9

167 14 1
                                    

Mata Ai sesekali melirik Deo yang sudah stay di kamarnya sejak subuh tadi. Hari ini dia berangkat dan Deo selalu menempel didekatnya.

"Makan sana"

Deo menggeleng memeluk koper besar Ai, "jangan pergi"

Ai tersenyum mendekatinya, Deo melingkarkan tangannya di pinggang Ai dan memeluknya.

"Jangan nakal di sini"

Deo menyandarkan kepalanya di dada Ai, dia belum siap berpisah dengannya. Dia masih mau bersama Ai dimanapun, "gue ikut"

"Ngaco! Lo bentar lagi lulus. Katanya mau gantiin ayah lo, kalau lo ngikut gue yang ada nanti lo jadi gembel"

Ai mengusap wajahnya pelan, sebentar lagi dia akan merindukan wajah datarnya ini. Bagaimanapun Ai tetap menyayanginya sebagai seorang pria, dia khawatir Deo akan melakukan hal buruk jika dalam keadaan hati yang buruk pula. Deo tidak bisa bepikir jernih jika amarah menguasai dirinya.

"Jangan cepat marah De, gue ga ada di sini buat nenangin lo"

"Gue ga bisa nganter lo ke sana, jadwal gue penuh" keluh Deo sangat kesal, ini juga karenanya yang selalu ingin cepat selesai dan bekerja dengan ayahnya hingga tidak memikirkan jika Ai akan meninggalkannya untuk sementara waktu.

"Gapapa, sampai bandara juga udah bersyukur"

"Aisyah! Cepat turun!" Teriak Rizal dari bawah.

Deo berdiri langsung menggenggam tangan Ai erat, Ai menggeret kopernya pelan.

Semua orang sudah ada di sana yang akan mengantarnya pergi, "udah siap?" Tanya Mario yang ikut mengantarnya.

Ai mengangguk berbeda dengan jawaban Deo yang menggeleng, "ayah ga nanya kamu Yo"

"Satu paket"

"Ayah, aku berangkatnya naik motor aja ya?" Ijinnya kepada Rizal.

"Oke"

Deo kembali menarik Ai ke luar rumah dan menuju ke arah motornya, "ini boncengan terakhir gue sebelum pergi" gumam Ai melingkarkan tangannya berpegangan.

Hati Deo terasa sedih mendengar ungkapan Ai seolah ini adalah perpisahan terakhir untuk selamanya dan Deo tidak suka itu.

"Lo akan selalu bisa boncengan sama gue Ai, jangan ngomong gitu."

Ai mengangguk, mereka semua akhirnya berangkat menuju bandara namun tadi Rizal mengintruksi mereka agar pergi ke restaurant terdekat untuk makan. Masih punya banyak waktu untuk ke bandara, Rizal sengaja berangkat lebih awal karena Deo. Dia mengerti anak itu belum siap untuk ditinggalkan, sampai kapanpun Deo tidak akan siap jika ditinggalkan gadisnya.

Deo menjalankan motornya normal, tangan kirinya mengusap tangan Ai bahkan menggenggamnya saat ada di lampu merah.

"Gue bakalan dateng waktu lo wisuda De, jangan sedih"

Deo mengangguk pelan, "dan lo harus bilang dari jauh-jauh hari biar minta cutinya gampang"

"Iya"

Deo menunduk melihat tangan Ai yang memakai jam tangan, "ga biasanya lo pakai jam tangan"

"Lo mau?"

"Ga"

Ai melepaskan jam tangannya lalu menarik tangan kanan Deo dan memasangkannya, "ini buat pengingat kalau setiap waktu gue selalu mikirin lo"

"Ayo jalan" ucapnya lagi melihat lampu merah sudah berganti hijau.

Deo kembali menjalankan motornya, sesekali matanya melirik jam tangan Ai lalu menghela nafasnya.

AIWhere stories live. Discover now