Bab 29

259 13 1
                                    

“Pak, mau pilih yang mana kudanya?” tanya Jasmine sambil menunjuk ke arah wahana komedi putar.

“Sedapatnya saja, kalau saya.”

“Ih, Bapak, enggak seru. Dulu ayah saya bilang kalau kita memilih kuda lalu nanti betul-betul bisa dapat, artinya kita akan beruntung.”

Pak Arjuna tersenyum tipis. “Kamu, tuh, umur berapa, sih, masih percaya yang seperti itu?”

Jasmine sebal. “Yah, enggak ada salahnya juga, Pak, dicoba. Siapa tau betul terjadi.”

“Ya sudah, kamu pilih duluan, lalu nanti saya pilih kuda yang ada di dekat kamu.”

Jasmine mengerutkan kening bingung. “Lho, kok, begitu, Pak?”

“Karena saya enggak mau duduk jauh dari kamu,” ucap Pak Arjuna dengan wajah datar.

Wajah Jasmine memerah mendengar jawaban Pak Arjuna. Walaupun diucapkan dengan wajah datar dan nada biasa saja, tapi kata-kata Pak Arjuna terdengar manis di telinga Jasmine. Secara logika sebetulnya jawaban dari Pak Arjuna biasa saja. Ya, masa mereka pergi bersama lalu duduknya jauh-jauhan?

Sadar, Jasmine, sadar!

Akhirnya begitu sampai giliran mereka main, mereka terpaksa duduk di kuda mana saja. Jangankan bisa memilih, masih dapat kuda saja sudah bagus.

Jasmine tertawa lebar saat kudanya turun dan naik. Jasmine jadi ingat dulu Ayah juga membawanya ke sini.

Jasmine menikmati alunan lagu yang diputar dan angin yang berembus menerbangkan anak-anak rambut di kening dan kunciran ekor kudanya. Sejak kakinya menginjak taman bermain, Jasmine memutuskan untuk tidak menggerai lagi rambutnya. Panas!

Sesudah komedi putar berhenti, Jasmine terkejut saat mendapati Pak Arjuna sudah turun dan menawarkan tangannya untuk membantu Jasmine turun. Karena takut mengundang perhatian banyak orang jika Jasmine berdebat dengan Pak Arjuna, Jasmine akhirnya membalas uluran tangan Pak Arjuna.

Begitu tangannya menyentuh tangan Pak Arjuna, seketika itu juga perasaan aneh menyelusup ke dalam hatinya. Tangan besar Pak Arjuna yang melingkupi tangan Jasmine yang lebih kecil, memberikan rasa nyaman dan perasaan terlindungi. Jantung Jasmine berdentum hebat. Semoga guncangannya tidak membuat jantung Jasmine melompat keluar.

Dengan canggung, Jasmine lekas-lekas melepaskan tautan tangan mereka begitu kakinya menjejak di tanah.

Untuk menghilangkan kecanggungan yang memenuhi udara, Arjuna mengajak Jasmine makan ayam goreng.

“Pak, saya makan bekal saya saja. Ini saya sudah bawa gethuk, makanan yang terbuat dari singkong.”

“Saya yang traktir, Jasmine. Jadi kamu jangan takut.”

Jasmine masih bersikukuh dengan pendiriannya. “Tapi, saya ga enak ditraktir Pak Arjuna terus.”

“Anggap saja bayaran kamu selama ini membantu penelitian saya.”

“Tapi, Pak-“

Kata-kata Jasmine terhenti oleh tatapan tajam Pak Arjuna. Lagi-lagi ucapan Jasmine dipotong. Jasmine jadi sebal. Jasmine jadi berpikir, apa memotong pembicaraan orang itu sudah menjadi kebiasaan mendarah daging Pak Arjuna, ya?

Awalnya Jasmine masih sebal dan berniat untuk tidak menyentuh makanannya, tapi apa daya cacing di perutnya lebih berpihak pada Pak Arjuna. Dengan tidak tahu malu, perutnya malah berbunyi kencang. Seakan dunia perlu tahu kalau Jasmine sedang lapar.  Wajah Jasmine jadi memerah dan panas karena malu.

“Sudah, ayok dimakan ayam gorengnya. Habis ini kita mau main lagi. Kata kamu sudah mau masuk kerja. Nanti terlambat lho!”

Mendengar kata terlambat, bayangan surat peringatan yang kemarin dulu diterimanya muncul lagi di pelupuk mata Jasmine. Tidak, dia tidak boleh terlambat lagi kalau tidak mau menerima surat peringatan yang kedua. Jasmine masih membutuhkan pekerjaan itu.

Karena panik, Jasmine membuka saosnya dengan cepat hingga isinya muncrat kemana-mana. Syukurlah tidak kena baju, hanya kena punggung tangannya saja. Jasmine segera mengambil tisu untuk menyeka tumpahan saos.

Tiba-tiba Pak Arjuna mengulurkan tangannya yang sedang memegang tisu ke arah pipi Jasmine sebelah kiri. “Sebentar, Jasmine. Kamu diam.”

Karena kaget, Jasmine mematung hingga apapun yang ingin dilakukan Pak Arjuna selesai. Jantungnya lagi-lagi berdegup cepat. Kata orang, senam kardio bagus untuk jantung, tapi menurut Jasmine berada dekat dengan Pak Arjuna sudah membuat jantungnya sehat karena sering berdetak cepat. Apa mungkin jantungnya bermasalah?

“Nah, sudah.” Pak Arjuna menunjukkan sedikit noda merah yang ada di atas tisu. “Tadi ada saos di pipi kamu. Makanya hati-hati bukanya. Lain kali minta tolong saya saja kalau kamu memang tidak bisa.”

Seharusnya Jasmine marah karena kemampuannya membuka bungkus saos diremehkan, tapi kok alih-alih marah, Jasmine malah merasa tersanjung. Pak Arjuna yang terkenal galak itu mau membantu Jasmine membuka bungkus saos? Nara pasti enggak percaya kalau mendengar cerita Jasmine.

“I-iya, Pak.”

Sesudah itu mereka makan dalam diam. Masing-masing terlarut dalam pikirannya sendiri.

“Sekarang, kita mau main apa lagi?” tanya Pak Arjuna yang sedang melap tangannya yang basah dengan tisu. Syukurlah tempat makan ayam gorengnya ada wastafel, jadi mereka bisa mencuci tangan sesudah makan.

“Waktunya cuma bisa buat naik satu wahana saja, nih, Pak. Kalau dipikir-pikir, rugi ya datang ke taman bermain di hari Minggu. Waktunya kebanyakan habis hanya untuk mengantri.” Tadi rasanya untuk tiap permainan mereka harus mengantri lebih dari setengah jam. Semua wahana kondisinya sama. Tidak ada yang antriannya lebih sedikit.

Pak Arjuna terlihat berpikir. “Coba kamu pilih permainan yang tidak terlalu mengocok perut. Soalnya, kan, kita habis makan. Takutnya nanti kamu muntah.”

Lagi-lagi perkataan Pak Arjuna menghangatkan hati Jasmine walaupun diucapkan dengan nada biasa dan tidak lemah lembut seperti di film-film.

“Saya mau naik bianglala, boleh, Pak? Soalnya dulu Ayah saya sempat mengajak saya naik itu,” tanya Jasmine antusias.

Pak Arjuna hanya mengangguk lalu mulai berjalan. Sesampainya di sana Jasmine terkejut. Antriannya panjang sekali.

“Pak, apa tidak apa-apa? Ramai banget.”

“Enggak apa-apa. Lagian itu kabin atau tempat duduknya ada banyak Jasmine. Jadi memang antrinya lama, tapi nanti majunya juga cepat kalau sudah pergantian penumpang.”

Jasmine mengangguk mendengar analisa Pak Arjuna. Memang iya, sih, setiap kabin bisa diisi empat sampai lima orang. Kayak Jasmine, kan, hanya berdua dengan Pak Arjuna. Nanti mereka bisa bergabung dengan pasangan lain.

Eh, apa tadi Jasmine bilang? Pasangan? Dia dan Pak Arjuna? Seketika itu juga wajahnya memerah kembali.

Setelah mengantri dalam keadaan penuh sesak, akhirnya tiba juga giliran Jasmine dan Pak Arjuna.                              

“Berapa orang, Pak?” tanya petugasnya saat kami menunggu kabin yang akan kami naiki.

Jasmine langsung menjawab, “Dua orang, Mas.”

“Apa boleh saya gabung dengan yang lain?” tanyanya sambil tersenyum.

“Boleh.”

“Tidak.”

Jasmine dan Pak Arjuna menjawab secara bersamaan hingga membuat petugasnya tersenyum geli. “Baik, jadi hanya berdua saja, ya, sesuai permintaan masnya.”

Sesudah itu tak lama kabin untuk mereka datang dan mereka langsung dipersilakan masuk.

Bianglala mulai berputar sehingga Jasmine bisa melihat hampir seluruh area taman bermain. Ada sepeda air berbentuk bebek warna kuning yang mengapung di danau buatan. Ada halilintar yang memperlihatkan kereta berkecepatan tinggi, dan juga wahana lainnya.

Dalam sejuknya angin yang menerpa wajah Jasmine, dia bertanya kepada Pak Arjuna. “Kenapa, sih, Pak. Kita enggak gabung saja sama yang lain? Kan, kasian tuh mereka jadi menunggu lama.” Jasmine menunjuk antrian pengunjung yang berjubel menunggu giliran.

Impian Jasmine (END) Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin