11 : Lirik Lagu

574 59 2
                                    

*Part ini mengandung kata-kata kasar yang tidak patut ditiru, harap lebih bijak dalam membacanya...*

Elang, Adit, dan Bimo melenggang keluar dari ruang BP setelah hampir 45 menit diceramahi oleh guru BP sejak bel masuk berbunyi. Pagi-pagi mereka harus mendengar nama mereka disebut lewat interkom sekolah dan harus memenuhi panggilan ke ruang BP. Wajah mereka bertiga dihiasi plester luka dan beberapa luka goresan yang tak tertutupi. Mereka berjalan dengan santai kembali ke kelas.

"Kok Bu Hesti bisa tahu, ya?" tanya Bimo sambil melirik Elang dan Adit yang berjalan sejajar di sampingnya.

"Karena suaminya Bu Hesti itu polisi, Bim," jawab Adit yang sibuk menekan-nekan plester di tulang hidungnya, sesekali ia meringis.

Bimo terhenyak dan menoleh, "Oh ya? Kok bisa aku baru tahu?"

"Kemana aja lu, kunyuk? Udah berapa kali disemprot Bu Hesti, sih? Masa selama ini nggak tahu kalau suami Bu Hesti itu polisi?" Elang terlihat jengkel.

"Sering, sih. Tapi nggak sesering kamu, lah." Bimo manggut-manggut, berpikir sejenak, "jangan-jangan, polisi yang ngejar kita kemarin pasukan suaminya Bu Hesti."

"Jelas lah, ogeb!" sahut Adit kesal.

"Kok bisa tahu kita yang terlibat tawuran itu murid istrinya? Padahal kita bisa lolos dari kejaran mereka." Bimo membagi pandangan antara kedua temannya dan anak tangga yang sedang mereka lalui.

"Tahu dari wajah kita kali, Bim. Bisa aja Bu Hesti cerita ke suaminya, kan kita sering keluar masuk ruang BP. Apalagi dia udah tahu kita anggota Lyonds," ujar Elang.

Bimo menepuk keningnya, "Bisa kena masalah terus nih kalau suaminya hapal sama kita."

"Sekarang aja udah dihapalin, bego." Adit menimpali.

"Salah siapa juga kita harus tawuran malam dan kejar-kejaran sama polisi?" ujar Elang sambil melirik Bimo, diikuti Adit.

Bimo yang sadar dilirik kedua temannya berdecak keras, "Oke-oke sorry. Tanganku bener-bener udah gatal pengen bogem muka Arvi dan antek-anteknya itu. Kukira dia sendiri, ternyata dia malah bawa pasukan. Habislah aku dikeroyok. Untung bisa kabur dan menghubungimu, Lang. Tapi, thanks banget kalian udah datang."

"Duh, susah ya punya temen dungu!" sindir Adit.

"Udah berapa lama sih kenal Arvi?! Masih aja ketipu. Dia nggak bakal bisa diajak duel satu lawan satu!?" Suara Elang meninggi.

Adit mengibaskan tangannya. "Udahlah! Jangan urusan lagi sama dia. Dendam lama jangan diungkit-ungkit."

Ketika mereka sampai di ujung tangga, hendak memasuki lorong lantai 2, mereka melihat seseorang di depan kelas XI-6 yang sedang bersandar di kusen jendela sambil mengobrol dengan ketiga cowok lain. Selama kurang dari tiga detik mereka menghentikan langkah sebagai reflek keterkejutan mereka, kemudian melangkahkan kaki lagi dengan santai.

"Si Dora udah masuk? Kirain masih sibuk nyari peta," tanya Bimo.

Adit menahan tawa, "Cukup lama ya Dora ngelibur? Lu apain tuh anak kemarin, Lang?"

Raut wajah Elang berubah kesal. Mau tidak mau, mereka harus melewati orang itu untuk sampai ke ruang kelas mereka, ruang kelas yang berada di samping XI-6. Seseorang yang bersandar di kusen jendela itu menyadari mereka mendekat. Manik mata Elang dan orang itu bertemu, Elang tersenyum miring dan lawannya juga melakukan hal yang sama, seakan mereka sama-sama muak melihat wajah satu sama lain.

"Pagi-pagi udah dipanggil ke ruang BP aja? Kayak orang yang nggak punya masa depan. Eh, bukannya emang nggak punya?" celetuk orang itu ketika Elang, Adit dan Bimo melewatinya.

Jewel In The King's HeartWhere stories live. Discover now