11

4.6K 729 58
                                    

  Menjadi budak istrinya, Wira tidak percaya jika ucapan ibunya terjadi. Dia butuh uang sedangkan semua harta tetap atas nama Ria terkecuali mobil tapi ibu sudah mengambil satu-persatu miliknya dan satu-satunya cara adalah membuat wanita itu hamil dan itu juga masalah besar kedua yang dihadapi Wira.

"Aku tidak memegang suratnya." Ria tidak tahu siapa dan kapan yang menggeledah rumah. "Cari saja sendiri," katanya lagi ketika Wira meminta surat mobilnya.

Melihat suami yang kucar-kacir karena wanita lain menyakitkan, Wira bertindak di luar nalar dibandingkan Aundy istrinya yang lebih berhak diperhatikan, sekarang tahukah pria itu keadaan hati Ria? 

Ini baru permainan awal ibu mertua entah bagaimana kacau ayah anak-anaknya jika Ria ikut turun tangan. Dulu bisa melakukan apapun, harta dan tahta di tangan semua mudah tapi sekarang? Ibu sudah mengambil semua yang pernah dipercayakan padanya, masih memiliki nurani karena Wira masih bisa pulang ke rumah.

"Kalau begitu jual tanpa surat."

"Jangan memerintahku." Ria tidak membeli mobilnya dengan uang Wira rasanya tidak berhak laki-laki itu menyuruhnya. 

"Aku seperti ini juga karena kamu."

Diamnya Ria tidak memberikan tanggapan tidak akan membuat Wira mengerti kalau dia membuka mulut maka akan terjadi pertengkaran dan Ria sudah lelah dengan pertengkaran yang menguras emosi, bisa-bisa merubahnya seperti monster.

"Kamu takut pergi, karena apa? Masih mencintaiku?"

Ria tidak akan terpancing.

"Kurang dengan sikapku yang tak pernah lagi menyapamu?"

Dia sedang memohon sekaligus menghina.

"Bukan enggan tapi memang tidak ingin lagi melihat apalagi menyentuhmu."

Menginjak seolah lupa dulu pernah merangkak, Ria tidak akan bersimpuh memohon Wira diam untuk tidak menghinanya lagi, mentalnya tidak akan mati karena kata-kata di atas tak lebih menyakitkan dari dustanya. Tak perlu diperjelas dengan kata-kata sebagai wanita dewasa Ria paham kenapa Wira tidak menyentuhnya lagi mama Sam juga sudah mengembalikan kata-kata itu kemarin jadi percuma.

"Mas lupa sepertinya." ini yang tidak disukai oleh Ria, setiap ada masalah atau kepentingan dari ibu mertua dengan mudahnya Wira mengajaknya bicara sudah cukup, Ria tidak akan menanggapinya lagi. "Mas yang memutuskan kita tidak saling sapa lagi."

"Kalau begitu kenapa tidak pergi saja?"

"Aku seorang ibu, punya alasan untuk tinggal. Bukan jalang sepertinya." Ria tidak bertanya kenapa bukan Wira yang pergi karena tahu suaminya pengecut.

Ditinggal begitu saja oleh istrinya Wira menghancurkan sebuah guci tidak jauh darinya sebagai bentuk pelampiasan kemarahannya. Jika Ria tidak bisa ibunya lebih-lebih, Wira tidak bisa diam saja karena Ria keadaan Aundy seperti ini disebabkan wanita itu juga semua miliknya disita. 

Tidak adakah harga diri wanita itu, kurang jelas apalagi sikapnya?

Selama Wira di rumah dengan kekurangannya saat ini tidak ada yang berubah dengan Ria, masih menyiapkan sarapan dan makan malam untuk sendiri masih menurut pada titah Wira yang tidak ingin disiapkan apapun kebutuhannya. 

******

"Dia anak piatu, bukan--"

"Begitu?" sela ibu. "Kenapa memang kalau anak piatu, wajar melacur?"

"Ibu!"

"Masih belum cukup, katakan setelah uang apalagi yang harus Ibu ambil darimu?"

Wira mengusap wajahnya.

"Kamu boleh pergi atau membusuk dengan wanita itu setelah melihat istri dan anak-anakmu bahagia!"

"Aku tidak mencintainya lagi Bu, kumohon mengertilah." Wira akan bersujud agar ibu mau mendengar kata-katanya.

"Apa katamu?"

"Hubunganku dengan Ria sudah lama hambar, aku tidak punya lagi rasa untuk mama Sam."

Nama cucu disebut Wira tidak sadar bahwa dia telah menyiram minyak dalam api.

"Tidak punya rasa lagi ya?" ibu menatap tajam putranya, entah kebrengsekan siapa yang diwarisi Wira karena baik dari pihaknya juga ayah Wira tidak ada yang seperti dia. "Kamu juga sudah memastikan perasaan Ria?"

Bukan tidak sering ibu menasehati anak dan menantunya itu tapi lihat sekarang betapa kurang ajarnya anak itu.

"Mungkin, ini sudah bertahun-tahun Bu."

Plak! "Tahu Sam bilang apa ke Ibu?"

Ibu sudah tua tapi tamparan itu bertenaga, bisa dirasakan denyut di dahinya

"Kenapa Ibu punya anak sepertimu?" 

Wira terdiam, bukan mencerna tapi kata-kata putranya dianggap kurang ajar.

"Sam juga bilang, dia menyuruh Ria pergi. Ternyata dia juga sudah tahu?" bertahun-tahun, tapi Ria menutupi kebrengsekan putranya?

Setiap bulan puasa dan lebaran mereka datang, acara keluarga juga dihadiri satu kecurigaan pun tidak diciumnya.

"Ibu menyesal hanya mematahkan kakinya." tidak ada asisten di rumah saat itu dan Wira juga tidak mencurigai apa yang akan dilakukan ibunya.

"Syukurlah kalau Ibu menyesal." Wira sedikit tenang dan menunduk sambil mengela napas lega, sepertinya ibu akan membuka ha---"Aww!!"

Tongkat bisbol mengenai betis Wira bisa dirasakan ngilu ke tulangnya dan ini sangat sakit, wajah Wira memerah menahan sakit dan marah yang tidak bisa dilampiaskan.

"Doaku mungkin tidak akan tertolak, tapi hati ini." ibu menepuk dadanya. "Tidak ada Ibu yang rela melihat anak lelakinya terluka." kecuali dengan tangan sendiri dan berhak diterima Wira seperti sekarang.

"Kamu menyakiti Ria, istrimu. Wanita yang telah menggadaikan nyawa melahirkan kedua putramu!" ibu berteriak tanpa kehilangan kendali. "Demi wanita tidak tahu malu itu?"

Amarah itu tersampaikan, andai Wira tidak datang dan membeberkan fakta bertahun-tahun itu dia tidak akan semarah ini. 

"Harusnya bukan kaki---"

"Bu..." Wira tidak sanggup mendengar kelanjutan kalimat ibunya. Tidak rela bila Aundy disebut dalam kalimat senada dengan kutukan.

"Kamu tidak perlu takut pada Ibu, semua yang Ibu lakukan bisa kami lihat. Tapi istrimu." ibu tidak menyuruhnya berhati-hati melainkan, "Bersiaplah."

Bukan sekarang atau tahun depan dan saat itu terjadi semua orang tanpa terkecuali akan terguncang, itu yang dilihat ibu dari sikap menantunya.

Diamnya karena kecewa, bukan sehari atau sekali tapi berulang kali. Tampaknya baik-baik saja, namun hati di dalam tidak ada yang tahu. 

"Celah sempit dan berbahaya, kamu memilihnya."  sebelum meninggalkan putranya ibu melempar asal tongkat tersebut hingga mengenai dada putranya. Asal tapi bertenaga seperti disengajakan semua itu karena kecewa bahkan ibu tidak peduli pada rintihan Wira yang kesakitan.

Bertahun-tahun, maafkan ibu Ria. Anak kurang ajar!

Panggilan telepon dengan seseorang telah tersambung, kalau bukan sekarang maka beliau akan menyesal. Karena tidak ada itikad baik dari Wira dan Aundy terpaksa menempuh jalan ini.

Diamku Di Atas DustamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang