-17-

4.7K 670 75
                                    

Ini seperti menunggu detik-detik eksekusi Kematian, jika tadi Wira berada di rumah yang dikontraknya untuk Aundy maka sekarang pria itu tengah berada satu mobil dalam perjalanan pulang. Bukan hanya ada Ria, di rumah tersebut dua orang kepercayaan ibunya juga berada di sana tak ada sapa untuk Aundy hanya bisa menatap wanita itu juga kerinduan di sirat matanya.

Sebelum menyusul Ria beberapa saat lalu terlebih dulu Wira melihat dokumen keberangkatannya, tidak ada lagi harap yang bisa diselipkan dalam kata bahkan untuk menyapa saja tidak sanggup. Kuasanya telah diambil dia hanya seonggok jasad yang akan segera tertimbun tanah merah.

"Aku tidak melihat kesakitanmu melepaskanku."

Bukan Ria tapi Wira sendiri yang memilih jalan itu.

"Padahal kamu tahu, bibi meninggal di sana."

Kenapa hari ini di mana semua telah diputuskan?

"Bahkan aku belum bisa menghubungi Sam."

"Siapkan saja dirimu, anak-anak tidak perlu tahu semua keadaan kita." rasanya tidak rela mengusik waktu juga kesibukan Sam dan Cakra.

"Mereka akan bertanya."

"Orangtuamu akan menjawab jelas dengan detailnya."

Wira meneguk ludah. Perlahan kepala yang tadinya menoleh ke sisi jendela kini melihat ke samping di mana Ria berada.

Aku yang memilihnya setelah menjalani proses kenalan hingga pacaran lalu dengan berani mempersuntingnya karena sama-sama sudah saling menerima, tapi aku tidak tahu apa yang dipikirkannya dengan raut datar itu. Bukan satu tahun tapi kenapa se-cepat itu pudar rasaku?

Wira ingat pernikahan mereka yang adem dan harmonis bahkan saat Ria mengandung putra mereka. Setiap akhir pekan menginap di rumah orangtuanya, belum lagi ketika liburan, banyak hal manis dan baik yang dilewatkan oleh keduanya.

Ah.... apakah semua orang yang akan mati akan mengingat masa lalu mereka?

Mata Wira masih menatap wajah Ria dari samping, entah berapa lama tidak melihat wanita itu seperti ini. Lantas ia tersenyum teringat bahwa ada Aundy yang menarik perhatiannya selam ini gadis muda dengan segala pesonanya. Tapi kenapa Ria lebih indah?

Wira mengetuk kepalanya, aku merindukan Aundy sampai seperti ini. Sayangnya mata itu kembali menyorot wajah mulus dan putih dengan rona cantik. Anting berlian mungil mengapit di ujung telinga, Wira meneguk ludah. Aku perlu bertemu Aundy.

Aundy lebih cantik, muda, energik, manja dan mandiri saat otak memaksa memikirkan wanita itu matanya kembali melirik ke samping.

Tidak ada kerutan di wajahnya, tepatnya tidak ada cela yang bisa dihina semua tampak sempurna. Hidung Ria, dulu aku suka mengecup ujungnya dan pipi itu aku suka menempelkan wajahku di sana belum lagi bibir. Arghh....!

Tanda-tanda kematian semakin dekat. "Kamu melakukan operasi plastik?" bukan hanya itu, cara duduk Ria juga masih tegak tak terlihat seperti ibu-ibu pada umumnya.

Sejauh itu Wira meninggalkan Ria, enam tahun lebih ia hanya pulang tanpa sedikitpun melihat istrinya. Mungkin bayangan Ria telah tua adalah imajinasi tak dianggap karena hanya ada Aundy di dunia nyata.

Ria tidak memberikan jawaban tidak bingung dengan pertanyaan itu dan tak juga mau tau jadi cukup membalas sekali tatapan suaminya.

"Ehm!" Wira melihat kiri-kanan, bulu kuduknya merinding apakah malaikat maut sudah mengintai?

Sementara Ria tidak tertarik memperhatikan Wira, melihat jalanan yang dipadati kendaraan menjadi opsi. Tidak ada yang ingin dibicarakan apalagi ditanyakan pada pria itu, seperti ini saja sudah cukup selagi menunggu tiba di rumah.

"Sebelum ke sana." bayangan pengasingan tak henti melintas di benaknya. "Aku ingin melihat Sam dan Cakra."

"Tidak ada waktu lagi." Ria yakin Sam tidak mau bertemu Wira jadi percuma. "Kalau bukan besok, berarti lusa."

"Secepat itu?"

"Mas sudah menunggu lebih dari enam tahun."

Mudah sekali dia bicara seperti itu? Ini tentang nyawa, bisakah nuraninya dipakai?

"Perjanjian itu mengerikan."

"Karena itu aku berusaha setia."

Kata-kata telak yang tak bisa dibalas, aku tidak mau mati dulu bagaimana dengan Aundy?

Mobil memasuki perkarangan rumah, sudah ada ibu di teras seperti menunggu kepulangan mereka.

"Dia pingsan atau ingin bunuh diri?"

Wira yang mendengar tanya itu dan tahu siapa yang dimaksud ibunya hanya bisa diam karena bukan padanya tapi pada Ria ibu bertanya.

"Tidak Bu," jawab Ria lantas mengajak ibu mertua masuk.

Aku belum jadi mayat, kenapa ibu tidak melihatku sama sekali?

Wira belum berada di pengasingan tapi mulai merasakan kesendiriannya, menyusul masuk ia juga tidak disapa dan mulai bingung sendiri. Memutuskan masuk ke kamar setelah merasa diacuhkan oleh ibu juga istrinya.

Di kamar ponselnya tergeletak tapi ia tidak ingin menyentuhnya. Besok atau lusa begitu kata Ria tadi, semakin dekat kah dengan kematian?

Apa yang kutunggu, Ria? Kami tidak menempati kamar yang sama lagi, lalu apa, makanan? Aku sendiri yang tidak ingin menyentuh masakannya lagi. Bagaimana dengan sapa, aku tidak akan melakukannya lagi itu yang kutekan sejak hati memilih Aundy.

Ah, Aundy harusnya cukup memikirkanmu semuanya menjadi tenang kan namun kenapa aku tidak menemukan kedamaian seperti selama ini?

Kepalanya terangkat melihat sebuah bingkai besar menggantung di dinding di mana ada potret dirinya dan Ria di sana. Mereka tersenyum bahagia, saling bergenggaman tangan seolah tak ingin melepaskan.

Aku sering tersenyum bahkan tertawa lepas bersama Aundy tapi aku tidak ingat kapan terakhir kali Ria tersenyum.

Sigap Wira bangun ketika mendengar ketukan pintu kamar.

"Ini." Ria menggeret sebuah koper yang telah disiapkan ibu mertua untuk Wira. "Makan malam lebih awal, Mas akan dijemput jam delapan."

Ketika Ria sudah berbalik Wira menahan lengan wanita itu. "Untuk terakhir kalinya tidak ada yang ingin kamu katakan?"

Ria tidak menoleh untuk melihat Wira, ia melepaskan cekalan tangan suaminya. Kata-kata seperti apa yang ingin didengar Wira? Selama ini sudah diam di atas dusta pria tersebut, Ria diam atas titah suaminya dan dia diam untuk dirinya.

Setelah itu dia melanjutkan langkah ke depan menuju ke kamarnya. Ria tidak akan menoleh sekadar melihat untuk yang terakhir kali seperti keinginan Wira, enam tahun dia terus menoleh bahkan pulang ke rumah yang sama dengan harapan baik tapi Wira tidak pernah merespons.

Besok dan lusa masih ada waktu beberapa saat lagi, tapi jam delapan malam, napas Wira tersendat membayangkan malaikat maut memisahkan nyawa dari jasadnya.

Diamku Di Atas DustamuWhere stories live. Discover now