As You Wish: BAB 04

3.1K 302 40
                                    

"Yang, ken—"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Yang, ken—"

"Berisik, Ran. Bisa nggak sih kamu sekali aja nggak ngelarang aku ini itu? Aku cuma mau ketemu sama Dara, kenapa nggak boleh? Selama ini aku udah selalu nurutin apa yang kamu mau loh, Randi. Kenapa kamu balasnya nggak setimpal?!" Mona menginterupsi omongan Randi dengan amarah memuncak. Tangan Randi yang semula hendak menahan langkahnya, kini ia lepaskan.

Sementara Randi diam, memandangi raut marah di wajah pacarnya. Ada apa dengan Mona?

"Aku nggak mau lagi pulang bareng kamu. Aku mau sama Dara. Kalau kamu nggak suka, kita udahan aja," ucap Mona kemudian, sebelum ia meninggalkan Randi yang mematung di depan gedung F, disaksikan segelintir orang yang masih lalu lalang.

"Masih waras nggak, sih, dia?" gumam Randi sambil menghela napasnya. Matanya masih menyorot ke gadis dengan kaus merah muda yang baru saja meninggalkannya. Mona semakin jauh, semakin jauh, sampai akhirnya hilang dari pandangan Randi.

Sikapnya benar-benar aneh akhir-akhir ini.

"Ya nggak apa-apa. Atau lo mau bareng gue juga? ... Oh, gitu. Pulang sama Mona, berarti? ... Oke."

Kini pandangan Randi menoleh kepada seseorang yang baru saja berhenti melangkah dan berhenti menelepon. Nama pacarnya disebut-sebut. Dan memang benar tebakan Randi, bahwa suara yang didengarnya adalah suara Angkasa, pacar baru Dara.

"Mona sama siapa?" tanya Randi serta-merta.

Angkasa berhenti mengetikkan sesuatu di ponselnya. Laki-laki itu menoleh kepada Randi, diam sesaat. "Sama Dara. Lo pacarnya masa malah nggak tau?" balasnya ditambah pertanyaan yang justru menyulut rasa kesal.

"Gue cuma nanya, kenapa lo jawab kayak gitu?" balas Randi.

Sebelah alis Angkasa terangkat. "Loh gue cuma jawab dan nanya, kenapa lo kesel? Lagian emang bener kan, lo harusnya tau Mona pulang sama siapa kalau nggak lagi sama lo?" balas Angkasa sambil melangkah berlalu. Begitu melewati Randi, Angkasa bergumam sendiri, "Makanya kalau punya pacar diperhatiin. Nggak tau aja pacarnya suka nge-chat dan neleponin cowok lain."

Yang di luar dugaan Angkasa, Randi mendengarnya dan lantas menarik kerah belakang kemeja Angkasa. "Maksud lo apa?!" sentaknya.

Dalam sekejap Angkasa berbalik, membuat Randi melepaskan cengkeramannya. "Sebentar, kok lo marah-marah, sih? Lo pasti lagi ada masalah sama Mona, kan?" balas Angkasa seraya merapikan kerahnya.

"Apa kalau gue lagi ada masalah sama Mona terus jadi urusan lo? Apa lo perlu tau?" Randi masih membalas tak mau kalah.

Angkasa berdengkus. "Itu bukan urusan gue, Mas. Tapi kalau gue dijadiin pelampiasan kemarahan lo gini, itu berarti jadi urusan gue," katanya kemudian benar-benar berlalu meninggalkan Randi. Tanpa dikejar lagi. Tanpa mendengar Randi memberikan balasan.

+ + +

"Raaaa, please, jangan deket sama Angkasa, ya?" kedua tangan Mona saling bertaut di depan wajahnya. Entah ini permintaannya yang keberapa kalinya, yang tidak Dara gubris. "Ra, lo temen gue, kan? Iya, kan?"

Bertahun-tahun mengenal Mona, baru kali ini Dara mendengarnya memiliki permintaan seaneh ini. Memangnya Mona berkesimpulan dari mana kalau Dara dan Angkasa dekat? Lagi pula, sedekat-dekatnya Dara dan Angkasa, mereka hanya dua teman bercerita yang jalan pulangnya searah. Itu hanya sebuah kebetulan yang tidak akan berlanjut ke jenjang seperti Mona dan Randi, atau seperti Mona dan Angkasa dulu.

Jadi apa yang harus Mona khawatirkan?

"Na, lo sama Randi kenapa?" tanya Dara pada akhirnya. Ia menyuapkan takoyaki ke dalam mulutnya. Mona hanya merespons dengan gelengan kepala. "Kalau lo sama Randi nggak kenapa-napa, kenapa lo kayak gini? Mendadak gagal move on?"

Mau tidak mau, Mona mengangguk. "Gue rasa, gue bukan gagal move on, Ra. Tapi emang jauh di dalam hati gue, gue masih sayang sama Angkasa. Randi itu cuma pelarian, Ra. Pelarian."

Dara mengerlingkan matanya. Dulu saat baru jadian dengan Randi, Mona tidak pernah bilang begitu. Pengakuannya adalah Mona ingin mundur karena ia tidak kunjung mendapatkan kepastian dari Angkasa. Tapi kenyataannya, ketika mereka kembali dipertemukan, kenapa pengakuannya seperti ini?

"Ra, lo juga kan tau kalau hampir semua orang di sekitar gue nggak suka sama Randi. Emangnya lo, sebagai teman gue, rela Ra, kalau gue sepenuhnya punya Randi? Lo nggak bakalan bisa jalan sama gue lagi, gue nggak bisa ikut lo, Intan, dan yang lainnya main. Ya ampun, Ra, neraka!"

Dara masih menyimak cemoohan Mona terhadap pacarnya sendiri. Bisa-bisanya Mona bicara begini sekarang? Ke mana dua tahun kemarin ketika Dara dan teman-temannya semua mengingatkan Mona untuk berhati-hati dengan Randi?

"Raaaa...." Kini Mona memelas. Untuk yang kesekian kalinya, Dara hanya menghela napas. "Lo nggak akan jadian sama Angkasa, kan, Ra?"

Dara tidak bisa menjawab. Sampai Mona harus menyadarkan lamunannya, baru perhatian Dara kembali ke Mona.

"Ra, kenapa lo nggak jawab gue?" tanya Mona. Duh, Dara benar-benar tidak bisa melihat sahabatnya memohon dengan memasang wajah memelas seperti ini. "Ra, jangan bilang ... lo suka sama Angkasa?"

Jantung Dara rasanya seperti mau tanggal dari tempatnya. Kenapa Mona menembaknya dengan pertanyaan seperti itu, sih. Susah sekali menjawabnya. Selain karena tidak tahu harus menjawab apa, Dara juga tidak tahu bagaimana sebenarnya perasaannya terhadap Angkasa.

"Na, Angkasa deket sama gue karena pengin deket sama lo. Apa yang lo khawatirin?" balas Dara sambil memaksakan sebuah senyum. Bukan jawaban itu yang ingin dikemukakannya, tapi Dara tidak tahu kenapa hanya itu yang bisa dikatakannya.

Dan jelas, jawabannya membuat senyum Mona melebar selebar-lebarnya. Gadis di hadapan Dara ini tidak bisa membendung rasa senangnya. Isi pikirannya kini hanya satu: yaitu Angkasa pasti akan kembali padanya, cepat atau lambat.

"Tapi gimana dengan Randi?" tanya Dara tiba-tiba, mematahkan semangat Mona dalam sekejap. Kening Mona mengernyit, bingung. "Lo kan masih pacaran sama Randi. Nggak bisa balik ke Angkasa, kan, berarti?"

"Bisa diatur," balas Mona. Senyumnya kembali terbit di wajahnya. "Gue punya banyak alasan untuk putusin Randi."

Dara membelalak. Sebegitu mudahnya? Mona akan menyudahi hubungan dua tahunnya dengan Randi demi Angkasa yang katanya tidak memberikannya kepastian itu?

+ + +

"Mas," panggil Angkasa tanpa mengalihkan pandangannya dari layar televisi. Anggara yang duduk di sebelahnya hanya bergumam. "Menurut lo, gimana hukumnya ngerusak hubungan orang?"

Keduanya kini saling tatap. Anggara lantas mengalihkan perhatiannya dari Mobile Legend sesaat. "Gimana, gimana? Hubungan siapa yang mau lo rusak, Sa?"

Angkasa mengedikkan bahu. "Gue nggak mau ngerusak, sebenernya. Tapi gue ngerasa kayak ... ya, ceweknya ini ngedeketin gue gitu."

Tanpa berbasa-basi, Anggara lantas menyudahi permainannya. Ia berputar sembilan puluh derajat hingga kini duduk menghadap Angkasa. "Sa, tinggal lo aja yang tau diri, sih. Jangan ngeladenin cewek ganjen. Lo emang nggak takut dia ganjen ke cowok lain juga seandainya nanti dia jadian sama lo?"

Angkasa menggeleng. Ia tidak takut hal itu akan terjadi.

"Nggak akan, Mas. Ini Mona," kata Angkasa. "Dia juga yang chat dan telepon gue duluan. Tapi Mas, di sisi lain, gue nggak yakin."

Percakapan mereka mengalir. Satu per satu pertanyaan diajukan oleh Anggara, dan tugas Angkasa malam ini hanyalah menjawabnya, kemudian mendapatkan kesimpulannya sendiri pada akhirnya. Jika Angkasa saja sudah merasa tidak yakin dan merasa dikhianati dengan Mona yang sudah jadian dengan Randi, kenapa sekarang Angkasa harus menepati janjinya untuk jadian dengan Mona?

Apa untungnya? Tapi, bagaimanajika sebenarnya Mona hanya menjadikan Randi pelariannya selama tiga tahunkemarin tidak ada Angkasa di sisi Mona?

Moon and Her SkyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang