47 : Pengakuan

359 24 26
                                    

Bertatapan dengan mata cowok di hadapannya itu, jantung Naya seakan tak bisa berdetak normal. Mengikuti kata hati katanya? Maunya apa, sih? Ia berdehem pelan, menyembunyikan kegugupannya saat ini dan berpikir cepat agar bisa terbebas dari situasi yang membelenggunya itu.

"Tanu nggak suka kamarnya dipake sama orang asing lama-lama, bukan bermaksud ngusir, tapi aku saranin Kakak besok cepetan pulang."

Naya menghindari tatapan Elang dan segera keluar dari kamar Tanu. Elang tersenyum miring, kemudian mengikuti gadis itu. Mereka kemudian bergabung dengan Adit dan Eli yang terlihat sudah akrab dengan Asih.

"Oh, jadi bu Asih itu sinden yang biasa nyanyi di pagelaran pewayangan itu, ya? Pantesan suara Naya juga bagus, menurun dari ibunya. Cantiknya juga menurun." ujar Eli.

"Wah, Dek Eli bisa saja," Asih tersenyum, "saya sudah jarang menyinden sejak sakit, biar digantikan yang muda-muda saja."

Mereka masih asyik mengobrol sampai kedatangan seorang lelaki berkumis bersama seorang anak laki-laki mengalihkan perhatian mereka.

"Sampun kondur? Ini ada teman-teman Naya dari kota, Mas," ujar Asih yang kemudian memperkenalkan Elang, Eli, dan Adit kepada suaminya. Sanjaya –lelaki itu-- menyalami mereka dan menyapa dengan ramah. "Mereka akan menginap di sini," imbuh Asih.

Seorang anak laki-laki seusia anak SMP tampak memberengut. "Yah, pasti kamarku bakal dipakai. Masa aku harus tidur sama ayah dan ibu, sih?" ujarnya.

"Hush! Tanu!" Asih melemparkan tatapan intimidasi kepada anak keduanya yang kurang sopan itu, "wes, sana! Cepat ganti baju dan mandi. Udah sore."

Tanu menuruti kata ibunya dan berjalan malas meninggalkan ruang tamu, begitu juga Sanjaya berpamitan untuk istirahat.

"Setiap sore, pak Sanjaya dan Tanu berlatih gamelan di pendopo kelurahan untuk mempersiapkan Pekan Seni hari Sabtu lusa. Kalau Naya di rumah seperti ini, dia juga akan ikut berlatih seperti tadi, untung saja dia pulang lebih awal jadi tidak membuat kalian menunggu lama," kata Asih.

"Wah, hebat ya, Bu. Sekeluarga seniman semua," puji Adit. Bu Asih tersenyum simpul, "Ya sudah, kalian istirahat dulu. Bocah-bocah bagus bisa istirahat di kamar Tanu. Dek Eli bisa istirahat di kamar Naya."

"Oh iya, Nay, nanti tolong antarkan titipan Ki Wiroto untuk pak Lurah," ujar Asih ketika Naya hendak beranjak mengantarkan teman-temannya ke kamar.

"Iya, Bu."

"Memangnya rumah pak Lurah di mana ya, Tante? Saya bisa mengantar Naya," sela Elang yang kemudian langsung dilempar tatapan tajam oleh Naya.

"Nggak usah, rumah pak Lurah deket kok, jalan kaki juga bisa," ujar Naya.

"Ya udah, aku anter kamu jalan kaki."

"Nggak mau! Kakak istirahat aja."

Pandangan Elang beralih ke Asih, "Saya boleh antar Naya kan, Tante? Sekalian jalan-jalan, melihat pemandangan di sini."

"Ah, jalan-jalan, boleh jug-" perkataan Adit terhenti ketika Elang menginjak kakinya.

Ngapain nih curut ikut-ikutan, sih?

Adit yang sadar ditatap tajam oleh Elang terkekeh. Ia tampak kikuk dan beranjak menuju kamarnya, "Permisi," ujarnya.

Asih tertawa kecil, pandangannya bergantian memandang Elang dan Naya, "Iya boleh. Nggak apa to, Nay?"

Naya berdecak, bibirnya manyun. Dilihatnya Elang yang hanya tersenyum, tapi bagi Naya itu adalah senyum menjengkelkan.

-----##-----

Jewel In The King's HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang