Bab 33

276 14 2
                                    

“Jadi Pak Arjuna tau-tau menghubungiku lewat WA. Dia memanggilku ke ruangannya, dengan pesan tidak boleh memberi tahu kamu, Jas.”

Jasmine terlihat penasaran. “Terus?”

“Pak Arjuna menanyaiku kejadian di hari dia menerima pesan tidak senonoh dari ponsel kamu. Kan di dia ada jamnya kapan pesan itu terkirim. Nah, dia nanya apa ada yang aneh di hari dan jam itu.”

Ingatan Jasmine lari kembali ke hari nahas itu. “Oh, iya, aku inget. April tiba-tiba mengajakku mengobrol di toilet. Padahal biasanya dia tidak pernah mengajakku mengobrol. Lalu aku menceritakannya ke kamu, Nar.”

“Nah, hari itu aku tiba-tiba dicegat oleh Kania saat sedang berjalan menuju kelas. Dia menanyakan soal kondisi ibu kamu, dan hal-hal lain. Dia baru berhenti mengajakku mengobrol saat ponselnya berbunyi.”

“Iya, sama. April juga begitu!” seru Jasmine.

“Aku menceritakan semuanya itu ke Pak Arjuna. Ketika aku keluar dari ruangannya, aku melihat beberapa mahasiswa angkatan kita menunggu di luar. Katanya mereka dipanggil juga oleh Pak Arjuna. Dan setauku, ada satu lagi cara pembuktian yang dilakukan oleh Pak Arjuna. Cuma Pak Arjuna ga kasih tau ke aku, Jas. Kamu kalau mau tau, langsung tanya sendiri, ya. Sekalian kamu kasih tau soal perasaan kamu itu.”

Jasmine langsung menggeleng. “Enggak, ah. Aku malu, Nar.”

Nara merasa jengkel luar biasa melihat kelakuan Jasmine. “Ih, anak ini. Saat dituduh mengirim pesan senonoh, kamu berani melawan Pak Arjuna dengan argumen kamu. Padahal dia terkenal sebagai dosen killer yang kejam. Masa sekarang kamu bela perasaan sendiri aja enggak berani?”

Jasmine terdiam dan meresapi saran Nara.

“Atau kamu rela Pak Arjuna direbut sama dia?” Nara menunjuk Pak Arjuna yang sedang berjalan masuk ke kantin bersama perempuan cantik yang kemarin mereka lihat. Sesudah membungkus makanan, mereka berdua berjalan keluar kantin.

Hati Jasmine merasa tidak rela. Apalagi Pak Arjuna terlihat tertawa-tawa bersamanya. Di depan Jasmine saja Pak Arjuna tidak seramah itu. Bikin kesal saja!

Jasmine lalu menelaah kembali hatinya untuk menentukan langkah selanjutnya. Benar seperti yang Nara bilang. Jasmine selalu berprinsip kalau dia tidak salah kenapa harus takut. Namun, sekarang Jasmine harus bagaimana? Masa dia langsung datang ke ruangan Pak Arjuna begitu saja? Apa yang harus Jasmine lakukan?

Tiba-tiba sebuah ide muncul di kepalanya. Dia memutuskan untuk mengirim pesan WA saja!

Jasmine mengetikkan sesuatu di ruang mengobrol lalu menghapusnya. Menulis lagi lalu dihapus lagi. Entah sudah berapa kali tulis-hapus ini dia lakukan.

Berbagai macam pikiran bermunculan di otaknya. Bagaimana kalau nanti Pak Arjuna tidak mau membacanya? Bagaimana kalau nanti Pak Arjuna sudah menyukai wanita lain? Dan banyak bagaimana yang lainnya.

Melihat awan mendung menutupi langit, memberikan Jasmine sebuah ide pesan yang akan dia kirim. “Pak, langit mendung. Saya mau pergi kerja tapi enggak bawa payung. Kata Bapak, kan, saya disuruh minta bantuan Bapak setiap hujan. Saya selesai kuliah jam 2 siang. Saya tunggu di kantin sampai jam 4 sore, ya, Pak.”

Melihat tingkah Jasmine membuat Nara tidak sabaran. Nara merebut ponsel Jasmine, membaca isinya lalu menekan tombol kirim.

Jasmine terkesiap lalu berusaha merebut kembali ponselnya. Jantungnya berdebar saat melihat pesan tersebut sudah terkirim tapi belum terbaca.

“Awas, jangan berani-berani kamu hapus pesan itu atau aku enggak mau jadi teman kamu lagi,” ancam Nara yang gemas sekali dengan sikap Jasmine yang malu-malu tapi mau.

Baru kali ini Jasmine tidak konsentrasi mendengarkan materi yang diberikan dosennya. Tangannya berkali-kali memegang tas ponsel, berharap ada getaran yang menandakan pesan masuk. Beberapa menit sekali, Jasmine akan mengintip sedikit layar ponsel untuk melihat apakah ada notifikasi pesan masuk dari Pak Arjuna

Nara tertawa geli melihat kelakuan Jasmine yang terlihat gelisah.

Sesudah kuliah Jasmine memeriksa sekali lagi layar ponselnya lalu berdesah kecewa. “Nar, sampai saat ini Pak Arjuna belom baca pesen aku. Udah, ah, aku enggak mau berharap lagi. lebih baik aku berangkat kerja pakai bus aja.”

“Hujan gede kayak gitu?” Nara menunjuk hujan deras yang terlihat dari jendela kelas. “Nanti kalau kamu sakit gimana? Udah mending sekarang kita ke kantin. Kan, janjiannya di situ.”

Jasmine pun setuju dengan ide Nara. Mereka berdua berjalan meninggalkan kelas menuju kantin. Di sana Jasmine mengedarkan pandangannya dan tidak menemukan sosok Pak Arjuna.

Raut kesedihan memenuhi wajah Jasmine.

Nara berusaha membesarkan hati Jasmine.  “Tenang, Jas. Masih ada dua jam lagi. Mungkin Pak Arjuna lagi sibuk. Sambil menunggu, aku traktir makan, ya. Kamu mau makan apa?”

Jasmine menggeleng. Menanti dengan perasaan tak menentu seperti ini membuat perutnya terasa mulas. “Aku titip es teh manis saja, Nar.”

Nara memberikan jempolnya sesudah itu dia melesat pergi. Tak lama dia kembali dengan semangkuk bakso dan es teh manis pesanan Jasmine. “Kamu yakin mau melewatkan bakso kesukaan kamu ini?” tanya Nara sambil tersenyum jahil. “Makan aja beberapa, Jas. Entar kamu mau kerja, lho.”

Merasa Nara benar, Jasmine mengambil garpu lalu menusuk bakso dan memasukkannya ke mulut. Jasmine hanya sanggup memakan tiga butir saja karena tegang yang semakin memuncak.

Jam di ponselnya menunjukkan jam tiga dan tanda di pesan WA masih centang dua berwarna abu-abu, yang artinya sudah terkirim tapi belum dibaca.

“Nar, hujan sudah mulai reda, nih. Aku pergi sekarang saja, ya. Aku takut terlambat. Kalau cuaca hujan gini, jalanan suka macet. Belum lagi kalau ada genangan air yang cukup tinggi di beberapa ruas jalan. Takutnya aku terlambat lagi dan mendapat surat peringatan yang kedua.” Jasmine mulai beralibi.

Yang sebenarnya Jasmine tidak sanggup lagi berada dalam ketidak pastian seperti ini. Iya kalau dia diterima, bagaimana kalau dia ditolak? Sudah menunggu lama lalu ditolak itu rasanya pahit!

“Baru juga jam tiga, Jas. Janji itu harus ditepati. Kan di pesan WA tadi kamu tulis jam empat. Enggak boleh gitu dong.”

Jasmine merasa sebal dengan Nara yang menurutnya kurang pengertian sebagai teman. Apa Nara enggak tau kalau Jasmine takut jantungnya lama-lama bisa copot karena terlalu cepat berdetak? Belum lagi telapak tangan dan kakinya terasa dingin. Gelang kain Jasmine juga lama-lama bisa putus kalau diputar-putar terus.

“Ya sudah, pokoknya aku tunggu sampai jam setengah empat saja. Toh, Pak Arjuna juga belum tentu baca. Kan, dia sibuk, Nar. Bagaimana kalau aku sudah menunggu lama trus dia tetap ga datang? Nanti yang ada kerjaanku terancam hilang. Mau makan apa aku kalo enggak bekerja,” ucap Jasmine sebal.

“Ya udah, sampe jam setengah empat, ya, Jas. Jangan kabur kamu.”

“Iya, Nar. Paling nanti aku kirimin pesan saja kalau aku sudah jalan duluan karena hujannya sudah reda. Jadi Pak Arjuna ga usah bingung nyariin aku ke kantin lagi.”

Nara tersenyum menggoda. “Ciee.. yang perhatian.”

“Yah, bukan begitu juga. Udah, ah, Nara. Dari tadi kamu godain aku terus. Mendingan sekarang kita ke toilet dulu, yuk. Aku kebelet buang air kecil, nih. Nanti juga jam setengah empat bisa langsung lari.”

Nara mengangguk lalu bersama-sama mereka berjalan ke toilet. Yang tidak Jasmine sadari, di tempat lain ada seseorang yang baru saja selesai rapat dosen. Dia membuka ponsel dan kaget saat mendapati ada pesan dari Jasmine.

Impian Jasmine (END) Where stories live. Discover now