24 : Dua Sisi

437 51 0
                                    

Lagi-lagi suara itu yang membuat hati Ares terasa sejuk. Suara yang didengarnya saat ini bagai roh yang menjamah tubuhnya kala tubuh itu seperti tak bernyawa, hampa, dan kering. Mimpi-mimpi yang sering menghantuinya di kala malam seakan sirna dari pikirannya. Ia jatuh dalam perdaya suara yang lembut dan menenangkan itu. Suara gadis itu. Hanya suara gadis itu. Naya.

"Kak? Gimana? Ada yang salah, ya?"

Ares terhenyak, ia terlalu menikmati suara gadis itu sehingga tak sadar terlalu hanyut dalam suasana.

Ia tersenyum, "Kamu menyanyikannya dengan bagus."

"Beneran?" Naya tersipu malu tapi sedetik kemudian ia terbatuk. Entah kenapa tiba-tiba tenggorokannya sangat gatal. Ares tersentak dan segera memberi Naya botol air mineral.

"Kamu sakit, Nay?" tanyanya dengan khawatir.

Naya menggeleng, "Nggak tahu nih, Kak, tiba-tiba tenggorokan gatel banget."

Ares menghela napas panjang, "Kamu mungkin kecapekan. Kamu latihan padus hampir tiap hari, kan? Belum lagi latihan buat konser dan kerja sambilanmu itu."

"Ah, nggak papa kok, Kak. Aku kuat. Aku malah seneng kalau bisa terlibat banyak kegiatan gini. Di asrama itu membosankan."

"Tapi kamu juga harus cukup istirahat. Jangan sampai tenagamu terforsir dan akhirnya kamu sakit."

Terforsir? Ucapan Ares membuat Naya termangu, ia sadar memang akhir-akhir ini suaranya terforsir. Latihan padus membuatnya sering memaksakan suaranya semaksimal mungkin.

Mungkin gara-gara aku terlalu sering latihan nyanyi dan teriak-teriak jadi gatel gini tenggorokanku. Duh, jangan sampai sakit, deh.

"Nay?"

"Hm? Ah... Iya Kak. Aku bakal istirahat yang cukup, kok. Tenang aja."

Ares tersenyum lega, tapi entah kenapa rasa khawatirnya belum menghilang sepenuhnya. Apakah ia terlalu memaksakan Naya? Bagaimana jika gadis itu tidak bisa tampil di konsernya? Bagaimana jika dia sakit? Bagaimana jika Naya kecapekan dan demam?

Tunggu!

Apa sebenarnya yang Ares rasakan? Ia khawatir karena apa? Khawatir gadis itu tidak bisa tampil di konsernya atau khawatir gadis itu sakit sehingga senyum manis itu menghilang? Ares tak dapat memastikan, ia mengenyahkan keraguan yang dirasakannya sekarang.

Ia berdehem kecil, "Kalau begitu, besok sudah mulai berlatih dengan tim orkestra, ya. Persiapkan dirimu."

Naya terhenyak mendengar tim orkestra disebut, bayangan kejadian di toilet mulai terbesit di benaknya. Apa aku mesti cerita ke kak Ares soal itu, ya? Apa mereka benar-benar akan menghancurkan konser kak Ares kalau aku tetap memutuskan tampil di konser itu?

Naya meragu selama beberapa saat, hingga akhirnya ia hanya bisa berkata, "Iya, Kak." Hati kecilnya tak mengizinkan ia mengatakan yang sebenarnya. Tak lama kemudian ia merasakan ponselnya bergetar dalam saku. Ia tersenyum simpul ketika mengetahui pesan yang baru saja ia dapatkan.

Ares menyadari tingkah Naya, "Kenapa, Nay?"

"Adikku mengirim foto ayah dan ibu waktu tampil di pegelaran wayang kulit di desa kami." Naya tertawa kecil.

Ares mengamati Naya, senyum simpul menghiasi wajahnya, tapi kemudian matanya menerawang, "Senangnya kalau punya keluarga yang sama-sama sehobi."

Naya memandang cowok di hadapannya itu dengan tatapan bertanya.

"Ayahku tak menyukai aku bermain piano. Dia lebih suka aku berkutat dengan bisnis karena aku penerus keluarga."

"Tapi, Kakak kan masih bisa berbisnis sambil sesekali main piano."

Jewel In The King's HeartWhere stories live. Discover now