Debaran rasa -2

4K 484 17
                                    

Pagi itu Sam dikagetkan dengan pemberitahuan Jinan, wanita itu mengatakan bahwa dirinya sudah berbicara dengan Ria dan menolak hadiah pernikahan tersebut.

Sam murka tidak menyangka Jinan akan seberani itu.

Jinan bukan anak kuliahan dia juga wanita karier rasanya mustahil punya sikap kekanakan seperti itu.

"Orang tua Mas sama sekali tidak keberatan, mereka juga tidak memaksa."

"Menurutmu sopan bersikap seperti itu?"

"Aku berbicara dengan sopan, kalau Mas tidak percaya tanyakan mama." Jinan tidak membela diri, dia sudah mengatakan pada suaminya untuk menolak hadiah tersebut tapi malah ditinggal tidur oleh pria itu.

"Seandainya orang tuamu yang memberikannya aku tidak akan menolak."

"Cara kita menghargai beda, aku bisa maklum."

Arghhh, mereka baru pulang dari bulan madu dan harus berdebat Karena masalah ini.

"Mas tidak menungguku mengatakan pada Mama kalau kita akan pindah kan?"

"Akan kuurus." Sam tidak ingin memperpanjang obrolan ini, yang ada malah akan salah paham nanti.

Sam akan bicara dengan mama nanti dia harus minta maaf atas sikap Jinan. Sam lebih mengerti mama, meski Ria tidak marah ia harus mengklarifikasi masalah ini.

Ria tidak memasukkan ke hati ucapan menantunya, seperti biasa pagi ini dia bersiap sarapan. Makanan sesuai selera sudah tersaji, Ria menyuruh pembantunya memanggil Sam dan istrinya sedangkan Cakra sudah turun sejak tadi.

"Mas yakin tidak mau sarapan?"

"Iya." bukan karena marah tapi selera makannya sedang tidak bagus.

"Kita ke dokter jam 10.00 nanti," kata Ria. Mungkin karena pola makan selamat tinggal di desa tidak bagus, takutnya kena magh.

"Aku tidak apa-apa."

"Tetap harus diperiksa, katanya mau hidup lebih lama denganku."

Wira tersenyum. "Iya, kita pergi nanti." ia merentangkan tangan agar sang istri memeluknya. "Temani anak-anak sarapan, bilang aku lagi diet."

Wira tidak ingin membuat anak-anaknya khawatir dan Ria tahu caranya.

Bukan hanya pelukan dan Ria memakluminya.

"Aku turun ya," kata Ria setelah melepaskan pagutan bibirnya.

"Jangan lama-lama."

Istrinya tidak pergi jauh tapi ia selalu merasakan rindu pada wanita itu.

Kedua anak dan menantunya sudah berada di meja makan, Sam yang pertama kali menanyakan papa.

"Papa sedang diet."

"Ada masalah dengan kesehatannya?"

"Tidak," jawab Ria.

Namun begitu Sam tetap tidak tenang, setelah sarapan dia akan menemui papanya.

Apakah ada kaitan dengan masalah semalam? Sam tidak bisa menelan roti di mulutnya. Sedangkan Jinan biasa saja, wanita itu menikmati sarapannya karena memang merasa tidak ada masalah.

"Papa Aldo juga diet Ma, tapi beliau diabet." Cakra sudah selesai sarapan. "Kata dokter, bagusnya memang diet. Semoga papa tidak kenapa-kenapa."

"Amiin," ucap Ria dan Sam serempak.

Saat Jinan ingin memberi kode tepat sekali Sam juga sedang menatapnya, mereka semua membahas keadaan pada dan istrinya hanya diam alhasil kode yang tidak ditanggapi Sam diperjelas oleh istrinya.

"Bukankah ada yang ingin Mas katakan pada Mama?"

"Akan kita bahas nanti, papa sedang tidak sehat." Sam masih kepikiran pada papa yang tidak sarapan bersama pagi ini.

"Ada apa?" tanya Ria dengan ramah pada menantunya.

"Kami akan pindah lusa, Ma."

Owh. Ria sedikit terkejut tapi tetap tersenyum tanpa terlihat dipaksakan ketika mendengar jawaban menantunya.

"Baik, sudah seharusnya kalian mandiri."

Ria belum tahu karakter menantunya tapi dia yakin Jinan wanita baik, mungkin cara komunikasinya yang berbeda.

Jinan mengangguk, lantas menatap suaminya namun tidak ada sepatah katapun yang terucap dari bibir pria itu.

Cakra tidak pernah ikut campur dalam pembicaraan orang tuanya atau kakak dengan kakak iparnya, dia akan menanggapi jika mereka menyebutnya. Menjadi bukti bahwa Ria mendidik anak-anaknya dengan baik.

"Aku ke kamar papa dulu," kata Sam pada Jinan setelah menghabiskan sarapannya. Ia ingin memastikan kalau papanya memang tidak kenapa-napa.

Jinan melirik arlojinya, mereka hanya punya waktu tiga puluh menit untuk perjalanan ke kantor. Tatapan wanita itu diperhatikan oleh Ria, semoga tidak terjadi apa-apa di antara mereka, harap Ria dalam hati.

Wanita itu belum meninggalkan ruang makan ia masih menunggu Sam turun dari kamar papa. Sementara Ria membantu bibi membawakan piring kotor ke wastafel. Ketika Ria menoleh, ia masih melihat menantunya menunggu Sam dengan tatapan masih tertuju ke arah kamarnya.

"Sudah terlambat ya sebentar Mama panggilkan Sam."

"Tidak apa-apa Ma." Jinan berkata dengan ramah. "Aku akan menghubunginya nanti."

Jinan pamit dan bergegas pergi sambil menjawab panggilan teleponnya. Wanita itu tampak buru-buru,Ria bergegas ke kamar untuk memanggil putranya.

"Papa tidak berhak menilai seperti apa istrimu tapi Papa mohon dengan sangat, cukup Papa yang menjadi beban pikiran Mama-mu."

Ria sudah membuka pintu tapi mengundurkan niat masuk.

"Demi kalian mungkin mama diam, tapi percayalah dia mengkhawatirkan keadaanmu dan istrimu. Bicarakan dengan baik."

Ucapan suaminya menyentuh hati Ria.

"Baik Pa."

Ria kembali ke dapur ketika merasa pembicaraan ayah dan anak itu selesai.

Sebelum itu mereka pasti setelah bicara banyak, Ria tidak akan bertanya.

Saat melihat istrinya tidak berada lagi di dapur Sam akan naik ke kamar tapi Ria memberitahunya.

"Istrimu sudah pergi tampaknya buru-buru."

Sam mendekatu Ria dan memeluknya. "Mama tidak apa-apa kan kalau aku pindah?"

Ria mengusap sayang punggung putranya, ia mengerti bagaimana perasaan Sam sekarang.

"Tentu tidak."

Ketika melepaskan pelukan Sam menatap wajah mama yang masih cantik, ia teringat kata-kata papa dan benar, tidak ada yang mencurigakan dari raut wanita yang telah melahirkannya.

"Kamu akan terlambat berangkatlah."

"Cakra?"

"Masih di kamar, mungkin sebentar lagi."

"Aku akan berangkat dengannya." Sam tersenyum pada mama lantas naik ke kamar untuk memanggil adiknya.

Setelah setengah memaksa baru papanya mengaku bukan karena diet tidak ikut sarapan tapi selera makannya yang terganggu.

Sam yakin, papa kepikiran setelah pembicaraan semalam. Pria itu tahu akhir-akhir ini Papa begitu menjaga perasaan mama, bisa dilihat dari perubahan sikapnya jika ada sesuatu yang bersinggungan dengan perasaan mamanya.

"Biarkan mereka pindah." Wira menggenggam tanganngan istrinya. "Mereka butuh ruang gerak dan privasi, sama seperti kita."

Benar, karena itu Ria pernah mengatakan di awal pernikahan putranya untuk jujur jika Jinan tidak lagi nyaman tinggal bersama mereka, dia akan ikhlas melepaskan sebagai bentuk menghargai rumah tangga putranya.

"Aku tidak pernah melarangnya, bagiku kebahagiaan mereka paling penting."

Diamku Di Atas DustamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang