yang kemarin tidak terjawab, malam ini diwakili oleh Aji.

Angkasa diam. Jantungnya berpacu. Dalam hatinya Angkasa mengiakan. Namun sayangnya, mulutnya tidak bisa menyuarakan jawabannya. Hingga pada akhirnya Angkasa memilih untuk tidak bersuara. Hanya anggukan yang diberikannya.

Angkasa memang merasa nyamandengan Dara.

Moon and Her SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang