Cakra - 3

1.8K 312 23
                                    

 "Aku datang untuk melihat keadaan mas Axel."

Karena sering datang ke basecamp tentu saja Zuby mengenal anggota di sana sekarang sedang dalam pertimbangan untuk bergabung dengan komunitas itu. Nuha masih menjadi anggota di sana hanya saja sekarang dia sedang cuti menunggu detik kelahiran anak pertama.

"Mas ke mana tadi?"

"Kebetulan bertemu seseorang." 

Cakra dan Zuby sudah berada di luar ruang rawat Axel tepatnya di koridor rumah sakit setelah melihat keadaan Axel.

"Kamu naik apa ke sini?"

"Taksi, tahu ini juga dari mba Nuha."

Cakra mengangguk. Langit sudah mulai senja memamerkan keindahan ufuk merah keemasan. Beberapa teman mulai berdatangan yang tadinya menunggu kini telah pulang karena mereka akan bergantian berjaga sampai orang tua dan keluarga Axel tiba.

"Mau kuantar pulang sekarang? Takut kemalaman di jalan, nggak bagus buat anak gadis."

Zuby tersipu, bisakah gadis itu menganggap bahwa ini sebuah perhatian?

"Baik." sebagai bentuk menghargai Zuby menerima tawaran Cakra. 

Mereka berjalan beriringan melewati koridor rumah sakit menuju ke area parkir rumah sakit.

"Karena Mas sudah mengantarku bagaimana kalau aku traktir makan malam?"

Cakra tidak lapar. "Baik." pria itu tersenyum membuat gadis di sampingnya tak berkedip melihat betapa menawannya senyuman itu.

Zubi tidak melupakan batas yang telah ditarik Cakra dia juga tidak berjuang mendapatkan hati laki-laki itu lagi, sekarang dia hanya melakukan kata hatinya tanpa sedikitpun memaksa. Berteman seperti yang dikatakan Cakra, memang menyedihkan mengingat perasaannya pada laki-laki itu begitu kuat. Zuby mengembalikan pada sang kuasa, berjodoh atau tidak dengan adik ipar sepupunya ia tetap akan menjalin hubungan baik.

Tiba di sebuah restoran sederhana menyajikan lauk Nusantara mereka memilih duduk di lesehan agar lebih menikmati hidangannya. 

Cakra belum menyentuh makan malam tersebut dia teringat pada seseorang yang ditemuinya dan sedang dirawat di salah satu ruangan rumah sakit yang sama dengan Axel, apakah dia sudah makan?

"Kamu sering ke sini?"

Zuby mengangguk. "Seringnya dulu sama mbak Nuha, apalagi kalau sudah dapat kiriman."

Tawa Cakra terdengar indah di telinga Zubi, pria itu ikut senang padahal tidak ada dia ketika Zubi dan Nuha makan di restoran itu setelah dapat kiriman uang dari kampung.

"Dia enggak pelit tapi cukup perhitungan untuk pengeluaran tidak penting."

"Tapi tetap royal kalau lagi ada teman-temannya," timpal Cakra. Sekarang giliran Zubi yang tertawa, mereka sama-sama mengenal Nuha.

Andai Cakra belum membuat batas ingin sekali Zubi menyinggung bahwa laki-laki itu terlebih dulu menyukainya dia juga ingin membahas arti suka yang pernah dimiliki oleh adik ipar sepupunya.

Obrolan seru harus terjeda ketika Zubi mendapat panggilan dari orang tuanya, gadis itu tidak menjauh ia mengangkat panggilan tersebut di depan Cakra.

"Kenapa terburu-buru?" tanya Zubi pada orang tuanya, raut gadis itu tidak se-cerah tadi. Ia mengaduk nasi di piring, rasanya tidak enak lagi.

Kini dia tidak bersuara lagi memilih mendengarkan kata-kata ibunya dari seberang, semangatnya seperti tersedot sedikitpun tidak ada senyum di wajah cantiknya.

Cakra juga merasakan perubahan ekspresi gadis itu. "Sesuatu terjadi?" tanyanya setelah beberapa menit Zubi meletakkan ponsel di meja.

"Aku dijodohkan, besok ibu menyuruhku pulang."

Baru beberapa saat lalu cintanya ditolak secara tidak langsung oleh laki-laki yang telah mencuri hatinya kini ia harus mendengar bahwa ada seorang pria yang akan dijodohkan dengannya, lengkap sudah bumbu hidup Zubi.

Cakra terkejut mendengar jawaban Zubi, ia tidak memberikan tanggapan apapun. Jauh di lubuk hati merasakan sebuah cengkraman yang jelas tidak nyaman. Terasa aneh, dia tidak merasakan apa-apa ketika membuat batas antara dirinya dengan Zubi tapi kenapa saat mendengar bahwa ada seorang pria yang akan dijodohkan dia tidak rela?

Mungkin ini sisa perasaan yang pernah ada.

"Aku perlu memberitahu sepupumu perihal ini?"

Zubi menggeleng, semangatnya benar-benar padam. "Aku akan pulang dulu dan mengenal laki-laki itu."

"Oke." Cakra tersenyum dan rautnya memperlihatkan bahwa dia baik-baik saja.

******

Cakra tidak melupakan mantan kakak iparnya yang sedang dirawat di rumah sakit, selesai membersihkan diri dan berganti pakaian dia kembali ke sana. Bukan Jinan melainkan Axel yang pertama kali dijenguk oleh laki-laki itu, setelah hampir satu jam bersama rekannya barulah Cakra menuju ke ruangan Jinan.

"Beliau sudah pulang."

Cakra ingin menertawakan dirinya. Saat pulang ke rumah tadi dia buru-buru membersihkan diri dan bergegas ke rumah sakit. Cakra menyadari apa yang dilakukannya hari ini, masih aman karena belum keluar dari batasannya tapi logikanya mengatakan bahwa ini salah.

Tidak seharusnya dia khawatir atau peduli pada mantan kakak iparnya.

"Terimakasih." Cakra menatap kosong pada brankar yang sore tadi ditiduri Jinan. Tidak sulit melacak keberadaan wanita itu, Cakra memiliki akses.

Pertanyaannya, untuk apa? 

Pulang dan istirahat! Selagi belum bisa memahami tindakan hari ini lebih baik jangan berani dulu mengambil sikap selanjutnya. Itu titah otak. Balik kanan putar jalan, dia bukan siapa-siapa.

******

Kenyataannya Cakra pernah menyukai seseorang tapi bisa mengendalikan sikap, saking takutnya dianggap mempermainkan perasaan wanita Cakra menjauh hanya bertanya keadaan pada seseorang yang mengenali wanita itu. Lalu bagaimana sekarang? Dia yakin tidak menyukai mantan kakak iparnya itu apalagi jatuh hati tapi kenapa ingin mengetahui segala sesuatu tentang Jinan?

"Gila!"

"Aku rasa juga seperti itu." Cakra setuju dengan pendapat singkat temannya. "Apakah aku harus menemui psikiater?"

"Belum tahap itu kali!" Jaivan tersenyum geli. "Aku tahu usia perbedaan kalian tidak begitu jauh, tapi bagaimana dengan orang tuamu? Masa lalu mereka tidak baik."

Karena Cakra sudah menceritakan bagaimana hubungan mantan kakak iparnya dulu dengan orang tuanya. Cakra memilih teman laki-laki untuk curhat, karena kalau meluahkan isi hati pada wanita yang ada mereka baper.

"Orang tuamu mungkin akan memendam alasan tanpa menolak jika kamu memilih memulai, lalu bagaimana dengannya, kegagalannya dulu dengan kakakmu karena dia tidak menyukainya keterlibatan orang tua."

Itu PR yang besar.

"Mencintai wanita dengan apa adanya biasanya mudah melupakan, yang kamu mulai sekarang bukan cinta."

Cakra tidak mengerti.

"Sadar atau tidak kamu penasaran dengan pesonanya, itu terjadi dengan tiba-tiba."

Apa? Cakra tertawa. "Tidak mungkin, pesona apa maksudmu?"

"Aku juga tidak tahu, kamu bisa mengabaikan dan mulailah dengan tidak mempedulikannya. Kalau berhasil----"

"Setelah perceraian mereka aku tidak pernah lagi bertemu dengannya, bagaimana bisa aku tertarik dengan pesonanya?"

Cakra bingung dengan pernyataan Jaivan. 

Jaivan mengendikkan bahunya. "Ini belum terlambat, jadi lupakan seperti kakakmu yang sudah melupakannya."

Baiklah, demi kebaikan bersama juga menghindari hal yang tidak diinginkan Cakra akan melupakannya.

Kalau bisa pulang lebih awal, Mama baru mendapat kabar ibu mantan kakak iparmu meninggal.






Diamku Di Atas DustamuWhere stories live. Discover now