Bab 9. Rencana Jahat

261 12 4
                                    

“Pak Arjuna?” tanya Jasmine terkejut.

Senyum di wajah Arjuna langsung luruh begitu mengenali gadis berkuncir kuda yang berdiri di hadapannya. Kok dia bisa ada di kafe ini? Seingatnya baru-baru ini Arjuna menunjuknya menjadi wakil ketua kelas di mata kuliah Psikologi Umum. Jasmine namanya.

“Bapak ngapain ada di sini?” tanya Jasmine refleks sambil memeluk nampan. Matanya mengerjap-ngerjap lucu karena bingung. Jasmine tidak menyangka kalau dia akan bertemu dosennya di sini.

Arjuna berdeham dan dengan wajah datar andalannya dia berkata, “Nona Jasmine, terakhir kali yang saya ingat kafe ini adalah tempat umum. Jadi siapa pun boleh datang. Untuk keperluan apa saya di sini, itu akan menjadi urusan saya bukan urusan Anda.”

Jasmine mematung mendengar jawaban Arjuna yang walaupun benar, tapi bikin kesal. Jawaban apa itu?? Kayak Jasmine mau tahu saja. Tadi, kan, pertanyaan basa-basi paling umum jika kamu bertemu seseorang yang kamu kenal di suatu tempat. Huh!

“Nona Jasmine, tampaknya Anda dipanggil teman Anda di meja kasir. Mungkin sebaiknya Anda meneruskan pekerjaan Anda daripada mengurusi hidup orang lain. Silakan,” ucap Arjuna sambil menunjuk Sonia yang memang sedang melambaikan tangan ke arahnya.

Wajah Jasmine memanas mendengar kata-kata Arjuna. Dia marah dan juga malu. Bisa-bisanya dosen songong itu berpikir Jasmine tertarik terhadap urusannya. Enggak ada untungnya juga buat Jasmine! Ternyata mulut tajam Pak Arjuna tidak hanya berlaku di kampus.

“Kenapa kamu mukanya ditekuk gitu? Terus itu tadi siapa? Kok kamu lama banget berdiri di sana?” tanya Sonia ingin tahu. “Oh, ya, sebelum menjawab pertanyaanku barusan, ini kamu antarkan dulu segelas espreso ke meja nomor enam di sebelah kaca.”

Jasmine mengambil nampan yang disodorkan Sonia. Hatinya masih panas tapi dia tahu kalau dia tidak boleh begini terus. Jika dia melayani pembeli dengan wajah garang maka dipastikan pembeli tidak akan suka.

Jasmine menarik napas panjang lalu membuangnya perlahan, begitu terus selama beberapa kali sampai api kemarahan di hatinya reda. Sesudah itu baru dia melanjutkan pekerjaannya.

Jasmine segera menyiapkan senyuman terbaiknya sebelum mulai berjalan menuju meja nomor enam. Dia harus semangat bekerja. Dia bertekad akan menganggap Pak Arjuna sebagai angin yang tidak memiliki wujud.

Namun, sayangnya niat terkadang tidak sesuai dengan kenyataan. Saat Jasmine dengan ekor matanya tidak sengaja melihat seorang perempuan berparas cantik mendatangi meja Pak Arjuna, dia pun jadi ingin tahu. Apalagi saat Pak Arjuna dan perempuan itu melakukan salam ciuman di pipi kiri dan kanan. Wih, mereka mesra banget.

“Jadi, siapa dia?” tanya Sonia yang tiba-tiba sudah berada di sebelah kanannya. Mata Sonia turut melihat pemandangan yang sedang dilihat Jasmine. “Pacar, ya?”

Jasmine melotot mendengar tebakan Sonia yang super ngawur. “Itu dosenku. Namanya Pak Arjuna. Dan kami tidak berpacaran tentu saja.”

“Kalau begitu kamu suka dia? Kok dari tadi diliatin terus?” tanya Sonia menggoda Jasmine.

Jamine langsung menggeleng kuat sambil mengetuk meja tiga kali dengan kepalan tangannya untuk menolak bala. “Amit-amit, Son. Dia itu dosen killer. Mulutnya bahkan setajam silet. Bisa apes kalo suka sama dia. Lagian aku tuh liatin dia karena bingung aja. Kok bisa ya dia ketawa gitu. Biasanya papan setrikaan aja kalah kaku kalau dibandingnya sama wajah, dan gestur tubuhnya.”

Sonia tertawa kencang. “Udah. Jangan diliatin terus .”

Apalagi Pak Arjuna bisa mengobrol sambil tertawa lepas dengan perempuan itu. Wah, bisa juga macan kampus baik ke orang lain.  Kirain buka mulut cuma buat marah-marah atau ‘terkam’ orang.

Impian Jasmine (END) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang