Bab 8

237 16 2
                                    

Dalam keterpakuan, Jasmine mencerna kata-kata Mita yang mendadak muncul di depannya dan menghalangi langkahnya. Duh, padahal Jasmine sedang dikejar waktu.

“Maksud kamu apa, sih, Mita? Lagian kamu tanya langsung saja ke Kak Arga. Kenapa kamu tanyanya ke aku? Udah, ah, aku mau pergi. Tolong kamu geser.”

Mita merentangkan kedua tangannya dan kembali menghalangi langkah Jasmine. “Aku belum selesai bicara,” ucapnya geram. Mita merasa Jasmine tidak ada bagus-bagusnya dibandingkan dia. Kok bisa, sih, Arga terus mendekatinya? Padahal Mita sudah berkali-kali menyatakan suka kepada Arga sejak SMU dan terus ditolak. Dia bahkan masuk kuliah psikologi di kampus ini demi mengikuti Kak Arga!

Jasmine berpura-pura melihat jam sebelum berkata, “Tapi aku buru-buru, Mit. Aku ga ada waktu buat ngomongin masalah Kak Arga. Udah, ya, aku pergi dulu.”

Setelah itu Jasmine langsung melesat pergi meninggalkan Mita. Dari pada mengurusi masalah Mita, lebih penting melamar kerja. Jasmine butuh uang secepatnya demi Ibu.

Mita yang kesal ditinggal Jasmine mengentakkan kakinya kemudian dia berbalik badan dan terkejut saat melihat Kak Arga sudah berdiri di hadapannya. Sejak kapan Kak Arga berdiri di sana?

“Ka-kak Arga. Ngapain di sini? Cari Mita, ya?” tanya Mita sambil berusaha menutupi keterkejutannya. Duh, Kak Arga dengar tidak, ya, kata-katanya ke Jasmine? Mita kan malu.

Arga melihat Mita dengan tatapan kecewa. “Kenapa kamu melakukan itu ke Jasmine, Mita?”

Mita yang merasa terpojok mengeluarkan isi hatinya, kesedihannya. “Aku menyukai Kak Arga sejak SMU. Tapi Kak Arga malah sekarang mengejar-ngejar Jasmine. Tidak bisakah Kak Arga menyukai aku saja daripada Jasmine?” ibanya dengan wajah memelas.

Arga menggeleng perlahan. “Aku sudah berulang kali mengatakan kalau aku hanya menganggap kamu adik, Mit. Tolong cari pria lain saja yang lebih baik dari aku. Lalu aku mohon mulai sekarang tolong jangan mengganggu pendekatanku ke Jasmine.”

Setelah itu, Arga pergi meninggalkan Mita yang di dalam hatinya penuh dengan perasan marah, sedih, kesal, dan patah hati. Apa, sih, bagusnya Jasmine sampai Kak Arga membelanya begitu?

Mita bertekad akan mengerjai Jasmine untuk memberinya pelajaran!

**

Jasmine berdiri di depan sebuah bangunan berwarna coklat. Plang nama Kafe Kita terpasang di bagian atas pintu. Jasmine mengembuskan napas untuk mengurangi ketegangan. Setelah itu tangannya terulur untuk mendorong pintu.

Udara dingin langsung menerpa kulitnya lembut dan harum kopi langsung memenuhi indra penciumannya. Sungguh perpaduan yang meningkatkan mood Jasmine seketika. Pandangannya menelusuri interior dalam kafe yang serba kayu.

Jendela besar memenuhi setiap dinding yang bersisian dengan jalan, sehingga setiap orang akan bisa melihat pemandangan lalu lalang pejalan kaki di luar. Lantainya semua terbuat dari kayu berwarna coklat yang menambah suasana homey. Ditambah lagi meja dan kursi dengan warna yang senada dengan lantai.

Suara lagu mengalun lembut dari pengeras suara seharusnya bertujuan untuk membuat siapa pun orang yang datang akan merasa rileks. Namun, ketegangan Jasmine sayangnya tetap tidak bekurang.

Dengan langkah perlahan, Jasmine melangkahkan kakinya ke sebelah kiri, menuju rak pendingin tempat memajang kue, yang sebelahnya terdapat meja kasir, lalu meja pembuat kopi. Dilihatnya ada punggung seorang pria yang sedang sibuk meracik kopi untuk pembeli.

“Permisi,” ucap Jasmine dengan suara pelan. Sedangkan tangannya sibuk memainkan gelang kain.

Pemuda itu membalikkan badan, mengelap tangannya yang basah ke celemek coklat yang dipakainya, sebelum memandangnya dengan wajah ingin tahu. Janggut tebal memenuhi dagunya.

“Ada yang bisa dibantu?”

“Saya mencari Pak Deryl, pemilik kafe ini.”

Pemuda di depannya mengerutkan kening sebelum berkata, “Ada keperluan apa, ya?”

Jasmine merutuki kebodohannya. Dia lupa memberi tahu tujuannya datang ke sini. Dia bahkan lupa menyebutkan namanya.  “Oh, saya Jasmine, teman Nara. Saya mau melamar pekerjaan. Katanya saya bisa wawancara hari ini.” Tangannya terus memainkan gelang kain untuk menyalurkan kegugupannya.

Tiba-tiba dari sebelah kanan muncul seorang gadis yang kelihatannya hanya lebih tua beberapa tahun dari Jasmine. Dia berdiri tepat di sebelah pemuda itu lalu menepuk bahunya keras. Senyum geli tersungging di bibirnya. “Udah, sih, Bos. Jangan dikerjain terus anak orang.”

Pemuda itu langsung tertawa keras. Sesudah itu dia mengulurkan tangannya. “Kenalin, nama saya Deryl. Calon bos kamu, tentunya kalau kamu diterima.” Deryl mengedipkan sebelah matanya.

Gadis tadi mencibir ucapan Deryl. “Halah, sok gaya banget, deh, si Bos.” Gadis itu mengulurkan tangan kanannya. “Kenalin, nama aku Sonia. Dan kamu diterima! Ya, kan, Bos?”

Jasmine melongo. Sebetulnya yang punya kafe siapa, sih?

Sonia terbahak melihat kebingungan Jasmine. “Jadi gini, kafe ini sedang kekurangan tenaga kerja. Jadi kalau sampai kamu ga diterima sama Pak Bos, aku mau berhenti aja.”

Deryl pura-pura memasang wajah sedih. “Duh, nasib aku gini banget, ya. Katanya bos tapi sering ditindas sama bawahan sendiri.”

Sonia mengibaskan tangannya. “Ga usah banyak gaya, deh, Bos. Sok jadi korban gitu. Mentang-mentang ada cewek muda cantik di depan muka.”

Deryl memutuskan menyudahi sandiwaranya dan tertawa geli mendengar kata-kata Sonia. Duh, gemesin banget sih karyawannya yang satu itu.

“Iya, iya, aku terima dia kerja.” Setelah itu Deryl menoleh ke arah Jasmine. “Nama kamu Jasmine, kan, tadi? Kapan kamu bisa mulai bekerja? Hari ini bisa?”

Jasmine yang sempat terdiam takjub cepat-cepat menjawab. “I-iya, saya bisa.”

“Oke, aku tinggal ke dalem dulu, ya. Son, kamu jelasin kerjaan dia apa aja trus kamu kasih celemeknya.”

Selepas kepergian Deryl, Soni menjelaskan ke Jasmine kalau satu pegawai, khusus shift malam, mendadak berhenti kerja beberapa hari yang lalu. Alasannya ibunya sedang sakit keras di kampung. Jadi Sonia kerepotan. Apalagi letak kafe ini dekat kampus, jadi suka ramai kalau malam.

Setelah itu Sonia menjelaskan perincian pekerjaan Jasmine. Karena masih baru, Jasmine sementara belum boleh meracik kopi. Jadi Jasmine bertugas menjadi pelayan dan mencuci piring. Sedangkan Sonia akan memegang kasir. Untuk membuat kopi akan dilakukan oleh Sonia dan Deryl.

Bosnya, Deryl ternyata pecinta kopi garis keras. Dia tidak suka kopi saset, yang menurutnya bukan kopi betulan. Jadi dia akhirnya membuka kafe ini. Dia ingin orang-orang bisa mencintai kopi enak seperti dirinya.

“Jasmine, ini kamu antarkan caffee latte ekstra double shot espresso dan donat gula ke meja yang itu, ya.” Jasmine yang baru kembali dari kamar mandi langsung mengelap tangannya ke celemek dan mengambil nampan yang sudah disiapkan Sonia.

“Ke meja yang mana?” tanya Jasmine sambil mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan kafe. Hampir semua meja terisi penuh. Ada yang duduk sendiri, berdua, atau pun beramai-ramai. Hari ini memang hari Jumat, yang terhitung weekend, jadi banyak yang menghabiskan waktunya bercengkerama bersama teman.

Sonia menunjuk sebuah meja bundar di pojok kiri. Jasmine melihat punggung seorang pria yang berpakaian kemeja kotak-kotak. Rasanya dia seperti familiar dengan sosoknya. Namun, Jasmine segera menepis pikiran itu. Tidak mungkin dia bisa mengenali seseorang di sini. Kan, dia baru saja bekerja.

“Permisi. Satu caffe latte ekstra double shot espresso dan satu donat gula?” Jasmine mememindahkan satu gelas minuman dan piring donat ke atas meja.

Pria itu menoleh memandangnya sambil tersenyum simpul. “Terima kasih.”

Jasmine terkejut saat menyadari kalau dia betul-betul kenal dengan pria di hadapannya.

 ❤❤❤❤❤

Jakarta, 2 Juni 2021

Impian Jasmine (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang