Bab 5. Arga Gercep

309 19 1
                                    


Jasmine melongo mendengar pertanyaan Arga. Kok, malah jadi begini?

Binar kebahagiaan terlihat di mata Ratih. “Apa tidak merepotkan Nak Arga? Nanti Nak Arga capek, lho, bolak-balik. Rumah Ibu, kan, jauh dari kampus kalian.”

Arga tersenyum lebar sambil menggelengkan kepala. “Enggak apa-apa, Bu. Ga ngerepotin, kok. Tiap hari juga saya mau anter jemput Jasmine. Tentunya atas seijin, Ibu.”

Ratih tertawa mendengar ucapan Arga. Dia paham kalau Arga memiliki perhatian khusus terhadap Jasmine. Dalam hati Ratih memuji keberanian Arga yang langsung meminta ijin secara tidak langsung kepadanya untuk mendekati Jasmine, putri satu-satunya. Tidak banyak anak muda yang sopan seperti Arga.

“Kalau Ibu, sih, terserah Jasmine saja.”

Melihat interaksi antara Ibu dan Kak Arga membuat Jasmine bingung. Padahal orang yang mereka bicarakan ada di sini. Kenapa Jasmine merasa seperti diabaikan, ya? Lagipula Kak Arga aneh. Kenapa dia mau antar jemput Jasmine? Saudara juga bukan.

“Jas... Jasmine.”

Jasmine tersadar dari lamunannya saat mendengar panggilan dari ibunya berulang kali. “E-eh, iya. Tadi ngomong apa, Bu?” jawab Jasmine gelagapan.

Ratih menggeleng pelan melihat tingkah laku anaknya. “Ini, lho, dari tadi Nak Arga nanyain kamu. Mau ga kamu diantar jemput setiap hari ke kampus?”

Jasmine berpikir sebentar sebelum menjawab, “Enggak usah, Bu. Jasmine ga mau repotin siapa-siapa. Lagian jadwal kuliah Jasmine sama Kak Arga beda. Jasmine naik bis saja, ya, kayak biasa.”

Kepala Jasmine menoleh ke arah Arga. Dengan ekspresi menyesal, Jasmine mengangkupkan kedua tangan di depan wajah sambil menjawab, “Maaf banget, ya, Kak. Tapi aku enggak bisa.”


“Iya, aku gapapa, kok. Santai aja, ya.” Mulut sih bilang tidak apa-apa, tapi sejujurnya Arga merasa kecewa karena salah satu cara pendekatannya ke Jasmine gagal.

“Kak, aku mau suapin Ibu makan dulu. Apa Kak Arga mau balik duluan ke kampus?”

Arga tersenyum lebar. “Gapapa nunggu kamu aja sekalian.”

Setelah itu Jasmine mengambilkan ibunya makanan, nasi putih hangat dengan tempe goreng. Tak lupa Jasmine juga mengambilkan Ibu segelas air. Selesai makan, Ratih langsung mendorong Jasmine untuk segera pergi kuliah. Dengan berat hati Jasmine menurut. Ibunya benar, dia tidak boleh kehilangan beasiswa. Impiannya dipertaruhkan di sana.

Di tengah perjalanan kembali ke kampus, Arga mengajak Jasmine untuk makan dulu. Kebetulan masih ada waktu beberapa jam sebelum kuliah Jasmine dimulai. Merasa berhutang budi karena Arga telah mengantarkannya pulang, Jasmine mengiyakan ajakan Arga. Mereka pun memutuskan untuk makan di plaza yang terletak di samping kampus. Jadi selesai makan, Jasmine bisa langsung pergi kuliah.

“Mau makan apa, Jasmine?” tanya Arga saat mereka sudah duduk di area Restoran Laria, yang menyediakan beragam menu makanan khas Indonesia. Jasmine memilih tempat duduk di bagian luar sehingga bisa sambil melihat orang yang lalu lalang.

Jasmine melihat kertas menu di tangannya. “Aku mau nasi goreng cabe ijo saja, Kak.”

“Wah, kamu pecinta nasi goreng, ya? Sama dong. Kalau gitu aku pesen nasi goreng juga, tapi nasi goreng seafood aja. Soalnya aku ga suka pedes.”

Jasmine tersenyum mendengar ucapan Kak Arga. Dalam hatinya, Jasmine kagum dengan sifat Arga yang apa adanya. Kak Arga bahkan tidak malu untuk mengakui kalau dia tidak doyan masakan pedas. Bagi sebagian orang, tidak bisa memakan makanan pedas itu memalukan. Namun, tentu saja Jasmine tidak berpikiran sempit seperti itu. Dia berusaha menghargai semua orang dengan keunikannya masing-masing.

“Nasi goreng itu makanan paling lengkap menurut aku. Kenyangnya dapet, enaknya dapet, trus masaknya ga ribet.”

Arga tertawa. “Betul juga, ya. Apalagi orang Indonesia itu kalo ga makan nasi rasanya belum kenyang. Jadi nasi goreng adalah makanan yang paling pas.”

Sembari menunggu makanan mereka datang, Arga banyak bercerita soal dosen-dosen dan cara mengajar mereka. Arga ternyata lebih tua dua tahun daripada Jasmine. Jadi paling tidak dia sudah lebih dulu mengalami diajar oleh berbagai macam dosen. Hal ini menggelitik Jasmine untuk bertanya tentang Pak Arjuna. Apa betul semua rumor yang pernah dia dengar itu?

“Kak, aku boleh tanya ga?” tanya Jasmine dengan suara pelan sambil melihat ke kiri dan kanan. Jasmine ingin memastikan kalau orang yang akan menjadi objek pembicaraan mereka tidak ada di sana.

Arga mengangguk sambil tersenyum. “Tentu. Kamu mau nanya apa?”

Tangan kiri Jasmine memutar-mutar gelang kain di pergelangan tangan kanannya. “Ehm, itu lho, Kak. Soal Pak Arjuna. Apa dia betul-betul dosen killer?”

“Betul! Di antara semua dosen, dia yang paling kejam. Biasanya di kelas yang dia ajar, hanya setengah mahasiswa yang lulus. Itu pun dengan nilai C.” Arga mengerutkan keningnya sejenak untuk berpikir. “Rasanya tidak pernah ada yang dapat nilai A, deh. Kalau nilai B kadang ada, tapi itu juga biasanya mahasiswa yang memang pinter banget. Jadi jumlahnya ga banyak. Masalahnya mata kuliah Psikologi Umum yang diajar Pak Arjuna, tuh, lima SKS. Jadi kalau sampe ga lulus, akan pengaruh banget ke nilai IPK.”

Jasmine langsung merasa ngeri mendengar penjelasan Arga. Duh, kok serem banget. Apa bisa dia lulus mata kuliah Pak Arjuna? Namun, Jasmine cepat-cepat menghapus rasa tidak percaya diri yang mendadak muncul di dalam hatinya. Pokoknya dia harus berjuang yang terbaik dulu.

Ingat Jasmine! Nilai IPK tidak boleh dibawah 2,8 atau kamu akan kehilangan beasiswa!

Namun, Jasmine masih penasaran. “Kok bisa sih, Kak, nilainya semua jelek begitu? Apa semua dosen memang nilainya begitu juga?” tanya Jasmine cemas.

“Tenang. Dosen lain enggak. Cuma Pak Arjuna yang begitu. Itu sebabnya Pak Arjuna disebut dosen killer. Dia itu pelit nilai. Padahal kita udah ngerjain tugas sesuai permintaan dia, tapi nilainya selalu jelek. Kayaknya ada aja kesalahan kita di mata dia. Belum lagi peraturannya yang super ketat. Udah denger, kan?”

Jasmine mengangguk. “Iya, kemarin Mita sampai diusir keluar dari kelas hanya karena datang terlambat.”

Arga terkejut mendengar ucapan Jasmine. “Oh, ya? Padahal itu kan hari pertama kuliah.”

“Nah, iya. Pasti Mita ga tahu, kan, peraturannya seperti itu. Kasian,” ucap Jasmine iba. “Tapi, Kak, kalau dosen lain memangnya ga seketat Pak Arjuna peraturannya?”

“Enggak. Telat lima belas menit kita masih boleh masuk ke kelas, kok. Nilainya juga baik-baik. Malah ada yang asal kita mengerjakan tugas, ikut ujian, nilainya pasti A.”

“Wah, keren banget, tuh, Kak.”

“Makanya kita tukaran nomor telepon, supaya bisa kirim-kiriman WA.” Arga menyodorkan ponselnya supaya Jasmine bisa mengetikkan nomor teleponnya di sana. “Nanti aku kasih tahu dosen mana saja yang baik. Jadi semester depan kamu bisa memilih dosen yang baik-baik, saja. Kan, satu mata kuliah kadang diajar oleh beberapa dosen berbeda.”

Jasmine mengangguk untuk membenarkan ucapan Arga. Jasmine lalu mengambil ponsel yang disodorkan dan mengetikkan nomornya di sana.

Begitu dia selesai mengetik, makanan mereka datang dan percakapan tentang Pak Arjuna dihentikan. Takutnya makan sambil bahas dosen killer itu bisa merusak nafsu makan.

Sayangnya, tak disadari oleh mereka, dari tadi ada yang memperhatikan mereka dari restoran yang terletak di seberang restoran mereka.

Selesai makan, Arga meminta Jasmine menunggu di restoran karena dia mendadak sakit perut. Rencananya nanti mereka akan berjalan bersama ke kampus. Sambil menunggu, Jasmine memainkan ponselnya. Kebetulan restoran menyediakan jaringan wifi gratis. Jadi Jasmine kan bisa buka-buka tik tok tanpa memakai kuotanya.

Jasmine mengulum senyum saat melihat pria berperut besar sedang menari sambil menggoyang-goyangkan perutnya.

Tiba-tiba terdengar suara sinis dari samping kanannya. “Katanya ibumu jatuh pingsan? Ternyata kamu meninggalkan kelas hanya untuk kencan?”

❤❤❤❤❤❤

Ah, Jasmine kepo deh nanya2 soal Arjuna 🙈🙈🙈

Jakarta, 13 Mei 2021



    





Impian Jasmine (END) Where stories live. Discover now