-7-

5K 782 35
                                    

Eksekusi ibu mertua

Jika ada yang bertanya untuk apa Ria bekerja padahal berasal dari keluarga kaya raya ditambah warisan suaminya yang melimpah tak akan membuatnya hidup susah, jawabannya adalah sebagai pengakuan diri setidaknya ada orang di luar sana yang menghargai karena di rumah ia bukan suri melainkan duri. Yah, begitu anggapan Wira untuknya.

Janji Wira kemarin disaksikan Ria, jangan lupa semesta juga hadir.

"Kamu tidak berniat pergi?"

Akhir pekan sering dihabiskan di rumah, bukan seperti kebanyakan istri lainnya yang mencoba resep baru mungkin atau membersihkan rumah bersama pasangan yang dilakukan Ria adalah menonton di ruang keluarga dan hal yang sering dilakukannya kini diprotes oleh Wira.

"Ke mana mungkin."

Bicara dengan Ria tapi tatapannya tertuju pada layar ponsel, dan Ria tahu sedang apa suaminya itu.

"Bukankah Mas yang sering pergi." Ria tidak butuh jawaban, kebiasaan ini dibentuk oleh Wira. Dulu ketika pertama kali Wira jatuh cinta pada wanita muda itu dia masih menghabiskan waktu di rumah seiring berjalannya waktu hubungan mereka semakin serius dan mulai saat itu Wira tak pernah lagi berada di rumah setiap akhir pekan. Hari-hari biasa juga tak lagi sama, perutnya sering kenyang dan pakaiannya selalu berbeda saat pulang namun begitu Ria masih menyiapkan pakaian Wira.

Mungkinkah Wira sudah menikah lagi? Dulu iya, Ria sering memikirkannya tapi sekarang tidak lagi. Konsekuensinya besar, wanita itu yakin Wira akan berpikir panjang untuk satu hal itu.

Wira tidak menjawab lagi, inginnya Ria pergi kalau bisa kembali sore. Tidak mungkin ia melakukan video call sepanjang hari di kamar.

Bukan tidak sadar gerak-gerik orang yang sedang jatuh cinta tapi Ria tidak tertarik memperhatikannya. Rumah tangga mereka bukan dimulai satu atau dua tahun yang lalu, entah dengan suaminya, namun Ria mengenal baik gelagat laki-laki itu.

Sekilas film aksi itu seru melihat ketenangan Ria saat menontonnya seolah sedang menghayati nyatanya anggapan Ria tak lebih dari sebuah iklan yang berganti objek.

Di ruang tengah Ria menonton sedang Wira duduk tidak jauh darinya, selama ini laki-laki itu tidak pernah terang-terangan menghubungi kekasihnya di hadapan Ria. Sekadar chat mungkin, tapi senyum merekah pertanda hati bahagia tersiarkan hingga Ria tahu bahwa bukan dirinya lagi pemilik hati ayah anak-anaknya.

Sekalipun Ria tidak pernah lagi berfirasat buruk setelah berdamai dengan hatinya, berzina atau tidak baginya Wira sudah kotor karena itu dia harus mencari alasan tepat agar ibu mertua tak lagi meminta hal yang tidak bisa dikabulkannya.

Dari tempatnya Wira memperhatikan Ria, tayangan di layar televisi mereka sedang tegang namun Ria tampak tenang tidak sedikitpun takut. Wanita itu juga tidak bergerak, tenang seperti sedang menikmati alunan musik sendu. Terserah, Wira tidak peduli.

"Kalau ibu datang bilang saja aku sakit dan tidak mau diganggu," kata Wira yang ingin masuk ke kamar.

"Cara Mas mengatasi masalah ini, salah besar." Ria bukan ingin menasehati Wira. Sebaliknya dia sedang memperingatkan sikap suaminya.

"Jangan sok bijak."

"Mengatakan pada ibu akan meninggalkannya." Ria mengulang dusta yang diucapkan Wira. "Mas menunggu keajaiban?"

Perjanjian pra nikah benar-benar sudah dilupakan oleh Wira atau laki-laki itu hanya memegang poin penting tak lain adalah pengasingan, harusnya dia tahu proses menyakitkan itu. Bukan hanya keputusan orang tua Wira, mama papanya juga ikut andil.

"Mau berpikir sekarang atau nanti, karena sampai detik ini orang tuaku tidak tahu apa-apa."

Rahang Wira mengerat, tangannya mengepal detak jantung dengan elaan napas penuh amarah.

"Kamu mengancamku?"

Untuk apa? Sama seperti Wira, ia pun enggan menatap apalagi bersentuhan dengan laki-laki itu. Jadi untuk apa dia mengancam, karena tak terbersit dalam hati keinginan untuk memiliki sebesar dulu.

Bukan garis batas tapi jurang dalam yang digali Wira siapa yang mendekat maka akan jatuh, Ria sudah jauh dari belokan terjal itu langkahnya aman itu yang dijaga karena dia masih ingin melihat kebahagiaan anak-anak.

"Seharusnya." tapi Ria tidak melakukannya. Hukum tabur-tuai berlaku, tunggu saja semesta mengambil alih permainan ini.

Wajah Ria semakin muak dilihat, Wira ingin meludah wanita itu. "Merasa berada di atas awan?"

"Di manapun itu, istri sah lebih berharga dari dia yang menjajakan tubuhnya." tenang dan lugas Ria bicara.

"Jaga mulutmu!"

"Awal dan akhir kita telah ditentukan. Kira-kira seperti apa ending yang Mas ciptakan?"

Wira meninggalkan Ria, masuk ke kamar ia membanting pintu mengumpat juga mengutuk wanita yang telah melahirkan kedua putranya.

Ria tidak tertekan cukup batinnya disiksa sekarang ia hanya perlu menjalani takdir yang telah diputuskan untuk hidupnya. Tidak ada perpisahan, itu yang tertulis tidak juga berharap Wira berubah karena tahu jika itu terjadi Ria tetap tidak bisa menerimanya.

Kamu pikir Ibu percaya padanya? Sebuah pesan berikut alamat apartemen dari ibu mertua.

Kamu bisa datang untuk menyaksikan kalau mau.

Tatapan dingin tertuju ke pintu kamar Wira, ayo tebak apa yang akan dilakukan ibu pada kekasih harammu?

Ria tidak membalas pesan tersebut, senyum mengerikan terbit di lekuk indah bibirnya. Ada yang harus dikorbankan, begitu lumrahnya sebuah cinta sejati dan aku sudah merasakannya.

Aku telah mengorbankan perasaanku dalam rumah tangga kami, rela tersakiti karena tidak ingin berpisah dengan anak-anak. Tidak ada siapapun yang perlu tahu sebesar apa luka hatinya.

Diamku Di Atas DustamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang