Bab 25

269 15 2
                                    

Esok harinya Jasmine tidak pergi ke ruangan Pak Arjuna. Tidak ada kuesioner yang diisi jadi untuk apa dia ke sana. Ditambah lagi dia bertekad untuk menghindari Pak Arjuna. Jasmine memutuskan untuk mulai menjaga jarak.

Jasmine duduk di kantin menunggu Nara seperti biasa. Beberapa bangku kosong mulai terisi walaupun tidak banyak. Para pedagang juga belum semuanya buka. Jasmine melihat tukang bubur masih membereskan gerobak jualannya. Kantin yang menjual nasi dengan sayur yang dipilih sendiri juga sedang menuangkan sayur jadi di piring-piring kaca.

Jasmine memang bodoh. Dia tidak perlu datang ke ruangan Pak Arjuna tapi tetap datang sepagi biasanya. Mungkin karena sudah terbiasa atau mungkin untuk menghindari pertanyaan ibunya.

Setiap malam seperti biasa, ibunya selalu mengajaknya mengobrol. Biasanya Jasmine akan dengan senang hati langsung bercerita mengenai kegiatannya selama seharian. Mulai dari kuliah, mengambil data kuesioner untuk hukuman Pak Arjuna, lalu juga kejadian di tempat kerja.

Namun, kemarin Jasmine sengaja menghindar untuk bercerita kejadian di mall bersama Pak Arjuna dan ibunya tahu itu. Entah apakah insting seorang ibu memang begitu tajam, ya?

Yang jelas setelah kejadian Pak Arjuna mengatakan dia tidak mau kehilangan Jasmine, aura kecanggungan langsung terasa begitu pekat.

Jasmine pura-pura tidak tahu dengan terus melihat popcorn yang ada di pangkuannya seakan di dalamnya ada sebuah film menarik yang sedang diputar. Pak Arjuna sendiri memutuskan untuk pergi ke toilet. Katanya, sih, karena film sudah mau dimulai.

Di dalam ruangan bisokop, mereka juga menonton dalam diam seakan mereka berdua adalah orang asing yang tidak saling mengenal. Namun meskipun demikian, Pak Arjuna masih melakukan hal-hal yang menurut Jasmine manis.

Saat film selesai diputar, Jasmine memutuskan untuk langsung keluar. Namun, itu merupakan keputusan yang salah. Semua orang ternyata berpikiran sama seperti Jasmine. Mereka terpaksa harus berdesakan keluar. Saat itu tubuh Jasmine sempat terdorong-dorong ke kiri dan kanan, hingga akhirnya Pak Arjuna menariknya ke belakang tubuhnya.

“Jasmine, kamu berpegangan pada saya, ya.”

“Tapi, Pak-“                             

“Sudah jangan membantah atau kamu akan terus terjepit orang-orang.”

Saat itu Jasmine akhirnya menurut. Dia menempel ketat di belakang Pak Arjuna. Tangannya memegang erat baju bagian punggung. Saat itu tercium harum parfum Pak Arjuna yang mampu memberinya ketenangan. Karena tubuh tinggi Pak Arjuna, Jasmine tidak bisa melihat apa-apa di depan. Yang dia tahu, tak lama kemudian mereka berhasil keluar.

“Jasmine, kita makan dulu, ya. Setelah itu baru saya antar kamu pergi bekerja.”

“Tapi, Pak-“

“Sekali lagi kamu berkata ‘tapi, Pak’, saya kasih kamu piring.”

Jasmine yang bingung dengan makna dari ucapan Pak Arjuna terdiam mematung. Saat dia sudah paham, senyuman geli terbit di bibir Jasmine. Pak Arjuna ternyata orangnya lucu juga.

“Jasmine, perihal ucapan saya tadi tidak usah kamu pikirkan, ya. Anggap saja itu tidak pernah terjadi. Kamu adalah mahasiswa saya, jadi saya tidak mungkin melanggar kode etik dengan melangkahi batas antara dosen dan mahasiswanya. Saya harap kamu paham,” ucap Pak Arjuna saat mereka menunggu pesanan makanan mereka diantarkan.

Mendengar itu perasaan Jasmine campur aduk. Di satu sisi dia kesal. Kata-kata Pak Arjuna seakan menyalahkan Jasmine kalau dia sampai salah paham. Padahal yang berucap juga Pak Arjuna! Di sisi lain dia lega kalau Pak Arjuna ternyata tidak seperti yang Jasmine duga. Sayangnya di sudut hati Jasmine muncul juga secuil rasa sedih, yang berusaha dia anggap tidak ada.

Jasmine terlonjak saat merasakan tepukan di bahunya. “Hei!” seru Nara. “Kok melamun aja?”

“Naraaaa!!!” teriak Jasmine kesal. “Jangan suka ngagetin gitu, dong!”

Nara hanya tertawa-tawa lalu membuka kotak bekal Jasmine yang ada di atas meja. “Wah, ada kue lapis basah!” seru Nara dengan wajah berbinar-binar. Nara lekas-lekas memasukkan kue berwarna merah muda dan putih itu ke dalam mulut. “Duh, ini enak banget, Jasmine,” ucapnya dengan wajah keenakan. “Pokoknya kalau aku nanti jadi gendut itu karena salah kamu.”

“Dih, yang suruh ambil bekalku setiap hari, tuh, siapa?” tanya Jasmine dengan wajah sewot.

Nara hanya tertawa-tawa. Setelah menghabiskan dua potong, Nara berkata, “Jas, kemarin kemana?”

Jasmine tersentak. Dia bimbang antara ingin jujur atau berbohong mengenai kejadian kemarin. Akhirnya dia memutuskan untuk jujur saja. Toh, kata Pak Arjuna juga di antara mereka tidak ada apa-apa.

“Kemarin aku dibohongin sama Pak Arjuna. Bikin kesel aja!”

Mata Nara melebar karena terkejut. “Hah? Dibohongin apaan?”

Jasmine lalu bercerita tentang niat awalnya untuk tidak mengambil data lalu Pak Arjuna mengajaknya ke mall untuk nonton bioskop dan makan. Jasmine juga bercerita mengenai dia yang menemukan anak hilang, tapi Jasmine sedikit mengurangi bagian sikap dan kata-kata Pak Arjuna yang bisa menimbulkan salah paham.

Nara memandang Jasmine sambil menyipitkan matanya curiga. “Kamu yakin ceritanya cuma segitu doang? Masa Pak Arjuna enggak panik liat kamu ilang? Ga mungkin! Pasti ada yang kamu tutupi.”

Jasmine menghela napas panjang. Padahal dia belum lama berteman dengan Nara, tapi Nara sudah mengenalnya dengan baik. Rasanya sulit menyimpan rahasia dari Nara.

Akhirnya Jasmine memutuskan untuk jujur saja daripada diberondong pertanyaan oleh Nara terus-menerus. Lagipula dia butuh untuk membaginya dengan orang lain untuk megurangi beban hatinya.

“Ya udah aku ceritakan versi lengkapnya, ya. Tapi jangan cerita ke siapa-siapa lagi.”

Setelah itu Jasmine bercerita dengan suara berbisik.

“APA??”

Jasmine cepat-cepat membekap mulut Nara dengan telapan tangannya. “Ish, jangan ribut dong, Nar. Bikin malu aja,” ucap Jasmine kesal. Dilihatnya beberapa orang memandang ke meja mereka dengan raut wajah penasaran yang begitu kentara.

Nara memukul-mukul tangan Jasmine yang menutup mulutnya. Setelah itu dia cepat-cepat menarik napas panjang dengan muka memerah. “Gila, kamu, Jas. Aku sampe susah napas,” omelnya sambil terengah-engah seperti habis dikejar anjing.

Jasmine meringis. “Sori, Nar.”

Setelah napas Nara mulai normal, dia mulai menyampaikan pendapatnya. “Pak Arjuna bener-bener bilang begitu? Ga mau kehilangan kamu, gitu?”

Jasmine menganggukkan kepala dengan semburat merah di pipinya.

“Kalau begitu kayaknya Pak Arjuna beneran suka kamu, deh.”

Jasmine menggeleng kuat. “Tapi, kan, dia bilang sendiri kalau artinya ga kayak gitu. Malah aku dibilang jangan salah paham, kan. Udahlah, Nar, jangan mengada-ada.”

Nara hanya menggeleng melihat denial yang dilakukan Jasmine.

“Lagian, kenapa, sih, Jas, kalo Pak Arjuna beneran suka kamu?” tanya Nara dengan tatapan menyelidik.

“Pertama, dia dosen. Kedua, dia umurnya beda belasan tahun sama aku. Ketiga, aku enggak suka dia. Keempat, aku mau fokus kuliah.”

Nara rasanya gemas mendengar alasan-alasan yang dikemukakan oleh Jasmine. “Alasan pertama kamu enggak kuat, soalnya aku pernah denger ada, kok, mahasiswa yang menikah dengan dosen. Kedua, beda belasan tahun memangnya kenapa? Ketiga, aku rasa kamu hanya denial. Sebetulnya, kamu mulai suka kan sama dia? Lalu yang terakhir, memangnya enggak bisa pacaran sambil kuliah? Rasanya Pak Arjuna cukup bijaksana untuk tidak mengganggu kuliah kamu. Jangan bilang sebetulnya ada alasan lain yang kamu tidak mau akui ke aku.”

Perkataan Nara memukul telak pembelaan Jasmine. Jadi apa sebetulnya alasan utama Jasmine? Kenapa dia merasa takut bahkan hanya untuk menyukai seorang laki-laki?

Rasanya Jasmine jadi bingung sendiri.  

Impian Jasmine (END) Where stories live. Discover now