Bab 21. Rumah Makan Padang

240 12 2
                                    

“Kok, kita berhenti di sini, Pak?” Jasmine bingung saat mendapati mobil Pak Arjuna berhenyi di depan restoran padang dan bukan alamat yang seharusnya mereka tuju untuk pengambilan data.

“Saya lapar. Kalau kamu tidak mau makan. Duduk saja di dalam,” jawab Arjuna dengan ketus.

Tampaknya Pak Arjuna masih kesal karena kejadian sabuk pengaman tadi. Jasmine berulang kali meminta maaf setelah dijelaskan oleh Pak Arjuna kalau dia hanya ingin membantu Jasmine memakai sabuk pengaman dan bukannya ingin berlaku yang tidak senonoh.

“Kenapa bengong? Sabuk pengamannya mau saya bukakan juga? Nanti saya kena pukulan tas lagi.”

Jasmine yang malu karena kedapatan melamun langsung gelagapan. Mendengar sindiran Pak Arjuna, dia langsung berusaha membuka sabuk pengamannya sendiri. Namun, masalahnya dia tidak paham. Seharusnya tadi memakai waktu perjalanannya untuk melihat tutorial membuka sabuk pengaman di youtube. Kenapa tidak terpikir, ya? Jadi sekarang bagaimana?

Arjuna mengembuskan napas kesal melihat Jasmine yang terlihat kebingungan. Akhirnya mau tidak mau, dia juga yang harus mengajarkan kepada Jasmine.

“Ini, lho, yang merah dipencet.”

Dengan wajah merah padam menahan malu, Jasmine melakukan sesuai yang diperintah oleh Arjuna. Syukurlah, sabuk pengamannya langsung terlepas. Dalam diam Jasmine mengikuti langkah kaki Pak Arjuna ke dalam rumah makan.

Tidak beberapa lama kemudian, Pelayan mulai menghidangkan banyak makanan yang diletakkan ke dalam piring-piring kecil. Jasmine merasa takjub melihat cara mereka membawa langsung banyak piring di satu tangan. Rasanya seperti sirkus yang pernah Jasmine lihat di TV.

Ketika semua terhidang semua, Jasmine memberanikan diri menanyakan sesuatu yang membuatnya penasaran dari tadi. “Pak, kenapa sayurnya dipesan semua? Memangnya Bapak makannya banyak? Saya cuma bisa makan sedikit, lho.”

Pak Arjuna menatap Jasmine seakan Jasmine memiliki antena di kepalanya. Teringat dengan kejadian sabuk pengaman, Arjuna jadi curiga kalau ini adalah pertama kalinya juga Jasmine pergi ke rumah makan padang.

“Jangan bilang kalau ini pertama kalinya kamu ke sini?”

Jasmine menganggukkan kepalanya kuat-kuat. “Iya, Pak. Soalnya saya dari dulu enggak punya uang. Jadi paling mentok juga cuma ke warteg.”

Arjuna mengusap wajahnya kasar. “Jadi gini, Jasmine. Ini sama seperti warteg. Jadi kamu harus memilih makanan yang kamu mau saja, jangan semuanya. Nanti setelah selesai makan, akan dihitung berapa yang sudah dimakan. Paham?”

“Baik, Pak.”

“Yang tidak mau kamu makan jangan disendok-sendok. Kayak ini kan ayam gulai ada kuahnya. Nah, kalau kamu enggak mau ayamnya, ya, jangan ambil kuahnya. Jangan seperti orang lain yang demi mengirit, dia makan ke rumah makan padang hanya untuk makan kuahnya saja sama nasi.”

Jasmine tertawa mendengar penjelasan Pak Arjuna. “Masa ada yang seperti itu? Kan jadinya jorok kalau sudah diobok-obok seperti itu. Penjualnya juga kasian, Pak.”

“Nah, itu, kamu tahu. Ya sudah pilih yang kamu mau, tapi ingat, semua yang kamu ambil harus kamu habiskan.”

Jasmine mengangguk lalu dia hanya mengambil gulai daun singkong dan sambal hijau.

Arjuna yang melihat pilihan menu Jasmine menjadi bingung. Keningnya berkerut. “Kenapa kamu hanya makan sayur? Kamu vegetarian?”

Jasmine menggeleng. Dengan suara berbisik dan muka sedikit memerah karena malu dia berkata, “Saya takut duit saya enggak cukup, Pak. Jadi cukup sayuran saja yang murah.”

“Saya yang bayar semuanya. Jadi kamu boleh memilih yang kamu mau. Jangan bilang kamu sengaja hanya makan sayur supaya nanti ada alasan untuk tidak bisa mengambil data?”

Jasmine tersinggung mendengar ucapan Arjuna. Tidak ada sedikit pun niatan di hatinya untuk mangkir dari tanggung jawab. “Enak, saja. Ya sudah, saya ambil daging ini. Kalau nanti Bapak bayarnya kemahalan jangan salahkan saya, ya.”

“Kamu makan sepuluh saja, saya masih sanggup bayar.”

Kesal mendengar kesombongan Arjuna, Jasmine langsung menarik-narik rendangnya hingga tersuwir. Di bayangannya Arjuna yang ingin Jasmine cabik-cabik seperti itu. Dasar dosen sombong!

Arjuna sendiri berusaha menahan senyum supaya Jasmine tidak melihat kalau umpan yang dilemparkannya sudah diambil oleh Jasmine.

Walaupun kesal, Jasmine merasa senang karena akhirnya dia bisa memakan daging rendang yang selama ini diimpikannya. Lembutnya daging yang dimasak dengan santan dan bumbu rendang yang terserap sempurna. Rasa asin, manis, dan pedas yang terasa pas di lidah, sungguh membuat Jasmine bahagia. Ternyata rendang memang seenak yang dia bayangkan selama ini.

Sayang Ibu tidak ada bersamanya, pikir Jasmine sedih.

Selesai makan, ternyata hujan betul-betul turun. Jasmine dan Arjuna berlarian menuju mobil. Untung hujannya belum terlalu besar jadi baju mereka tidak terlalu basah.

Sesampainya di tempat tujuan, ternyata sulit untuk mencari tempat parkir mobil. Arjuna meminta Jasmine mengambil payung di bangku belakang lalu memintanya turun duluan.

“Nanti saya susul begitu saya dapat parkir.”

Jasmine hanya mengangguk lalu berlari keluar sambil memeluk plastik berisi kertas kuesioner. Setelah mendapatkan tempat berteduh, Jasmine meletakkan payungnya lalu mulai melihat daftar nama lansia di tangannya. Seperti biasa, Jasmine mulai memetakan urutan tempat yang akan dia datangi berdasarkan jumlah lansia.

Jasmine akhirnya memutuskan untuk pergi ke RT tujuh terlebih dahulu. Karena sudah terbiasa, Jasmine mampu melakukannya secara cepat. Untungnya juga hujan, jadi lansia yang Jasmine datangi semuanya sedang berada di rumah.

Setelah habis mengambil data sepuluh lansia di RT tujuh, Jasmine memutuskan untuk pergi ke RT lima. Dalam hati Jasmine kecewa karena Pak Arjuna tidak juga menyusulnya. Sempat terbersit di pikirannya mengenai Pak Arjuna yang memilih pulang dan meninggalkan Jasmine sendirian di sini. Namun, yah, itu hak dia juga, sih. Kan, yang terhukum memang Jasmine. Jadi kalau Pak Arjuna mau pulang ya boleh saja.

Di tengah mewawancarai lansia yang kelima di RT lima, ponsel Jasmine bergetar.

“Sebentar, ya, Nek.”

Jasmine mengambil ponselnya dan melihat nama Pak Arjuna tertera di sana. Dengan kening berkerut Jasmine mengangkat telepon. “Ya, Pak?”

“Kamu dimana, Jasmine? Di RT berapa?”

Jasmine terpaku mendengar pertanyaan Pak Arjuna. Apa dia belum pulang? Pak Arjuna masih ada di sekitar sini?”

“Jas...Jasmine? Halo?”

“E-eh, i-iya, Pak. Saya di RT lima. Di rumah Nenek Rosmiatun.” Jasmine lalu menyebutkan alamat lengkap tempat dia berada.

“Ya udah, kamu tunggu di sana. Sebentar saya ke sana.”

Mendadak hati Jasmine berdebar. Rasa bahagia memenuhi hatinya. Ternyata Pak Arjuna tidak meninggalkannya.

Dengan senyum terukir di wajahnya, Jasmine kembali menanyai Nenek yang duduk di depannya.

“Siapa, Neng? Pacarnya?” tanya Buk Rosmiatun dengan wajah menggoda.

“Eh, enggak, Nek. Itu dosen saya, yang memberikan tugas ini. Dia mau nyusul ke sini katanya.”

“Ah, masa, sih, Neng. Soalnya tadi wajah Eneng kayak hujan di luar, tuh, suram. Sekarang mah cerah berseri-seri.”

Jasmine jadi berpikir, apa iya wajahnya seperti itu? Tapi tidak bisa dipungkiri, hatinya memang merasa bahagia saat mendengar Pak Arjuna ternyata tidak meninggalkannya. Semburat merah perlahan memenuhi wajah Jasmine.

Fokus, Jasmine. Fokus!

                 








Impian Jasmine (END) Место, где живут истории. Откройте их для себя