As You Wish: BAB 09

2.5K 233 73
                                    

"Sendirian aja?" sapaan ceria dari Dara tersebut tertuju kepada gadis yang duduk sendirian di meja paling pinggir kantin, dengan semangkuk soto yang belum dihabiskan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Sendirian aja?" sapaan ceria dari Dara tersebut tertuju kepada gadis yang duduk sendirian di meja paling pinggir kantin, dengan semangkuk soto yang belum dihabiskan. "Gue duduk di sini, ya." Dara meminta izin seraya menaruh sepiring ayam bakar yang baru saja dipesannya. "Semalam ke mana? Pacar lo nyariin."

Gadis itu, Mona, hanya mengangguk tanpa berkata apapun. Tatapannya bahkan begitu dingin. Tidak ada percakapan juga di antara keduanya sampai Mona selesai makan lebih dulu daripada Dara. Gadis itu lekas merapikan barang-barangnya, lalu beranjak dari kursi dengan pamit singkat, "Gue duluan, ya."

Kalimat pamitnya membuat Dara terbengong memandangi kepergian gadis itu. Apa-apaan kepergiannya? Mereka bahkan belum bicara apapun. Mona juga tidak berbasa-basi sama sekali soal kemarin sore, ketika Dara membantu Angkasa meneleponinya karena belum pulang hingga magrib. Padahal Dara baru saja ingin mempertanyakannya.

Apa salah Dara padanya, sih?

Sementara Dara masih memandangi Mona berlalu, gadis itu tetap saja melangkah tanpa menoleh sedikit pun kepada Dara. Langkahnya cepat, meninggalkan kantin kampus. Melihat Dara di depan mata mulai membuatnya muak.

Diam-diam, Mona tahu apa yang sebenarnya Dara lakukan selama ini dengan Randi. Gadis itu dekat dengan mantan pacarnya tepat setelah Mona putus dengan Randi dan jadian dengan Angkasa. Ini memuakkan. Sahabat mana yang tega melakukan hal itu selain Dara?

Terlebih dari itu, apa Dara memang benar-benar sahabatnya?

+ + +

Hari ini, selain pada jam makan siang, Dara juga melihat Mona di perpustakaan pada pukul dua. Keduanya sama-sama tidak ada kuliah, dan sama-sama tengah mengerjakan tugas di ruang bebas di lantai teratas gedung perpustakaan. Lagi, Dara menempati meja di mana Mona duduk sendirian.

"Lo kenapa, deh?" tanya Dara begitu ia duduk dan menjatuhkan tumpukan bukunya di atas meja. Sesaat, Mona menengadah dan mereka bersitatap lama. Tatapan Mona masih sedingin tadi siang. "Did I do something wrong, Mona Arisa, my friend?"

Begitu Dara duduk di hadapannya, tatapan Mona semakin lurus menyorot padanya. Gadis itu menutup buku catatan dan meletakkan ballpoint yang sedari tadi digunakannya. Ia menghela napas, kemudian lantas bicara to the point, "Lo kenapa sih, harus deket sama Randi setelah gue putus?"

Jelas, pertanyaan itu membuat Dara terkejut bukan main. Jadi, sedari tadi Mona mempermasalahkan kedekatannya dengan Randi?

"Loh, emangnya kenapa kalau gue deket sama Randi?" meski tidak mau mengutarakan kata-kata tersebut, tapi Dara hanya bisa mengeluarkan pertanyaan itu dari mulutnya. Karena, jelas saja Dara terganggu. Apa urusannya Mona mengatur Dara tidak boleh dekat dengan Randi?

Ditanya begitu, amarah Mona justru memuncak. Gadis itu memukul meja yang menjadi pembatas di antara mereka. "Gue baru putus sama Randi, Ra. Masa lo udah deket sama Randi aja?"

Beruntung hanya ada mereka dan satu orang lainnya di dalam ruangan tersebut sehingga Dara tidak mau sungkan untuk balas memarahi Mona sebagaimana Mona marah kepadanya.

"Baru putus sama Randi, Na? Tapi lo udah punya Angkasa. Apa yang masih lo harapin dari Randi? Nggak boleh mendua begitu, Na," sergah Dara tanpa menyaring setiap kata-katanya. "Di saat lo udah memilih Angkasa, seharusnya tujuan lo ke depan cuma Angkasa, Na. Lo udah memilih untuk meninggalkan Randi, jadi tinggalkanlah Randi luar dalam, Na."

Mona membelalak. Mulutnya terkatup rapat. Selanjutnya, benar-benar tidak ada kata-kata lagi yang dikeluarkannya untuk Dara. Gadis itu memilih untuk diam dan tetap memandangi sahabatnya yang masih geming dan tidak berminat meminta maaf atas kata-katanya barusan.

"Gue pikir lo sahabat gue loh, Dara." Suara Mona bergetar. Dapat Dara lihat air mata menggenang di pelupuk mata Mona. Gadis itu cepat-cepat meraih seluruh buku dan alat tulisnya. Ia lantas meninggalkan Dara tanpa kata-kata.

Dan selama melangkah, ponselnya memperdengarkan nada sambung. Gadis itu menelepon Angkasa untuk menjemputnya sekarang juga.

Lima belas menit berselang, Angkasa hadir di depan matanya, laki-laki itu lantas berlari begitu melihat mata Mona berkaca-kaca. Satu pertanyaan meluncur dari bibir Angkasa, "Kenapa?"

Dan dalam detik yang sama, Mona langsung bercangkung, menutupi tangisnya yang langsung pecah sebab pertanyaan Angkasa membuatnya teringat akan jawabannya. Angkasa turut bercangkung di hadapan Mona, mengusap puncak kepala gadis itu perlahan. "Hei, gue baru datang dan nggak tau apa-apa. Ngobrol, yuk?"

Sebelah tangan Angkasa lantas terulur untuk saling berpegangan dengan Mona. Laki-laki itu memimpin jalan meninggalkan kawasan perpustakaan, melangkah menuju ke taman kampus yang terletak tidak begitu jauh dari gedung perpustakaan.

Setelah membelikan sebotol air mineral, Angkasa kembali bertanya apa yang membuat Mona menangis. Namun, bermenit-menit Angkasa menanti, Mona tak kunjung memberikan jawaban. Tidak ada clue apapun yang Angkasa terima. Mona tutup mulut sepenuhnya.

"Na, kalau lo nggak mau cerita apapun, gimana gue bisa tau lo kenapa?" tutur Angkasa setelah menit-menit berlalu tanpa suara. Namun tetap saja tidak ada satu kata pun yang keluar dari mulut Mona. Gadis itu hanya berdesah gusar kemudian menyandarkan kepalanya ke pundak Angkasa.

Perlahan, telapak tangan Angkasa menyentuh pipi Mona, mengusapnya lembut.

"Sa," panggil Mona sambil menahan pergerakan tangan Angkasa. Laki-laki yang disandarinya hanya bergumam sambil menoleh sedikit ke arahnya. "Salah nggak sih, kalau gue cemburu sama seseorang yang deket sama cowok, padahal cowok itu bukan siapa-siapa gue?"

Angkasa diam. Ide-ide dalam pikirannya berdebat panjang akan jawabannya. Siapa yang sedang Mona cemburui, jawaban apa yang tepat untuk pertanyaannya, serta apa yang membuat Mona tiba-tiba bicara seperti ini.

Lalu dua nama tercetus dalam benaknya. Memangnya siapa lagi kalau bukan Randi? Dan jika menyangkut Randi, apa ini juga tentang Dara? Sebab semalam, Angkasa melihat Dara bersama Randi, jadi, mungkin Mona cemburu karena melihat Randi bersama Dara?

"Menurut lo sendiri gimana, Na? Apa itu hal yang benar?" Angkasa bertanya balik, dan hanya gelengan kepala yang Mona berikan setelahnya. Ia tidak tahu jawabannya.

Kepala Mona perlahan-lahan terangkat. Gadis itu kini memandangi laki-laki yang duduk di sebelahnya. Memandanginya lama, namun Angkasa tak balik menatap. Laki-laki itu justru terus-menerus memandang ke langit di atas kepalanya.

"Sa, maaf ya," tutur Mona sambil kembali mendekatkan dirinya kepada Angkasa. Tak ada jawaban dari Angkasa. Satu-satunya respons yang Angkasa berikan hanyalah tatapan yang teralihkan dari langit. "Gue bukannya cemburu yang gimana, tapi ... kayak, gue ngerasa kayak, ya, Dara kok bisa ya jalan sama Randi, padahal gue sama Randi belum lama putus."

Akurat seperti dugaan Angkasa beberapa menit silam. Dalam hati, Angkasa bertanya sendiri: lantas bagaimana perasaan Dara dua bulan lalu, ketika gadis itu baru saja dekat dengan Angkasa, tapi Mona serta-merta mengambil posisinya bahkan sampai meninggalkan Randi?

Namun pertanyaan itu tertahan. Mulutnya tidak sanggup lebih menyakiti Mona meski rasanya pertanyaan itu sangat penting. Kali ini saja, Angkasa ingin berpihak pada Dara sebab gadis itu tidak melakukan kesalahan apapun.

Mungkin Mona juga tidak melakukan kesalahan apapun, maka dari itu, sepatutnya Mona tidak cemburu atas apa yang sudah tidak jadi miliknya. Sebab Dara pun tidak pernah cemburu karena pada akhirnya Mona yang jadian dengan Angkasa.

Bukankah begitu?

Moon and Her SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang