Bab 4. Ibu Pingsan

337 20 0
                                    


Jasmine memberanikan diri mengangkat tangan kanannya. “Pa-pak,” ucapnya dengan suara bergetar.

“Ya, kamu mau jadi wakil ketua kelas? Siapa nama kamu?” tanya Pak Arjuna dengan kilatan kekaguman di matanya saat memandang Jasmine. Selama ini tidak pernah ada yang mau mengajukan diri menjadi wakil ketua di kelasnya. 

Semua mahasiswa langsung memusatkan perhatian mereka kepada Jasmine. Hampir semua mahasiswa langsung mengembuskan napas lega karena sudah pasti bukan mereka yang akan mengemban tugas berat itu.  Ada juga mahasiswa yang kagum dengan keberanian Jasmine. Namun tidak sedikit juga mahasiswa yang kasihan dengan keputusan yang Jasmine buat, terutama mahasiswa angkatan atas yang pernah atau sudah beberapa kali tidak lulus di beberapa mata kuliah yang diajar Pak Arjuna.

Jasmine menggeleng. “Bu-bukan, Pak. Saya mau minta ijin pulang. Ibu saya pingsan ditemukan pingsan di rumah. Ini saya baru dikabarin tetangga yang menemukan ibu saya,” ujar Jasmine sambil mengangkat ponselnya dengan tangan bergetar.

Arjuna terlihat sedikit kecewa sesaat sebelum wajahnya kembali datar. “Ya sudah, kamu boleh pulang. tapi kamu terhitung tidak absen.”

“Baik, Pak. Terima kasih.” Jasmine lekas-lekas membereskan barang bawaannya. Tadi dia sudah menghitung kalau absen 75% berarti dia hanya boleh bolos empat kali. Jadi kalau sekarang tidak dihitung, dia masih punya jatah absen tiga kali lagi. Yang penting sekarang dia harus melihat keadaan ibunya!

“Nar, nanti aku kontek, ya,” ucap Jasmine pelan kepada Nara yang dibalas dengan anggukan kecil. Setelah itu Jasmine melesat keluar dari kelas.

Di lorong terlihat beberapa mahasiswa duduk-duduk. Mungkin mereka menunggu jam kuliah berikutnya atau mereka terlambat datang lalu terusir dari kelas seperti Mita yang terlambat datang tadi.

Dengan kondisi panik, Jasmine mempercepat langkahnya hingga setengah berlari. Tidak terlalu diperhatikannya kondisi sekitar, seperti kebiasaannya kalau sedang panik. Ditambah lagi pandangan matanya buram oleh air mata yang sedang bersiap turun membanjiri pipinya. 

Bruk!

Jasmine tidak sengaja menabrak orang yang sengaja mencegat langkahnya dari depan.

“So-sori, aku ga sengaja,” ucap Jasmine cepat tanpa melihat jelas siapa yang sudah ditabraknya. Dia hanya ingin segera pulang melihat kondisi ibunya.

Saat Jasmine hendak melangkah lagi, dia merasa  lengan kanannya dicekal seseorang.

“Kamu Jasmine, kan? Ada apa? Kok nangis gitu?” Terdengar suara khawatir laki-laki menanyakan keadaannya yang pasti terlihat sangat kacau.

Jasmine mengangkat kepala dan melihat Kak Arga berdiri di hadapannya. “I-ibuku pingsan, Kak,” ucap Jasmine dengan suara bergetar.

“Ya sudah aku antar kamu pulang. Ayok!” Arga menarik pergelangan tangan Jasmine supaya Jasmine mengikuti langkahnya.

“A-aku bisa sendiri, Kak. Aku udah biasa naik bis. Aku ga mau ngerepotin Kak Arga.” Cukup hanya dia saja yang bolos kuliah, tidak perlu mengajak orang lain.

“Lebih cepat naik mobilku, Jasmine. Nunggu bis itu lama. Sudah, deh, ga usah sungkan. Kesehatan ibu kamu lebih penting. Ayo cepat!”

Mendengar penjelasan Arga yang masuk akal, Jasmine pun menurut dan melangkahkan kakinya mengikuti Arga yang sudah jalan terlebih dahulu. Naik mobil pribadi memang pasti akan lebih cepat sampai.

Setelah berjalan beberapa lama, Jasmine baru menyadari kalau Kak Arga masih setia memegang pergelangan tangan kanannya. Jantungnya mendadak berdegup cepat. Jasmine merasa canggung karena ini pertama kalinya dia digandeng seorang pria seperti ini.

Jasmine berusaha menarik tangannya lepas hingga membuat Arga menoleh menatapnya. Raut bingung dan ingin tahu terlihat di wajah Arga.

“Maaf, Kak, tapi aku ga nyaman seperti ini. Ga enak diliatin orang,” ujar Jasmine dengan wajah sedikit memerah karena malu. Dari tadi dilihatnya beberapa mahasiswa memandang tautan tangan mereka dengan penuh rasa ingin tahu.

Arga melihat tangannya yang masih memegang pergelangan tangan Jasmine dan langsung melepaskannya. “Eh, maafin aku, Jasmine. Aku hanya ingin supaya bisa secepatnya mengantarkanmu pulang,” ucap Arga sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. Wajahnya terlihat sedikit memerah.

Keduanya sempat terdiam canggung sebelum akhirnya Jasmine teringat lagi kondisi ibunya. “Mobil, Kak Arga parkir dimana? Yuk, Kak, cepetan.”

**

Rumah kontrakan Jasmine yang terletak di gang sempit membuat Arga terpaksa memarkir mobilnya di jalan depan gang. Setelah itu mereka berjalan kaki bersama menuju rumah Jasmine.

Sebelumnya Jasmine sudah meminta Kak Arga untuk langsung menurunkannya saja di mulut gang. Setelah itu Kak Arga bisa langsung kembali ke kampus. Namun, Arga bersikeras menemani Jasmine menengok kondisi ibunya. Siapa tahu ternyata ibunya Jasmine perlu dibawa berobat ke dokter, jadi bisa langsung dibawa menggunakan mobilnya.

“Permisi, Bu,” ucap Jasmine agak keras sesudah membuka pintu rumah yang tidak terkunci. Arga mengikutinya di belakang.

“Di sini, Jasmine!” teriak Bu Minah, tetangganya, dari arah kamar tidur.

Jasmine bergegas menuju kamar. Dia mendapati ibunya sedang terbaring lemah di atas kasur. Jasmine berusaha menahan air mata yang seperti tidak sabar untuk mengalir keluar. Dia mengedipkan matanya berulang-ulang untuk menghilangkan air mata di pelupuk mata. Dia tidak boleh menangis. Dia harus kuat di hadapan Ibu.

Bu Minah yang sedang duduk di pinggir kasur, berdiri, dan langsung pamit pulang ke rumahnya yang terletak di sebelah kanan rumah Jasmine.

Setelah Bu Minah pergi, Jasmine langsung duduk di pinggir kasur dan memegang tangan ibunya. “Ibu kenapa? Kok bisa pingsan? Pasti kecapekan, deh. Jasmine, kan, sudah bilang kalau capek Ibu istirahat dulu, aja. Jangan memaksakan diri, Bu.”

Ratih, Ibu Jasmine, terlihat tersenyum mendengar rentetan omelan yang keluar dari mulut anaknya. Dia tahu itu karena Jasmine terlalu mengkhawatirkan kondisinya. Jasmine selalu seperti itu setiap mendapati dia sakit. Apalagi sejak ayah Jasmine pergi meninggalkan rumah bertahun-tahun yang lalu dan tidak pernah kembali.

Selama ini setiap badannya terasa kurang enak, dia pasti akan berusaha menyembunyikannya dari Jasmine. Itu lebih baik daripada dia membuat Jasmine khawatir seperti sekarang. Sudah cukup Jasmine membantunya mencari uang sejak kecil, hingga dia tidak bisa bermain bersama temannya seperti anak-anak lain seusianya. Sekarang Jasmine sedang mengejar impiannya dengan berkuliah. Jadi dia tidak boleh sampai mengganggu konsentrasi Jasmine dengan kondisi fisiknya yang belakangan sering sakit.

“Ibu hanya kecapekan saja, Jasmine. Sebentar lagi juga sembuh,” ucap Ratih sambil tersenyum dengan bibir yang agak pucat.

Baru saja Jasmine membuka mulutnya ingin kembali mengomel, saat dia mendengar suara Kak Arga memberi salam kepada ibunya. Ya ampun, dia sampai lupa kalau dari tadi ada Kak Arga!

Wajahnya langsung memerah saat menyadari kalau dari tadi berarti Kak Arga melihatnya mengomel seperti ibu-ibu. Duh, Jasmine jadi malu!

Ratih membalas salam Arga dengan ramah lalu melihat Jasmine dengan wajah ingin tahu yang berusaha ditutupi tapi gagal. Jasmine terlalu mengenal ibunya.

“Siapa itu, Nak? Temanmu?”

Jasmine menunduk krena tidak berani melihat wajah Kak Arga. Duh, responnya bagaimana, ya, setelah melihat Jasmine mengomel seperti tadi? Wajahnya terasa sangat panas seperti baru saja dia memakan cabe sekilo. “I-iya, teman Jasmine. Namanya Kak Arga, Bu. Tadi dia yang mengantarkan Jasmine pulang.”

“Ya ampun, baik banget Nak Arga ini. Jasmine ambilkan kursi untuk Nak Arga duduk, Nak. Masa tamunya dibiarkan berdiri.”

Jasmine beranjak berdiri dari duduknya lalu keluar kamar mencari bangku untuk Arga.

“Tidak usah repot-repot, Bu. Saya berdiri saja. Yang penting sekarang saya lega melihat kondisi Ibu baik-baik saja. Tadi soalnya Jasmine kelihatannya panik banget sampai jalan terburu-buru dan menabrak saya yang sedang menghampiri dia.”

Ratih tersenyum geli. “Ya ampun, ternyata Jasmine belum berubah. Dia memang selalu seperti itu kalau panik, Nak Arga. Ada siapa di sekitarnya juga dia ga sadar. Main tabrak saja kalau jalan.”

Jasmine yang kembali membawa bangku berwarna hijau yang biasa dibawa abang bakso, langsung merengut sebal. “Ih, Ibu, jangan bongkar-bongkar kejelekan Jasmine, dong. Kan, Jasmine jadi malu.”

Ratih dan Arga sontak tertawa.

Di sisa-sisa tawanya, Ratih berkata, “Oh, ya, Jasmine, kamu ada kuliah lagi kan, ya, jam satu?”

Jasmine bingung dengan pertanyaan ibunya. “Iya, Bu. Lalu kenapa?”

“Yah, kamu kembali lagi saja ke kampus. Badan Ibu sudah mendingan, kok. Sayang kuliah kamu, Nak. Nanti beasiswa kamu kalau hilang bagaimana? Ingat, kan, apa syaratnya mempertahankan beasiswa?”

Jasmine sudah menghapalnya di luar kepala jawaban dari pertanyaan Ibu perihal beasiswa. “Ingat, Bu. IPK minimal 2,8 dan lulus kuliah dalam waktu delapan semester.”

“Makanya, sana kamu pergi kuliah lagi. Ibu akan baik-baik saja, Nak.”

Jasmine memprotes ucapan Ratih. “Tapi, Bu. Kan, Ibu baru saja pingsan. Masa Jasmine tinggalin Ibu sendirian di rumah? Mana perjalanan Jasmine dengan bis kan, lama, Bu. Bisa dua jam. Nanti Jasmine pulang sudah menjelang malam. Siapa yang urus Ibu sampai Jasmine pulang?”

Arga yang dari tadi diam melihat percakapan dua generasi perempuan di hadapannya memutuskan untuk ikut berpendapat.

“Bagaimana kalau nanti saya saja yang antarkan Jasmine pulang. Boleh, kan, ya, Bu?”

❤❤❤❤❤

Duh, duh, duh... Arga gerak cepet banget, sih. Uluh uluh...

Kira-kira diterima ga tuh ya sama Jasmine? 😍

Jakarta, 11 Mei 2021

Impian Jasmine (END) Where stories live. Discover now