-12-

4.7K 735 40
                                    

  Pulang dalam keadaan kacau disambut dengan tatapan dingin istrinya Wira tidak ingin bertanya apalagi menjelaskan kondisinya sekarang. Oleh ibu kandungnya tidak diberikan kesempatan, niat baik ditolak mentah-mentah entah pelet apa yang dipakai Ria untuk wanita yang telah melahirkannya. Wanita ular, begitu anggapannya untuk Ria.

Mungkin tidak patah bisa jadi sedikit terluka karena jalannya tertatih, atau tulang rusuknya yang patah? Lemparan tongkat begitu keras menghantam dadanya ia pikir sudah mati mengingat benda tersebut mengenai jantungnya.

Pergi dalam keadaan sehat walafiat pulang dengan kondisi seperti itu sepertinya dia menemui orangtuanya mencari pembenaran, Ria tidak peduli.

Menurut Wira hidup Ria cukup makmur tidak seperti yang dikatakan ibunya kalau wanita itu tersakiti, ia sama sekali tidak melihat keadaan tak wajar. Malah sebaliknya, sekarang Wira yang tidak punya uang tampak seperti anak tiri menyampaikan kebenaran hati malah menjadi seperti ini.

Tidak ada yang dilakukan Wira di kamar, ia tidak tahu apa yang harus dilakukan pada dada dan kakinya, dia hanya punya dua tangan terlalu sulit mengusap bagian tubuhnya yang sakit. Wanita itu pasti sedang menikmati waktunya tanpa mau tahu keadaanku. Wira tidak bisa menerima sikap ibunya tapi juga tidak memiliki kuasa membantah. Lihat saja, ibu berani memukul dan bersikap kasar padanya karena Ria bukan tidak mungkin ibu juga akan membunuhnya kan?

"Kita tidak bisa bercerai bagaimana kalau pisah rumah saja?" keinginan yang tiba-tiba saja terlintas di benak disampaikan pada Ria.

Pria itu tidak bisa berpikir logis lagi, buktinya sekarang karena ada Ria di rumah itu dia masih bisa makan dan beristirahat bagaimana kalau mereka benar-benar berpisah? Wira takut pada ibunya tapi membenci Ria, baginya wanita itu tak lebih dari benalu dan racun dalam hidupnya.

"Silahkan." Ria tidak terlalu menanggapi, jika itu yang diinginkan Wira tapi bukan dirinya melainkan pria itu yang keluar dari rumah mereka. Mungkin kondisi sekarang belum mempan, jadi silakan lakukan apapun yang dia mau.

Jawaban yang diucapkan dengan tenang tanpa Wira tahu kepercayaan diri Ria  di hadapannya telah dihancurkan olehnya sendiri, satu hal yang seharusnya dijunjung tinggi dari seorang istri telah musnah hingga akhir sikap Ria sekilas terlihat mengerikan.

Andai hubungan terlarang itu belum tercium mungkin sekarang Ria masih melihat senyum mendebarkan yang bukan lagi miliknya, harum wangi juga canda mesra menggelikan dari mimpi ayah anak-anaknya akhir-akhir ini tidak terlihat lagi anehnya Ria belum melihat ini sebagai hukuman, tidak pantas jika hanya seperti ini mungkin begitu yang dipikirkannya.

"Aku tidak menyuruhmu bertahan dan kamu melakukannya juga karena itu." faktanya mereka sama-sama takut dengan pengasingan tapi Ria bukan orang yang tepat diasingkan karena tidak ada kesalahan yang dilakukannya.

"Cinta, tidak munafik kah kalau alasanmu itu?"

Ria tidak memberikan jawaban, sudah dikatakan ia tidak ingin berbicara panjang lebar dengan pria itu karena bukan solusi melainkan masalah lebih besar yang muncul.

"Atau anak-anak?"

Setelah hubungannya dengan Sam memburuk, tidak ada penyesalan dari pria tersebut.

"Sudah sejauh ini, tolong pakai akal sehatmu."

Rasanya percuma Wira bicara panjang lebar seolah ia sedang menasehati Ria sedangkan istrinya sama sekali tidak peduli, alih-alih menanggapi, melihatnya saja tidak. Profil seseorang di majalah bisnis lebih menarik dibandingkan pria dihadapannya.

Bukan tidak tahu maksud yang disampaikan tapi Ria lebih menunggu pengakuan bahwa Wira telah kalah. Ujung dari sebuah pengkhianatan adalah kehancuran, dan Ria adalah orang pertama yang diberikan pengalaman, selama itu dia hidup dalam bayang kesakitan tanpa pernah mengeluh pada siapapun termasuk orang tuanya.

"Sampai mati aku tidak bisa meninggalkannya."

Baris kalimat itu sanggup didengar Ria, bukan kali ini tapi berkali-kali ia mendengar pengakuan cinta tersebut. Dulu pernah bertanya ke mana hilangnya rasa suaminya karena tidak ada sebab dari Ria yang membuat rumah tangga mereka seperti ini tapi sekarang kata-kata itu tidak diperlukan lagi, Ria tidak perlu bertanya dan menangis seperti dulu lagi. Keadaan mengajarkannya banyak hal, salah satu cara dia mengembangkan dendam yang belum diputuskan kapan akan diledakkan.

"Benar bukan cinta." Wira masih bicara. "Kamu biasa saja, tidak mau tahu apa yang terjadi padaku."

Mungkin jawaban Ria dulu adalah pernahkah Wira tahu keadaannya, ketika Ria butuh dukungan suaminya malah sibuk dengan urusannya sendiri, ke luar kota meninggalkan Ria tidak pulang berhari-hari sampai membuat mama Sam khawatir ada lagi ketika dirinya dirawat hanya ibu mertua yang menjaga. Kira-kira se-hancur apa perasaannya saat dia tahu ternyata fokus suami sudah teralihkan pada wanita lain?

Dulu Ria juga bertanya, apa yang kurang darinya kenapa Wira berpaling padahal hubungan mereka selalu hangat, hingga akhirnya dia tahu ada wanita lain yang manjadi duri dalam rumah tangga mereka.

Saat itu Ria diam saja? Tidak. Wanita itu memberontak, mengatakan dengan jelas jika yang dilakukan suaminya salah tapi apa Wira peduli? Sama sekali tidak, dengan caranya pria itu menekan Ria, menjadikan istrinya seperti manusia tak bernyawa terakhir apa yang dikatakan Wira?

"Diam, ini lebih baik untukmu."

Mulai saat itu Ria menurut, dia diam. Bukan tanpa sebab, Wira membunuh kepercayaan dirinya membandingkannya dengan wanita yang belum dikenal Ria saat itu menjatuhkan harga diri hingga istrinya tidak memiliki pegangan. 

Salah mungkin karena dulu Ria se-bodoh itu tapi lihat sekarang siapa yang sedang menuai hasil pengkhianatan?

"Mungkin kamu pikir aku tidak bisa bertahan hidup lagi setelah cara licikmu."

Dari sekian banyak kata-kata yang dilontarkan hanya ada satu pesan dari ibu mertua yang diperlihatkan Ria pada suaminya.

Kamu jahat Mas, ayah tidak tahu apa-apa kenapa orang tuamu kejam sekali? Aku hanya memiliki Mas dan ayah di dunia ini.

Bukan hanya Wira yang mendengar pesan suara yang diteruskan ibu, mendalam sekali kata memiliki itu. Tidak masalah untuk seorang ayah, tapi Wira?

Di tempatnya Wira tertegun dengan mulut terkatup rapat, tangis kekasihnya begitu memilukan ia bisa menebak apa yang terjadi. Belum lama pulang dari rumah orang tuanya sekarang dia mendengar kabar buruk lagi?

Satu dusta untuk satu luka, bagaimana, cukup adil kan? Itu versi ibu mertua. Sedangkan versinya bisa saja di luar nalar. Misalnya satu dusta untuk satu batu nisan.

Diamku Di Atas DustamuWhere stories live. Discover now