-2-

5.9K 1.1K 88
                                    

-Luka tanpa jejak darah-

Ria sudah meninggalkan kado yang telah menjadi abu dari putranya di meja kerja Wira. Hanya tulisan? Jangan lupakan senyum Wira ketika melihat surat bertulis tangan milik wanita simpanannya.

Janji Wira dulu adalah apapun yang terjadi anak-anak akan menjadi nomor satu tapi lihat sekarang apa yang dilakukannya?

Harapannya libur kali ini ingin menemani kedua putranya tapi yang dilakukannya sekarang adalah membantu Sam mengemaskan kembali barang yang baru beberapa hari ini disusun di lemari putra sulungnya.

"Hampir pagi, Papa belum pulang juga."

Ria tidak ingin melihat kemarahan Sam akan semakin merasa bersalah karena tidak berhasil mengambil waktu Wira untuk anak-anaknya.

"Aku pulang tapi dia biasa saja."

Bukan kali pertama Sam mengeluhkan sikap Wira dan ini kecewa terbesarnya, ia tidak pulang setahun sekali.

"Hari yang sangat istimewa bagi Mama juga tidak berarti untuknya." Sam menutup kopernya.

"Berhenti Ma." Sam meminta dengan penuh hati. "Mama tahu salah, kenapa masih bertahan?"

Ria terdiam, kenapa masih bertahan? Tanya itu tak akan bisa dijawab dia sendiri tidak paham dengan hatinya.

Sam tidak menangis tapi Ria bisa merasakan kecewanya dalam hati ia meminta maaf karena kedua putranya tidak bisa merasakan hangatnya sebuah keluarga.

"Aku tidak akan menunggunya." penerbangan jam empat subuh Sam dan adiknya akan berangkat sekarang.

"Katakan padanya, jangan menghubungiku lagi."

Sam mencium kening ibunya sebelum pergi. "Tolong jangan berpura-pura kuat."

Memeluk kedua putranya sampai di kamar karena Sam tidak mengizinkannya keluar untuk mengantar mereka.

Ria tahu Sam tidak pulang untuk merayakan ulang tahun Sam juga tidak mengatakan ingin berkumpul dengan orang tuanya tapi sebagai ibu Ria bisa merasakan keinginan sang putra yang sayangnya tidak bisa dipenuhi karena ia sendiri juga tidak tahu di mana Wira sekarang.

Setitik air mata pun tak keluar, kecewa dan kesalnya diluahkan pada alkohol. Duduk sendiri di mini bar rumahnya, menenggak cairan pemutus rasa sakit sementara, tanpa ada seorang pun di sampingnya.

Enggan bicara tentang asa karena ia sudah kehilangan kepercayaannya dirinya di hadapan Wira beberapa tahun terakhir ini. Tidak ada yang diharapkan lagi pada sosok pria yang telah mengikrar janji suci dengannya dia telah dipaksa untuk diam dan melakoni apa yang bisa dilakoninya.

Dinginnya subuh kian menusuk tulang tapi mata dan raga wanita itu bisa menahan rasa yang tidak begitu ngilu dibandingkan luka yang diberikan laki-laki itu.

Dua jam menyendiri seseorang datang melempar ponsel ke meja dan berhenti tepat di depan Ria.

"Begitu caranya mengirimkan pesan untukku?"

Ria tidak menoleh saat tahu suara siapa yang didengar olehnya.

"Kamu yang menyuruhnya?"

"Apa ini menjadi masalah?" Ria tidak menyentuh ponsel Wira.

"Jadi tidak menurutmu? Aku tidak mendidiknya seperti itu."

"Kurang dari 12 tahun, bisakah disebut mendidik?" cukup tenang sikap Ria. "Kecewaku tidak lebih besar dari anak-anak." terlebih mereka sudah besar.

"Selama ini mereka tidak membuat keributan."

Benar karena Sam menuntutku, bukan kamu.

"Ini kurang ajar." Wira marah, mengambil ponselnya kembali ia memperlihatkan pesan teks pada Ria.

Aku laki-laki, ke manapun langkahku wali tidak begitu penting. Tapi tolong hargai wanita yang telah melahirkanku.

Dalam dan penuh makna, Sam sudah dewasa. "Maafkan dia."

Ria memalingkan wajah dari pesan tersebut ketika layar kembali terkunci, ada wajah seseorang di layar kunci ponsel Wira. Wajah wanita yang begitu dipuja suaminya.

"Kamu mengeluh di depannya?"

Sekalipun tidak pernah, menangis pun tidak Ria lupa kapan terakhir kali dia menangis.

Wira meninju tembok di samping, ia tidak memiliki prasangka untuk Ria tapi sikap Sam yang membuatnya terpaksa menuduh wanita itu.

"Di mana dia?"

"Pergi." Ria kembali menengguk minumannya, matanya sayu ingin terpejam tapi dia harus menjawab tanya dari Wira.

"Apa katamu?"

Ria mengangguk sekali membenarkan jawaban yang diberikannya, tubuhnya kian lemas.

"Dia tidak mengatakan padaku?"

Di mana Sam bisa menemuinya, Wira tidak pernah mengaktifkan ponsel setiap kali keluar rumah.

Kali ini Ria tidak menjawab, alkohol membuatnya tertidur bukan di bangku tapi tubuh itu jatuh ke bawah membentur lantai dan Wira yang masih marah enggan membantunya. Meninggalkan Ria laki-laki itu masuk ke kamar.

Tinggalkan jejak sayang,

Sudah dapat feel-nya? Ini ditulis dengan segenap rasa, jadi jangan lupa tekan love ya.

Maaciihh

Diamku Di Atas DustamuWhere stories live. Discover now