Bab 7

256 19 1
                                    


“Dambo, tadi pagi Ibu sakit. Pasti karena dia kecapekan, deh. Sejak kuliah aku ga bisa bantu Ibu cuci baju dari pagi. Kalau ada pesanan kue mendadak juga aku ga bisa bantu buat,” Jasmine mengembuskan napas untuk membuang beban di hati yang membuatnya sesak. Jasmine membelai sayang kepala boneka lumba-lumba berwarna biru yang sedang dipeluknya.

Boneka ini merupakan hadiah dari Ayah saat Jasmine berusia sembilan tahun. Hari itu tiba-tiba Ayah mengajaknya ke taman bermain yang sangat diimpikannya, tepat di hari ulang tahun Jasmine. Ketika sedang beristirahat sejenak, Jasmine jatuh cinta saat tidak sengaja melihat boneka lumba-lumba biru terpajang di kios yang menjual cindera mata. Jasmine langsung merengek minta. Padahal biasanya Jasmine selalu bisa menahan diri untuk tidak meminta apa pun yang dia mau karena dia tahu orang tuanya tidak memiliki banyak uang.

Namun, mungkin rasa senang sudah diajak ke taman bermain membuatnya lupa diri. Dia pikir kebahagiannya akan lengkap bila bisa memiliki boneka lucu itu. Saat itu juga tidak seperti biasa, Ayah langsung membelikannya tanpa mengomel terlebih dahulu. Keanehan yang bertubi-tubi di hari itu mungkin sebetulnya adalah sebuah pertanda kehancuran keluarga Jasmine di kemudian hari yang tidak disadarinya.

Jasmine menamai boneka lumba-lumba biru itu Dambo dan sejak itu Dambo menjadi boneka kesayangannya. Dambo selalu menemani tidur Jasmine di malam hari, dan juga tempat Jasmine mencurahkan isi hatinya. Terutama saat awal-awal kepergian Ayah dari rumah. Jasmine tidak mungkin bercerita kepada ibunya kalau dia sedih karena Ibu pasti lebih sedih darinya. Jadi, Jasmine hanya bisa bercerita kepada Dambo.

Jasmine membenci Ayah tetapi sangat menyayangi Dambo, boneka lumba-lumba biru pemberian terakhir Ayah. Sungguh sebuah paradoks.

Jasmine memeluk Dambo erat. “Dambo, tadi aku bertemu dosen reseh, menyebalkan, sombong, dan sok disiplin. Namanya Pak Arjuna. Semua mahasiswa kayaknya ga ada yang suka dia, deh. Mana katanya pelit nilai banget. Duh, aku jadi takut, Dambo. Semoga aku bisa lulus tepat waktu, ya. Supaya aku bisa segera membahagiakan Ibu. Aminnn....”

**

“Jasmine, ada kabar gembira, nih, buat kamu!” Wajah Nara berbinar-binar. Dia yakin berita yang dibawanya akan membuat Jasmine senang.

Jasmine menghentikan sendoknya di udara dan langsung menoleh ke arah Nara. “Berita apa?” Perlahan sendoknya dimasukkan kembali ke kotak bekal.

“Teman sepupuku ada yang buka usaha kafe dan dia sedang mencari pekerja part time untuk shift malam.”

“Oh, ya?” Mata Jasmine melebar senang. Rasanya jikalau bisa, dia ingin berteriak lalu memeluk Nara.

“Katanya kamu diminta datang ke sana untuk wawancara. Bi-?”

Terlalu antusias membuat Jasmine memotong kata-kata Nara sambil mengangguk. “Bisa. Kapan?”

Nara tertawa melihat tingkah Jasmine seperti anak-anak yang baru dibelikan mainan baru. Mata berbinar, wajah bercahaya, serta senyum yang begitu lebar. “Hari ini juga bisa kalau kamu mau. Nama kafe-nya Kafe Kita, lokasinya di jalan Cinta.”

Jasmine berhenti tersenyum lalu mencebik. “Serius napa, Nar. Masa, tuh, kafe namanya gitu banget?”

Nara tertawa sambil membuka pencarian online di ponselnya. Tangannya sibuk mengetik sesuatu di sana. Setelah itu dia memperlihatkan layar ponselnya ke Jasmine. “Tuh, liat. Beneran ada, kan. Dibilangin ga percaya. Udah susah-susah ditolongin juga.”

Jasmine tertawa kers. “Yah, lagian namanya aneh gitu. Kan, aku jadi curiga diboongin. Ya udah tar aku ke sana. Doain aku diterima ya, Nar.”

Saat itu Arga tidak sengaja lewat dan mendengar percakapan Jasmine dan Nara. Dia ingat kalau kakaknya juga memiliki usaha restoran makanan Italia yang cukup ramai. Enggak ada salahnya dia menawari Jasmine kerja di sana. Siapa tahu Jasmine mau. Kan, nantinya Arga jadi bisa ketemu Jasmine setiap hari.

“Hi, Nara, Jasmine. Aku dengar Jasmine lagi cari kerja di kafe? Kakakku punya restoran makanan Italia. Barangkali kamu mau kerja di sana? Kalau aku yang rekomen, sih, pasti diterima.”

Mendengar itu Jasmine tertarik. Namun, kan, Jasmine sudah lebih dulu minta pekerjaan pada Nara.

“Aku mau coba di kafe yang ditawarkan Nara dulu, Kak. Nanti kalau aku ga diterima baru coba ke restoran yang direkomen Kak Arga, ya.”

Walaupun kecewa mendengar jawaban Jasmine, Arga tetap memberikan senyum terbaiknya. Dia harus memikirkan cara lain untuk mendekati Jasmine.

**

Kuliah baru saja selesai, Jasmine merapikan pulpen, buku, dan buku lalu memasukkannya ke dalam tas.

Nara menoleh ke arah Jasmine yang sudah beranjak dari tempat duduknya. “Mau langsung ke kafe, Jasmine?”

“Iya, nih, Nar. Soalnya aku butuh memiliki penghasilan secepatnya. Aku harus meringankan beban pekerjaan Ibu. Kalau aku ada uang sendiri kan, ga perlu minta untuk jajan atau keperluan kuliah seperti fotokopi, beli buku, dan lain sebagainya.”  Sepintas raut kesedihan membayangi wajah Jasmine, sebelum secara cepat berganti dengan senyum lebar.

Jasmine enggak boleh sedih terus. Saat terpuruk yang harus dilakukannya adalah terus berjuang. Jangan kalah oleh keadaan!

“Aku doain semoga kamu diterima, ya,” ucap Nara tulus.

Di luar pintu kelas, Jasmine bertemu Arga yang sudah menantinya dari tadi.

“Jasmine, kamu mau pulang? Aku anterin, ya?” Arga berusaha mengeluarkan pesona terbaiknya.

Jasmine menggeleng. “Enggak, Kak. Aku mau pergi ke kafe untuk melamar kerja. Kata Nara aku bisa langsung wawancara. Siapa tahu aku diterima. Doain aku, ya, Kak.” Setelah berkata seperti itu Jasmine pamit dan beranjak pergi.

Arga yang tidak mau mengalah berusaha menarik siku Jasmine. “Aku anterin, ya.” Dengan mengantarkan Jasmine, kan, Arga jadi bisa mengetahui di mana tempat kerja Jasmine. Jadi besok-besok, Arga bisa sering ke sana untuk melihat Jasmine.

“Enggak apa-apa, Kak. Aku bisa pergi sendiri.” Dengan halus, Jasmine menolak bantuan Arga. Dia tidak mau merepotkan orang lain. Ditambah lagi menurut Nara sebetulnya Kak Arga menyukai Jasmine. Dia tidak mau memberi harapan kosong.

Jasmine tidak mau berpacaran sekarang. Sampai kapan? Jasmine juga tidak tahu. Yang jelas sekarang dia hanya ingin fokus kuliah!

“Tapi, dengan mobilku tentunya kamu akan lebih cepat sampai.” Arga masih mencoba lagi.

Jasmine menggeleng kuat. “Maafin aku, Kak, tapi aku menolak. Aku mau pergi sendiri. Makasih, ya, tawarannya.” Tak lupa Jasmine menyematkan senyuman manis di ujung kalimatnya. Jasmine juga, kan, enggak mau mencari musuh. Apalagi dia tahu kalau Kak Arga sebetulnya adalah pria yang baik. Luka dan masa lalunya yang membuat Jasmine seperti ini.

Dengan segenap ketabahan yang dimilikinya, Arga akhirnya merelakan Jasmine pergi sendiri.  Besok-besok dia akan mencoba melakukan cara lain untuk mendekati Jasmine.

Sesudah meninggalkan Arga, Jasmine berbelok ke kiri menuju pintu keluar. Tiba-tiba langkahnya dicegat oleh seseorang yang ternyata dari tadi memperhatikan interaksinya dengan Arga.

“Apa, sih, yang bikin kamu begitu spesial? Sampai-sampai Kak Arga bisa suka sama kamu?”




Impian Jasmine (END) Where stories live. Discover now