38 : Pesta Kembang Api

344 42 24
                                    

Sambil memandangi suasana luar lewat jendela kelas, pikiran Naya melayang. Ingatannya bermunculan secara berurutan seperti potongan film dimulai saat pernyataan cinta Ares hingga pembicaraan terakhirnya dengan Elang di ruang klub beberapa hari yang lalu. Sejak saat itu, ia tak pernah datang lagi ke ruang klub ataupun terlibat obrolan dengan Elang meskipun beberapa kali terjebak kontak mata ketika tak sengaja berpapasan di lingkungan sekolah.

Ia benar-benar merasa seperti orang tolol, menganggap orang lain sebagai pahlawannya sedangkan teman-teman dan pahlawan sesungguhnya tertawa diam-diam melihat kebodohannya. Ia jadi bertanya-tanya, apakah kebencian Elang padanya belum menghilang sehingga cowok itu tak mau ia tahu kebenarannya. Atau bisa saja cowok itu malu dianggap akrab dengan siswa miskin penerima beasiswa sepertinya?

Ia mengacak-accak rambutnya dengan kesal.

Kalau emang gitu, harusnya dia nggak perlu nyuruh temen-temenku bohong kalau kak Ares yang nylametin aku. Bikin perasaanku makin kacau aja.

Kacau? Ia meraba liontin pemberian Ares. Ya, perasaannya memang kacau. Bahkan sebelum ia tahu kebenarannya dan menganggap Ares yang menyelamatkannya, entah kenapa ia juga tak memberi jawaban atas perasaan cowok itu. Apa karena Ares tak menagih jawabannya atau ada hal lain yang membuatnya tak bisa memutuskan jawaban itu?

"Kau pengen tahu kenapa aku berbuat begini?"

Kata-kata Elang tiba-tiba saja terngiang di kepalanya. Tatapan mata Elang ketika mengatakan itu begitu menganggunya. Tidak seperti tatapan mata yang biasa ia terima ketika cowok itu marah padanya.

"Nay?"

"Hah? Ya?"

"Jangan ngelamun gitu dong. Entar kesambet. Ke perpus, yuk." Dini menepuk pundak Naya berkali-kali.

Naya mengangguk rikuh, "Iya, ayo."

Ia baru beranjak beberapa langkah ketika ponsel di sakunya bergetar.

Kak Ares

Online

Malam ini boleh aku mampir ke cafe?

Boleh, Kak.

Oke, sampai jumpa di sana jam 7. :)

-----##-----

"Mateh, kon kabeh!" ("Mati, kalian semua!") pekik Bimo sambil membanting empat kartu As di depannya.

"Anjir!"

"Goblok!"

"Gapleki kon, Bim." ("Sialan kamu, Bim.") "Kok bisa menang terus nih anak."

Umpatan demi umpatan keluar dari mulut Ramon, Natha, dan Adit melihat Bimo memenangkan permainan kartu ke sekian kali. Ramon mematikan ujung rokoknya ke lantai, kemudian mengumpulkan kartu dan mulai mengocoknya.

"Pake dukun kamu, Bim?" tanya Adit kesal.

"Eits, ini namanya genius turun temurun. Kakekku dulu juga sering menangin permainan kartu. Dia aja pernah menangin banyak duit waktu ikut judi togel."

"Wih, togel? Jangan-jangan lu dapet warisan kitab togel dari kakek lu," ejek Natha.

Tawa Ramon dan Adit meledak. "Anjir, kitab togel! Tuh kitab yang isinya gambar-gambar sama nomor-nomor gitu, kan?" tanya Adit sambil tak berhenti tertawa.

"Terus ada yang ukuran kecil sama besar, itu zaman SD-ku paklek yang jualan depan sekolah sering mantengin tuh buku. Njir, kukira buku komik." Derai tawa Ramon, Natha, dan Adit semakin keras.

"Aku sampe yakin, saking tiap harinya baca tuh kitab, tuh paklek pasti hapal nomor sama gambarnya."

"Jangan-jangan paklek yang jualan di SD lu kakeknya Bimo?"

Jewel In The King's HeartWhere stories live. Discover now